Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 April 2019

FILOSOFI SARASWATI DALAM AKTUALISASI

Ni Kadek Ayu Kristini Putri

Hakikat agama tidak terletak pada dogma-dogma dan ritus-ritus serta upacara-upacara menjemukan, tetapi dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan paling dalam dari segala zaman, (sanatana dharma) yang merupakan satu-satunya pedoman, bukan semata-mata menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap kebenaran yang telah diyakini (umat) manusia (Radhakrishnan, 2003:  55).  Kebenaran mana menurut umat Hindu secara absolut diletakkan pada keyakinannya terhadap kebenaran Weda.

Sastrayonitwat: hanya kitab suci cara baik untuk mengenal (kebenaran) Tuhan, demikian  tersurat amanat  kitab Brahma Sutra, I.1.3 (Pudja, 1977 : 16). Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan kitab  Bhagawadgita, XVI.24: “biarlah kitab-kitab suci itu menjadi petunjukmu untuk menentukan kebenaran, untuk menentukan baik buruknya perbuatan, supaya diketahui dari pernyataan aturan dalam ajaran-ajaran kitab suci untuk engkau kerjakan.”

Menyimak nama kitab suci Hindu  “Weda”  sesungguhnya sudah mengisyaratkan agar umat Hindu  mendasari kehidupan beragamanya berlandaskan pada pengetahuan yang dalam hal ini bersumber pada ajaran agama Hindu. Apalagi sebagai umat manusia ciptaan Tuhan yang   dilengkapi Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Berkat anugrah idep itulah manusia dapat “menyempurnakan” dirinya lewat cara  memfungsikan ‘idep’  agar terasah sehingga memiliki  ketajaman  berpikir, termasuk kemudian dalam   menganalisis segala persoalan yang dihadapi dalam kehidupan ini.
Berpijak dari pernyataan di atas, maka di saat ritual  Saraswati  diperingati,  sepatutnya tidak  lagi hanya dipandang sebagai peristiwa rutin yang biasa dilaksanakan. Tetapi ritual Saraswati  dapat dijadikan momentum  untuk  mendorong kebangkitan umat Hindu secara intelektual. Tentunya dengan melenyapkan awidya (kebodohan), sekaligus nantinya sebagai anak tangga  menuju pencapaian kesadaran spiritual,  cita-cita tertinggi  guna  mencapai keabadian Tuhan di alam kekal.
Mengkaji ritual Saraswati penting sekali dipahami beberapa konsep yang melekat padanya, yaitu:

Simbolisasi
Saraswati dalam ikonografi digambarkan sebagai sosok wanita cantik, pertanda ilmu pengetahuan itu selalu menarik untuk dipelajari. Semakin diselami kian menarik un­tuk didalami. Secara ikonik gambaran Dewi saraswati memiliki beberapa atribut, yaitu: Pada tangan-tangannya. masing-masing menggenggam (a) Ganitri,  lambang kekekalan ilmu pengetahuan yang tak mengenal batas akhir untuk dipelajari; (b) Keropak lontar simbol sumber ilmu pengetahuan; (c) Wina, bahwa  ilmu pengetahuan itu  dapat mempengaruhi estetika seni budaya  menuju pengagungan nilai luhur; dan (d) Teratai adalah gambaran tentang kesucian ilmu pengetahuan. Kemudian pada bagian samping  berjajar (e) sepasang angsa putih, menandakan bahwa orang berilmu senantiasa berpenampilan tenang, penuh kewaspadaan dan mampu membaca situasi bisa membedakan antara kebaikan dengan keburukan; (f) Burung Merak yang juga menyatu dalam lukisan Saraswati adalah simbol bahwa dengan ilmu pengetahuan seseorang tampak agung dan diliputi sikap penuh kewibawaan.

Nama Saraswati itu sendiri,  berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu Sa­ras dan Wati, yang berarti sesuatu (ilmu/pengetahuan) yang memiliki sifat (terus) mengalir, bisa melalui percakapan atau kata-kata. Di dalam sastra-sastra lontar, sosok De­wi Saraswati dipandang sebagai Dewaning Pengawruh. Lalu di dalam Rg Weda, beliau disebut Dewa Sungai (selalu mengalir). Dan dalam kitab Brahmana beliau di samakan dengan Vac, yaitu dewa­nya kata-kata. Begitu pula di dalam Mahabharata beliau dihormati sebagai Dewa Kebijaksanaan. Selanjutnya di dalam konsep Tri Murti, Dewi Sa­raswati lebih dikenal sebagai sakti-nya Brahma. Akhirnya dalam pendangan kebanyakan umat terutama kalangan terpelajar dan cendikiawan Saraswati dipuja sebagai Istadewata,  manifestasi Tuhan (Hyang Widhi) sebagai Dewa Ilmu Pengetahuan. Pendek kata, simbolisasi dalam Saraswati merupakan refleksi Sraddha umat untuk selalu mencintai ilmu pengetahuan guna kesempurnaan hidupnya.

Ritualisasi
Kongkritisasi kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dari aspek ritual tampak terlihat pada pelaksanaan perayaan Piodalan Sanghyang Aji Sa­raswati. Pelaksanaannya dimulai pada pagi hari sampai menjelang malam. Saat itu, semua pustaka keagamaan dan buku pengetahuan lainnya diatur sedemikian rupa di tempat yang telah disediakan, lalu diupacarai dengan upakara seperti yang tersurat di dalam lontar  Sundarigama 14: “Saniscara umanis Watugunung, pujawali bhatari Saraswati, Widhi widhananya; suci, peras, daksina palinggih, kembang pay as, kembang cane, kembang biasa, banten sesayut Saraswati prangkatan putih kuning saha raka tan sah wangi-wangi saha dulurannya.

Sekurang-kurangnya upacara dan upakara Sa­raswati itu terdiri atas Banten Saraswati, sodaan putih kuning dan canang selengkapnya. Lalu tirtha yang dipergunakan hanyalah tirtha Saraswati yang diperoleh dengan jalan memohon ke hadapan Hyang Surya. Pelaksanaannya didahului dengan menghaturkan pasucian, ngayabang aturan, memusatkan bhakti pada Sanghyang Aji Saras­wati agar menganugerahi keselamatan. kebahagiaan, kemajuan melalui ilmu pengetahuan dan ajaran-ajaran suci kerohanian. La­lu dilanjutkan dengan muspa dan matirtha. Upacara Saraswati ini nyejer selama sehari.

Filosofi
Ada siratan makna terungkap dari Piodalan Sanghyang Aji Saraswati itu, bahwa keyakinan umat tentang turunnya ilmu pengetahu­an suci saat itu merupakan petunjuk bahwa eksistensi diri manusia harus selalu diisi dengan keprajnanan -- penguasaan ilmu peng­etahuan. Sebab itulah satu-satunya kata kunci melenyapkan Awidya, kegelapan dan/atau kebodohan seperti tersurat pada kitab Sarasamuscaya, 399, dan 402: “Hanya satulah sesungguhnya yang disebut musuh itu yakni kebodohan. Tidak ada yang dapat menyaingi pengaruh kebodohan. Sebab orang yang dicengkeram kebodohan niscaya ia akan cenderung melakukan perbuatan salah atau buruk; Oleh karenanya, kebodohan itu haruslah dilenyapkan, yakni dengan keprajnanan. Prajna artinya kesadaran atau pengetahuan tentang hakikat hidup. Dengan keprajnanan, maka akan terseberang samudra kelahiran dengan perahu kepandaiaannya. Sedangkan orang bodoh yang tiada memiliki kepandaian  tak akan mampu menyeberangi samudra kehidupan” (Pudja, 1981 : 218)


Suratan sloka Sarasamuscaya tersebut memperjelas tuntunan  bahwa hanya dengan Kepraj­nanan; penguasaan ilmu peng­etahuan, kabut kegelapan/kebodohan dapat dilenyapkan, sebagai upaya meniadakan ketidaktahuan sekaligus dapat melihat kebenaran. Dengan ilmu pengetahuan, banyak didapat pelajaran tentang hakikat hidup dan kehidupan. Ilmu pengetahuan adalah kunci untuk membuka wawasan, menyibak kegelapan, menajamkan pikiran dan tentu memajukan sekaligus mencerahkan  masa depan. Dunia kini bergerak dan terus berubah semakin maju bahkan telah mencapai kecanggihan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi.  Menghadapi sekaligus mengantisipasi serta mensiasati kemajuan zaman tersebut, pastinya  hanya dapat dicapai melalui proses “melajahang raga” dan menjadikan  ilmu pengetahuan sebagai sahabat --  Nora’na mitra manglewihahe wara guna maruhur; tiada sahabat yang melebihi ilmu pengetahuan yang sangat tinggi gunanya. Untuk itu kitab suci Bhagawadgita, IV.34, mengamanatkan :    

Tad widdhi pranipatena
paripprasnena sewaya
upadek syanti te jnanam   
jnaninas tattwadarsinah.
Maknanya :   
Pelajarilah itu dengan sujud, disiplin, dengan bertanya dan kerja berbhakti, orang yang berilmu mereka melihat kebenaran, akan mengajarkan kepadamu pengetahuan itu (Pudja,  1981 : 116).

Senada dengan itu, kitab Rgveda XVII.100.2 menyuratkan :
Tvam visno sumatim visvajanyam,
Aprayutam evayavo matimmdah
 Maknanya :
Ya, Sang Hyang Visnu yang meliputi semuanya, semoga Engkau melimpahkan intelek kepada kami. Ya kebajikan, limpahkanlah kekuatan membedakan baik-buruk dan benar salah kepada kami (Titib,  1996 : 445).

Ternyata intelektualitas itu sangat penting untuk mencerdaskan diri lewat pembelajaran, pengkajian dan pendalaman agar tidak berkeadaan awidya (bohoh) atau mengalami kegelapan (pikiran dan hati nurani, termasuk imani). Perihal kebodohan itu sendiri, di dalam kitab Vayu Purana I.20 dan didukung sloka Sarasamuscaya, 39 dengan tegas dijelaskan maknanya : Hendaknya Veda dijelaskan melalui sejarah/Itihasa dan Purana/sejarah dan mitologi kuna. Veda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya. Veda berpikir bahwa dia (orang yang) akan memukulku) ; Veda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna melalui mempelajari Itihasa dan Purana, sebab Veda itu merasa takut terhadap orang-orang yang sedikit pengetahuannya, sabdanya wahai tuan-tuan, janganlah tuan-tuan datang padaku, demikian konon sabdanya karena takut.

 Sejalan juga dengan ajaran Catur Marga,   praktik ritual Saraswati sejatinya telah menginspirasi sekaligus memotivasi umat agar “aliran” ajaran/pengetahuan (suci) Weda dapat menjadi landasan pertama dan utama pada setiap aktivitas ritual-yadnya yang tidak boleh berhenti di level ritual semata, tetapi harus terus bergerak dari tataran “Karma (perbuatan beryadnya), merambah ke ranah “Bhakti (cinta kasih) dan seterusnya  mengejawantah pada dimensi sosial, lalu meningkat ke kancah “Jnana”, dengan mencerdaskan kemampuan intelektual dan akhirnya memuncak pada jalan “Raja/Yoga” sebagai media pencapaian kesadaran spiritual.

Aktualisasi
Sebagai bagian integral  keimanan (sraddha), bentuk ritual, seperti halnya Piodalan Sanghyang Aji Saraswati adalah  berkenaan dengan  apa yang dilekatkan di hati sebagai bentuk keyakinan yang tentunya sebagian besar  masih diselimuti  “rasa” (emosi keagamaan), bahkan acapkali menggelapkan “rasio”, sehingga dalam konteks  peragaan  (amalan) tak memedulikan realitas empiris, meski lewat analisis kritis menunjukkan bahwa di tengah kehidupan keberagamaan umat Hindu dengan tonjolan ritual,  justru semakin deras saja terjadi krisis di berbagai bidang kehidupan.
Melalui ritual Saraswati, lewat analisis kritis pada dimensi intelektualitas, tampak sekali bahwa  praktik  yadnya  yang didominasi aktivitas ritual (upacara dan upakara bebanten), dengan menempatkan  unsur etika/susila dan tattwa hanya eksis secara implisit, menjadikan konsep-konsep yadnya dengan  nilai-nilai idealnya  terpental di tataran kontekstual, lantaran kandungan makna luhurnya tidak teraktualisasikan dalam laksana. Konsekuensinya, elemen ritual yang sebenarnya berfungsi sebagai suplemen atau komplemen (materi) akhirnya memarginalkan elemen etika/susila (esensi) dan tattwa (substansi) yang sejatinya  berfungsi sebagai pondamen. 

Sudah seyogyanya  pada setiap ritual-yadnya, tak terkecuali Saraswati selalu didorong untuk mulat sarira atau introspeksi, sehingga moment Saraswati,  sangat bagus sekali   dijadikan kesempatan evaluasi dengan menganalisis secara kritis setiap aktivitas ritual secara intelektual, tentunya  tanpa mengesampingkan faktor iman (sraddha) yang lebih banyak bemain di tataran “rasa” (keyakinan). Kajian  atas dasar keilmuan (rasio) layak dan tidak salah dilakukan agar ke depan bentuk-bentuk perilaku mayadnya tidak berhenti hanya di tingkat aktivitas  ritualistik simbolik ekspresif semata, tetapi dapat bergerak naik ke tataran sosial, misalnya dalam bentuk solidaritas kemanusiaan atas dasar  ajaran  tat twam asi, disertai  tumbuh berkembangnya sikap mental positif, dan konstruktif (menjauhkan sikap malas dan priyayi serta memiliki etos kerja tinggi),  yang pada kahirnya bermuara pada   semakin berakhlaknya  moral umat Hindu sebagai modal dasar pencapaian  kesadaran spiritual.

(Diambil dari buku Prosiding “Pengaruh Ajaran Hindu Terhadap Kehidupan Spiritual Bangsa Indonesia,” IHDN Denpasar 2018. Artikel telah diedit dengan menghilangkan beberapa bagian tanpa mengubah substansinya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar