Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 Januari 2018

Merayakan Hari Suci Bukan Menyucikan Hari Raya

Oleh I Nyoman Miarta Putra
Hari Suci keagamaan dirayakan untuk meningkatkan kecemerlangan budi. Berupaya mengantarkan manusia kepada kehidupan yang utuh sesuai dengan fitrahnya. Bebas dari segala penderitaan lahir dan batin sehingga eksistensi Tuhan yang Maha baik, adil, pemaaf dan segala sifat ke-mahaan-Nya yang lain bisa ”hadir” pada setiap insan di bumi.

Umat Hindu dalam pelaksanaanya sering mengesankan terjadinya kekurangpaduan antara tattwa, susila dan upacara perlu dipahami secara utuh, sebagai pola dasar dari pendidikan agama Hindu. Simbol keagamaan perlu selalu diinterprestasikan dan diangkat ke permukaan. Dengan demikian, perayaan hari suci dengan mempersembahkan upakara tidak terhenti  sebagai sesuatu yang bersifat obyektif runinitas semu tanpa makna spiritual.

Secara teologis diyakini pada hari suci para dewata dan widyadara-widyadari beserta para leluhur turun ke dunia memberkati alam semesta beserta dengan isinya. Untuk merasakan kehadiran-Nya yang suci  diperlukan kesucian diri, dan kesucian alam semesta. Seperti ungkapan bijak mengatakan bahwa untuk merasakan hal yang sifatnya suci, jadikanlah diri suci terlebih dahulu, maka niscaya kesucian itu akan bisa kita rasakan. Demikian pula kalau kita menginginkan hal-hal yang baik, jadikanlah diri kita baik terlebi dahulu, niscaya kebaikan itu akan datang.

Hal ini telah diingatkan Mpu Kanwa melalui Kakawin Arjuna Wiwaha. Sasi wimba haneng gatha mesi baƱyu; ndan asing suci nirmala mesi wulan; iwa mangkana rakwa kiteng kadadin; ring angambeki yoga kiteng sekala. Di sini Empu Kanwa menegaskan, bahwa bayangan bulan terdapat di dalam setiap tempayan yang berisi air yang bening dan suci; dan seperti itulah jika dicontohkan,  Tuhan ada pada setiap orang yang memiliki pikiran yang suci, setiap orang yang melaksanakan yoga yang benar. Karena sifat Tuhan adalah suci, hanya dengan kesucian dapat dirasakan.
Yang menjadi pertanyaan sudahkah di hari suci, kita berprilaku suci, mempersembahkan hal-hal yang suci yang bersifat sattvika?.

Pertanyaan itu diajukan untuk diri kita masing-masing, biarlah hati kita masing-masing yang memberikan jawaban. Karena tidak satu orang pun berhak menilai kecuali diri kita dan Tuhan yang mengetahuinya. Namun dalam kesempatan ini sebagai bahan diskusi dan perenungan bagi kita bersama, perayaan hari suci merupakan satu hal yang penting, karena masih dilaksanakan hingga kini. Dengan perayaannya, rasa bhakti diaktualisasikan kepada pujaannya.

Istilah ”hari suci” yang sering lebih populer disebut dengan istilah ”hari raya” perlu mendapatkan perenungan kembali. Bukan fanatik terhadap istilah, namun tidak jarang kesalahan istilah memberikan kesalahan dalam pemaknaan. Seperti misalnya ucapan Selamat hari Raya (Galungan, Kuningan, Nyepi dan yang lainnya) Kata ”raya” dalam hari raya sering diidentikkan dengan hari yang besar, serta perayaannya juga ”wah”. Kalau tidak dengan meriah, seakan tidak melaksanakan hari raya. Termasuk dari menu makanan hingga pakaian juga berbeda dibandingkan dengan hari-hari suci yang tidak disebut sebagai hari raya.  Secara tradisi ini masih dipedomani oleh beberapa umat khusunya di pedesaan.

Hal ini mengingatkan masa pergaulan saya dengan peserta didik bukan saja tingkat SD, bahkan beberapa mahasiswa juga memiliki kesan yang sama. Ketika ditanya tentang apa yang diketahuinya tentang hari Galungan, yang melekat dalam pikirannya adalah adanya acara motong babi, ayam atau yang lainnya. Dan tradisi membuat lawar sulit dilupakan dari ingatannya. Kalau tidak nge-lawar  serasa tidak nge-Galung. Begitu pula ketika saya tanyakan tentang apa yang diketahui tentang hari raya Nyepi yang terekam di pikiran mereka kemeriahan pada pesta dan ogoh-ogoh pada saat pengrupukan. 

 Ekpresi tersebut tentu tidaklah sepenuhnya salah karena mungkin saja itu kenyataannya yang sering mereka alami di lingkungan keluarga dan tempat tinggal masing-masing. Memori itu terlanjur direkam serta diturunkan secara turun-temurun secara alamiah. Dan ketika hal tersebut tidak dilaksanakan ada sesuatu yang kurang lengkap, bahkan menjadi ganjalan dalam pikiran. Yang ada dalam pikiran mereka  adalah hari raya mesti dirayakan. Terlebih lagi datangnya tiap enam bulan, bahkan setahun sekali.

 Menghadapi fenomena tersebut beberapa hari suci yang lazimnya disebut sebagai hari raya semestinya dikembalikan pada esensinya. Konotasi Hari Raya adalah merayakan acara dengan semeriah-meriahnya dengan prosesi ritual. Sehingga dalam pelaksanaannya, hari sucilah yang dirayakan, bukan hari raya yang disucikan. Hari suci yang  dirayakan mengandung makna, bahwa dalam setiap perayaan mengandung nilai-nilai kesucian, dan segala sikap dan perilaku diarahkan pada kesucian. Perayaan hari suci tidak mesti harus besar, mewah, dan meriah, walau secara sederhana namun tidak mengurangi hakikat dari hari suci tersebut.

Filsafat para tetua jaman dahulu perlu direnungkan kembali ”sing ada anak buwung nge-galung”  (tidak ada orang batal melaksanakan Galungan).  Ini mengandung makna bahwa dengan segala keterbatasan ekonomi,  hari suci tetaplah dilaksanakan. Terlebih kini tanah Bali tidak cukup lagi menyediakan berbagai sarana upacara. Terciptanya berbagai rentetan hari suci dalam agama Hindu bukan  sebagai pemberat  bagi umatnya. Totalitas pengetahuan yang terdapat dalam filsafat, etika, upacara, diyakini dapat memberikan jawaban terhadap kehidupan.  Apabila hal ini dipahami secara utuh tentu tidak ada lagi keluhan dari para ibu-ibu dengan melonjaknya harga-harga menjelang hari suci Galungan. Demikian pula hari-hari yang lainnya. Secara filosofis hari suci memberikan kita kesempatan memperbaharui atau memperkokoh hubungannya yang suci. Dan demikian manusia memperbaiki atau memperbaharui makna hidupnya.

Pelaksanaan hari suci semestinya dilaksanakan secara suci pula sesuai dengan kemampuan. Konsep Desa-kala-patra  sebagai landasan dasar dalam pelaksanaan hari suci merujuk pada tiga dimensi aktivitas dalam pelaksanaan upacara ritual. Pada prinsipnya ada bagian ritual yang dapat disesuaikan  dengan kondisi, situasi dan orang. Tetapi tetap pada prinsipnya yang standar, sesuai dengan pelembagaan ajaran.  Ajaran itu sendiri terkena hukum Desa-Kala-Patra dalam sekala yang besar. Seperti halnya pada jamannya Weda dikembangan menjadi Upanisad.  Dan pada zamannya pula Upanisad dikembangkan menjadi Purana-Purana, Manawa Dharmasastra, Dharsana, demikian seterusnya. Sanatana Dharma atau dharma abadi menemukan penjelasannya justru pada keluwesan desa-kala-patra.

Pemahaman pendidikan agama bisa dilakukan secara utuh. Bidang-bidang keberagamaan seperti tattwa, susila, dan upacara tidak dipahami secara terpisah, sehingga  tidak ada alasan bahwa banyaknya hari suci menjadi sebuah beban dalam hidup. Umat  Hindu menjadi miskin karena setiap saat dan setiap waktu disibukkan oleh rutinitas pelaksanaan hari suci. Namun sebaliknya dari yadnya yang dilaksanakan menimbulkan kesejahteraan alam semesta beserta segala isinya. Seperti yang telah disuratkan dalam Bhagawadgita untuk bersama-sama memutar cakra yadnya demi kemaslahatan alam semesta beserta segala isinya. Tuhan mewahyukan ajaran agama yang dilembagakan dalam kitab suci tidak ada maksud untuk memberatkan umatnya. Dan ketika umat merasa berat melaksanakan ajaran agama tentu ada sesutu yang salah dari cara memahami ajaran agama. Karena ajaran agama hadir untuk mencerahkan umat manusia. Memberikan tuntunan dalam menjalankan kehidupan. Banyaknya hari suci hendaknya dimaknai sebagai  proses penyucian diri, untuk merasakan keadiran-Nya yang suci, selanjutnya memancarkan segala sifat kesucian-Nya dalam kehidupan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar