Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 15 Februari 2019

Menyesuaikan Diri dengan Perubahan Sosial

 Ni Made Riani
Balai Diklat Keagamaan  Denpasar

Manusia adalah makhluk bereksistensi bersama yang lain dalam masyarakat. Dalam kebersamaan ini manusia selalu berselimutkan empat kondisi yang bisa muncul secara silih berganti, yakni: pertama, suka adalah suatu kondisi manusia gembira karena yang diinginkannya terwujudkan secara baik dan benar dilihat dari asas moralitas. Kedua, duka ditandai oleh kesedihan karena apa yang diinginkannya tidak terpenuhi atau jikalau pun terpenuhi cara yang digunakannya tidak baik dan tidak benar – mengabaikan asas moralitas. Ketiga, lara, yakni suatu kondisi sakit karena bagian-bagian dari tubuhnya disfungsional dan bisa pula sebaliknya, yakni secara ketubuhan manusia sehat, namun secara sosial yang bersangkutan sakit karena maladaptasi. Keempat, pati, yakni suatu ketika manusia pasti akan mati, karena manusia tunduk pada hukum kefanaan.

Dalam rangka mengarungi lautan kehidupan suka, duka, lara, dan pati manusia bisa menempuh berbagai cara antara lain membentuk keluarga lewat perkawinan yang dibenarkan oleh adat, agama dan hukum nasional. Setiap orang yang membentuk keluarga selalu berharap bisa berbagi dalam mengatasi berbagai masalah yang timbul karena perputaran suka, duka, lara, dan pati, sehingga kesejahteraan terpenuhi secara optimal. Usaha manusia mengatasi masalah suka, duka, dan lara bisa saja berlangsung secara baik, namun pati, siapa pun tidak bisa menghindarkannya. Pati adalah suatu keniscayaan bagi manusia. Kematian mendapatkan perhatian, tidak saja dari segi asas-asas non agama – hukum adat yang penanganannya melibatkan lembaga adat, misalnya di Bali ada desa pakraman, tetapi juga dari segi agama.

Penulis sering mengamati di media massa tentang maraknya peristiwa bunuh diri, antara lain karena: (1) Himpitan ekonomi, seperti yang pernah diberitakan seorang ibu membunuh anak-anaknya yang masih kecil sebelum akhirnya bunuh diri karena tidak kuat menghadapi tekanan ekonomi. Bahkan banyak juga pasangan yang bercerai karena faktor ekonomi, (2) Sakit yang tidak kunjung sembuh, banyak juga pelaku bunuh diri mengambil jalan pintas karena depresi dan tidak tahan menderita akibat sakit berkepanjangan, (3) Dipojokkan atau dikucilkan oleh lingkungan/masyarakat, karena tidak tahan hidup terisolasi dan menjadi gunjingan masyarakat pada titik tertentu pelaku bisa mengakhiri hidupnya, (4) Tuntutan atau tekanan masyarakat/lingkungan yang tidak sanggup dipenuhi/tidak sesuai keinginan hati, seperti misalnya seorang anak memilih bunuh diri daripada dipaksa sekolah atau bekerja atau kawin yang tidak sesuai hatinya, bunuh diri karena tidak tahan digosipkan masyarakat, (5) Dikhianati/dikecewakan/disakiti orang terdekat, ada kasus seorang gadis yang bunuh diri karena hamil di luar nikah, ia memilih jalan pintas karena kekasihnya tidak mau bertanggung jawab dan ia merasa malu menghadapi keluarganya dan masyarakat lingkungan sekitarnya.

Adapun alasan penulis memilih topik “Fenomena Sosial Bunuh Diri dalam Masyarakat” berdasarkan kisah nyata yang ada di lingkungan penulis sendiri. Seorang wanita muda beranak tiga yang merupakan warga Denpasar melakukan bunuh diri karena tidak tahan menghadapi gunjingan rekan-rekan kerjanya. Sebut saja Kadek Safion, adalah pegawai koperasi yang bekerja sejak sebelum menikah hingga kini sudah menikah dan mempunyai tiga anak yang masih kecil-kecil. Kadek Safion memberikan kredit dalam jumlah sangat besar kepada nasabah disertai stempel lunas padahal ia belum menerima uang dari nasabah. Nasabah tersebut kabur dan Kadek Safion tidak memiliki uang untuk mengganti uang yang dibawa kabur nasabah nakal tersebut. Diduga ia telah dihipnotis sehingga tidak sadar karena selama hampir dua puluh tahun bekerja ia belum pernah melakukan keteledoran. Ia tidak menceritakan masalahnya kepada suami maupun orang tuanya karena tidak mau membebani keluarganya. Sementara ia merasa malu kepada rekan-rekan sekerjanya dan tidak tahan mendengar gunjingan masyarakat. Diduga ia akhirnya memilih jalan pintas karena tidak kuat menerima tudingan salah seorang rekan sekerjanya. Ia mengakhiri hidupnya di malam setelah rapat koperasi yang membahas masalahnya selesai dilakukan. Ia minum racun dan sempat dilarikan ke rumah sakit serta menjalani operasi. Namun karena kondisinya sudah kritis sehingga tidak tertolong lagi. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi keluarganya khususnya ketiga anaknya, suami dan orang tuanya. Fenomena sosial ini didukung oleh teori-teori sosial budaya di bawah ini.

Ada berbagai latar belakang yang menyebabkan seseorang bunuh diri, sehingga para ahli mengemukakan teori-teori sosial budaya untuk mengupas fenomena ini. Tidak bisa dipungkiri, kemajuan zaman dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti pedang bermata dua. Di satu sisi mempermudah kehidupan masyarakat sementara di sisi lain dapat menimbulkan keterbelakangan dan rasa frustasi bagi masyarakat yang tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan  tersebut. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari perubahan sosial yang melanda masyarakat Bali.

Masyarakat yang berada dalam keadaan mentalnya mulai merosot butuh dukungan psikolog, konseling dan hypnotherapy untuk menjaga kesehatan mental dan jiwanya. Kebetulan salah seorang rekan kerja penulis berasal dari Karangasem. Ia merencanakan pensiun muda dan baru saja selesai melaspas rumah di Karangasem yang rencananya akan ditempati setelah pensiun. Tetapi semuanya sirna karena kehendak alam, semangat kerjanyapun menurun dan ia mulai merasakan stress karena mengurusi keluarganya yang berada dalam pengungsian dalam waktu yang berkepanjangan dan belum jelas kapan berakhir.

Kita sebagai manusia diharapkan untuk bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial yang begitu cepat karena sudah hukumnya “nothing last forever” tiada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Kita sebagai manusia dituntut untuk mawas diri karena segala sesuatu akan berlalu, baik kesenangan maupun kesusahan. Saat berada di atas hendaknya rendah hati dan tidak merasa senang berlebihan dan saat berada di bawah tidak sedih dan putus asa berlebihan apalagi mengambil jalan pintas bunuh diri. Karena segala keadaan akan berlalu, hidup hanya sementara dan nafas kita pun milik Yang Maha Kuasa yang patut disyukuri. Marilah kita isi hidup kita agar bermakna dan lebih peduli kepada sesama. Astungkara angka kematian akibat bunuh diri bisa ditekan bahkan jika memungkinkan tidak ada lagi korban bunuh diri. Ini adalah tugas besar kita bersama.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar