Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 15 Maret 2019

Ritual Perang Api di Pura Luhur Duasem: Brahma Wisnu Menyatu Menjadi Siwa

 Agama Hindu dipraktikkan secara natural, yaitu disesuaikan dengan tempat, penduduk, geografi, dan pendukung lainnya dimana agama itu dipraktikkan. Oleh karena itu Hindu mengenal banyak varian praktik beragama, terutama dalam ritual yang menjadikannya sebagai agama yang variatif dan membumi.


Salah satu praktik keagamaan yang unik berada di Pura Luhur Duasem, di Desa Subamia, Tabanan, Bali. Tradisi ritual tersebut adalah “Perang Api,”  yang bermakna sebagai pertemuan Brahma dan Wisnu yang setelah pertemuan tersebut manunggal menjadi Siwa Sempurna.

Perang Api di Pura Luhur Duasem sesungguhnya merupakan bagian dari upacara utama, yaitu Upacara Mesiwa Gni yang ketentuan pelaksanaannya diselenggarakan kalau terjadi pertemuan saptawara (Anggara) Kasih, wuku Tambir, yang bersamaan dengan terjadinya purnama. Jadi, kapan terdapat pertemuan hari dengan bacaan Anggara Kasih wuku Tambir nemu Purnama, maka wajib dilaksanakan Upacara Mesiwa Gni di Pura Luhur Duasem. Uniknya, upacara dimaksud digelar sehari sebelum Anggara Kasih Tambir, yaitu pada Perwani, sedangkan pada Anggara Kasih Tambir nuju purnama esok harinya dilaksanakan penyepian. Dan kebetulan hari purnama tersebut jatuh pada hari Selasa, 19 Februari 2019 lalu, sehingga upacara itu pun digelar.

“Upacara ini diselenggarakan lima tahun sekali, karena terjadinya pertemuan Anggara Kasih tambir nemu purnama biasanya lima tahun sekali,” jelas Jro Mangku Gede Hyang Putus Aseman kepada Raditya pada Jumat, 22 Februari 2019 lalu di Denpasar.

Jro Mangku Aseman sebagai Pemangku Gede di Pura Luhur Duasem yang memimpin pelaksanaan upacara tersebut yang terdiri dari dua prosesi upacara masing-masing di jaba pura sisi kelod, tempat linggih Kobar Api, yaitu ancangan Ida Hyang Jagat Karana. Di lokasi ini dilaksanakan upacara Caru  Panca Sanak (bebek bulu sikep, ayam manca warna) meulu godel olahan 9, serta guling bebangkit. Ritual ini dipimpin oleh Jro Mangku Aseman, sebagai mangku Gede. Sedangkan di jeroan (utama mandala) dipersembahkan caru  bebek selem dan nasi wong-wongan yang dipimpin pemangku dari Pura Puseh Kubon Tingguh, Tabanan.

Demikianlah hari itu, Senin, 18 Februari 2019 (Perwani) pengempon Pura Luhur Duasem, lanang-istri, dewasa dan anak-anak tumpah ruah memadati pura untuk menyelenggarakan upacara dimaksud. Dan yang paling seru ketika usai pecaruan Mesiwa Gni di pura, maka akan dilanjutkan prosesi “perang api” di jaba kauh pura yang kebetulan adalah jalan dusun.

Perang api ini dilakukan oleh 18 lelaki yang kali ini dilaksanakan oleh anak-anak muda terpilih yang didahului prosesi penglukatan dan penganugerahan taksu Aseman kepada para pelaksana tugas perang api itu. Setelah mengikuti prosesi penyucian dan pemberian power gaib di jeroan pura, ketika hari sandikala tiba maka mereka pasukan perang api tersebut berkumpul di jaba sisi kauh. Arena perang disiapkan sedemikian rupa dengan membatasinya dengan tali di batas utara dan selatan. Jadi arena itu membujur utara-selatan dengan membatasi jalanan yang dipakai arena dengan tali. Ada pun tali pembatas itu digantungi jajanan Bali, seperti bantal, sumping, dan lainnya sebagai simbolik batas ruang sakral.


Pasukan perang api yang berjumlah 18 orang dibagi dua kelompok, yaitu 9 orang grup selatan berikat kepala merah sebagai simbol pasukan Brahma, sedangkan 9 orang lagi di kubu utara berikat kepala hitam simbolik pasukan Wisnu. Dua onggok sabut kelapa kering yang sudah menyala merah membara  disiapkan di masing-masing kubu yang siap berperang. Teradapat dua saye (wasit) dalam perang ini yang berdiri di sisi timur dan barat untuk memberi komando. Begitu semua dipandang siap, maka perang api pun dimulai. Masing-masing kubu diberi kesempatan menyerang bergantian, sementara kubu lainnya diam di tempat.

Tangan-tangan telanjang kemudian bergegas menggenggam bara sabut kelapa untuk dilemparkan ke arah lawannya. Percik api pun berhamburan bergesekan dengan angin senjakala ditingkahi pekik riuh pasukan bersorak lalu kerauhan. Umat lain yang tidak mendapat tugas melaksanakan perang api juga menonton dari dekat memberi semangat. Begitulah kedua kubu silih berganti melakukan serangan sesuai arahan saye. Bara api pun menimpa tubuh masing-masing pasukan dan ajaibnya tidak satu pun kena luka bakar. Ini memang upacara penuh nuansa mitis dan gaib.

Sekitar satu jam lamanya prosesi itu berlangsung sebelum diberhentikan. Adakalanya perang-perangan ini diisi waktu istirahat hingga dua kali sambil menunggu bara sabut kelapa kembali dipersiapkan untuk session berikutnya. Setelah terjadi tiga sesi, maka Pemangku Gede telah menilainya cukup, maka prosesi tersebut  kasineb (ditutup), dengan permakluman bahwa Hyang Agni atau Brahma telah manunggal dengan Hyang Wisnu menjadi Siwa Sempurna. Dipermaklumkan juga kepada seluruh pengempon  bahwa jagat atau bhuwana agung dan bhuwana alit sudah disucikan, sehingga hari esok pada Anggara Kasih Tambir nuju Purnama semua umat mengheningkan diri di rumah masing-masing 
 Awal Kisah Pura
Konon sebelum Pura Luhur Duasem dibangun, zaman dahulu kala sekitar abad III di tempat ini sudah terdapat dua buah sarana pemujaan berupa batu (warna merah) dan diduga sebagai simbol atau pratima “Dewa Api” yang dipuja saat itu. Tidak ada sumber jelas menguraikan peninggalan benda sakral dan kuno tersebut, kemudian ada kisah turun temurun yang diyakini kebenarannya, yaitu sekitar abad IX terdapat orang suci bernama  Ki Dukuh Gerger berpesraman di lokasi Pura Puseh Kebon Tingguh sekarang (Tabanan utara).  Ki Dukuh Gerger berasal dari Jawa Tengah, sekitar Candi Ceto. Selama tinggal di Pura Kebon Tingguh beliau memiliki dua putra. Salah satu dari putranya tersebut setelah dewasa diceritakan pergi meninggalkan tempat kelahirannya menuju arah selatan dengan melewati beberapa desa, seperti Tuak Ilang,  Tabanan, Kuum, Kroyo, Pura Bukit, Rak Api, Dalem Merta dan terakhir tinggal di Aseman (Subamia Kelong, lokasi Pura Luhur Duasem).


Masih menurut penuturan Jro mangku Gede Hyang Putus Aseman, pada kisah berikutnya dikisahkan yang menduduki tahta kerajaan Tabanan adalah Ki Gusti Alit Dawuh yang berabhiseka Sri Magada Sakti. Pada masa pemerintahannya datanglah seorang dukuh dari lereng Gunung Tolangkir. Ki Dukuh datang diirngi oleh tiga pengikut dan mendirikan padukuhan di ujung selatan Banjar Subamia Kelong. Ki Dukuh taat melaksanakan tapa, yoga, dan semadi, sehingga beliau mendapat anugerah dari Hyang Bhatara berupa Aji Manik Gni dan Manik Aseman.  Dengan anugerah itu beliau memiliki kemampuan waskita yang hebat. Kehebatan Ki Dukuh didengar oleh raja Tabanan untuk membicarakan tempat yang baik untuk mendirikan tempat suci dalam rangka memohon anugerah kesejahteraan alam. Kepada raja, Ki Dukuh menunjukkan tempat  sebuah kawasan di Aseman, karena Ki Dukuh telah mengetahuai kesucian tempat itu sejak zaman dahulu. Dan di tempat itulah akhirnya dibangun Pura Luhur Duasem yang diwarisi hingga saat ini.

Jro mangku Aseman menjelaskan bahwa makna Upacara Mesiwa Gni yang menjadi satu kesatuan dengan “Perang Api” adalah untuk memohon kerahayuan jagat. Melalui perang api, yaitu menyatukan kekuatan Brahma dan Wisnu akan muncul kekuatan Siwa yang memberikan kesempurnaan kepada semua makhluk meliputi kesuburan, ketenteraman, kesejahteraan, dan keselamatan dalam berbagai aktivitas. Makna lainnya adalah, makna persatuan, karena melalui upacara ini masyarakat dipersatukan dalam solidaritas semangat kebersamaan untuk memohon kerahayuan jagat.

Hal yang tidak bisa diabaikan dalam “Perang Api” ini menurut Mangku Aseman adalah ngrastiti untuk alam semesta, khususnya Nusantara, agar nilai-nilai kepribadian Nusantara yang terdiri dari keluhuran budi, kesederhanaan, menjunjung tinggi kelestarian alam, kerukunan dan kesetiakawanan, dan lain-lain terus diperkuat dan mendapat bimbingan dan perlindungan dari Ida Hyang Widhi Wasa. Ruat Bumi Nusantara yang dilakukan berkesinambungan adalah upaya secara ritual untuk memperkuat energi spiritual dalam atmospir bumi. Berikutnya tinggal masyarakat menyesuaikan diri dengan irama gelombangnya agar mampu mengakses power spirit itu sebesar-besarnya. Caranya adalah dengan senantiasa sujud bhakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi, bhakti pada semua leluhur, semua pendahulu yang telah meletakkan nilai-nilai kehidupan yang luhur, serta melalui ketaatan pada dharma. (tra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar