Olah Jro Mangku Nyoman Sukadana
Amretista yang lebih dikenal dengan istilah melukat, mempunyai pengertian yang luas sehingga perlu diketahui, agar kita tidak salah mengartikan dan tepat dalam pelaksanaannya. Sebelum sampai kepada amretista itu sendiri, mari kita kenal dulu diri kita sendiri karena ketika melukat, maka badan inilah yang sejatinya kita bersihkan.
Secara sederhana badan manusia terdiri dari dua bagian (jika ada pengertian yang lebih luas, maka tidak dibahas disini). Dua bagian itu, adalah ”Badan kasar (sthula sarira)” dan ”Badan halus (Sukma sarira)” yang sering juga disebut badan astral. Ketika acara Pitra Yadnya, maka peleburan sthula sarira disebut dengan Ngaben, sedangkan peleburan suksma sarira disebut dengan Nyekah atau memukur.
Saat ini kita tidak berbicara kematian tetapi berbicara tentang kehidupan, dimana kedua badan ini harus selalu bersih, suci, sehingga membawa juga ketenangan dalam diri. Sthula Sarira selalu kita bersihkan lewat mandi setidaknya dengan menggunakan sabun antiseptic yang tujuannya adalah, agar tidak ada bakteri yang melekat ke dalam diri. Badan yang bersih maka lalat juga tidak akan mendekat, tetapi binatang yang menyenangi keharuman yang justru datang, misalnya kupu-kupu atau tawon (bukan ingin menyengat tetapi karena kita berbau wangi).
Demikian juga suksma sarira perlu dilakukan pembersihan, penyucian, amretista. Pada umumnya pembersihan dilakukan ke tempat tempat seperti: pantai (laut), telaga, air terjun, mata air, dilakukan sendiri dengan kelapa gading, atau nunas pembersihan di Griya Sulinggih. Ketika kita datang ke laut, maka mohonlah pembersihan kepada Dewa Baruna, ketika datang ke telaga, air terjun, mata air, maka mintalah pembersihan kepada Dewa Wisnu atau Hyang Taya. Ketika melakukan sendiri dengan kelapa gading, maka nunas kepada Dewa Agni, jika menggunakan sarana kelapa hijau, maka mohon penyucian kepada Dewa Wisnu, kelapa kuning kepada Dewa Mahadewa.
Ketika nunas pembersihan di Griya, maka Ida Sulinggih sudah melakukan permohonan itu jadi kita hanya tinggal mebersih saja. Jika kita hanya mandi biasa ke laut, telaga, air terjun, maka itu sama dengan mandi biasa hanya membersihkan sthula sarira, jadi coba mohon kepada Dewa di atas, maka yang kita lakukan adalah amretista meliputi sthula sarira juga suksma sarira atau badan astral. Jadi amretista sesungguhnya penyucian badan astral.
Bagaimana badan ini menjadi kotor? Sthula sarira menjadi kotor jelas karena kita tidak lepas dari sekitar dan kita tidak bisa menjaga kebersihan dari debu, dan kotoran lainnya sehingga perlu pembersihan. Suksma sarira bisa kotor, karena kita sendiri yang mengotorinya. Misalnya memakai pelelantih (penglaris), sesikepan, dan sebagainya karena dalam bahasa rohani memintalah perlindungan pada Hyang Widhi bukan kepada benda benda seperti itu. Kotor juga bisa karena pengaruh di luar diri, seperti datang ke tempat orang meninggal, orang sakit, atau melalui energi lain yang sifatnya mengotori.
Karena suksma sarira ini kotor, maka mengundang alam kotor yang mendekat, akibatnya pikiran bertambah kusut dan kotor. Sebagai contoh orang yang memasang pelelantih (misalnya agar dagangan laris) atau sesikepan (kekebalan, dan sejenisnya), yang ada dalam pikirannya adalah mempengaruhi, mengalahkan, dan menekan pihak lain. Dalam bahasa rohani ini bertentangan karena rohani adalah mengasihi, menyayangi. Jika manusia selalu berdasarkan pada kondratnya yang menyayangi pihak lain (tat twam asi), maka energi positive yang akan mendatanginya, namun jika niatnya tidak baik (menguasai, menekan, mengalahkan), maka energi negative yang akan datang, sehingga jangan heran jika orang yang senang dengan pelelantih atau sesikepan, maka lama kelamaan semakin subur niat jeleknya dan akhirnya dia dikuasai oleh energi negative itu, bukan lagi dia yang mengendalikan.
Dalam tatanan upakara, maka amretista ini diwujudkan dalam Banten Pareresik, yaitu Byakaon, Durmenggala, Prayascita. Biasanya sebelum dimulainya nedunang Ida Bhatara, maka dilakukan terlebih dahulu pembersihan Pelinggih juga upakara (banten) dan sebelum sembahyang umat juga dibersihan dengan ketiga banten ini. Banten Byakaon fungsinya untuk pembersihan Bhur Loka, baik di Bhuwana Agung maupun Bhuwana alit (manusia), sehingga ketika meketis diarahkan ke bawah (Sor). Banten Durmenggala untuk pembersihan Bhwah Loka sehingga meketis ke tengah (madya), kemudian Prayascita pembersihan Swah loka, sehingga meketis ke atas. Dengan demikian setelah dilakukan pembersihan diharapkan bhuwana agung dan bhuwana alit sudah terbebas dari energi negative yang bisa mengganggu kekhusukan ketika kita bersembahyang.
Apakah pembersihan dilakukan saat saat tertentu saja? Tentu tidak. Ibarat mandi atau membersihkan sthula sarira, maka suksma sarira juga perlu rutin dilakukan pembersihan. Tentu bukan berarti kita setiap hari ke laut atau ke air terjun atau ke gria, karena semua itu bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing. Caranya adalah, ketika kita bersembahyang sore atau pagi (Nyurya sewana), maka linggihkan satu gelas air di Kemulan atau di Padma (Surya) bagi yang tidak memiliki Kemulan Rong Tiga. Setelah selesai sembahyang nunaslah ”Tirta Pembersihan” di tempat kita sembahyang (Kemulan atau Surya). Lalu ketiskan dulu tirta tersebut ke semua Pelinggih mulai dari tempat nunas tirta lalu ke Pelinggih lainnya. Jika nunas di Kemulan maka dipercikkan kedua adalah Surya dan selanjutnya ke Pelinggih lainnya. Setelah semua Pelinggih juga pelangkiran dan rumah diperciki tirta pembersihan, maka barulah kita nunas tirta tersebut. Jika ini dilakukan rutin setiap hari, maka itu ibarat kita mandi dengan antiseptic dan sabun wangi setiap hari, maka suksma sarira juga menjadi bersih, suci sehingga Aura kesucian atau energi positive dari alam juga Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari akan semakin dekat dengan diri kita. Semoga semua kita memperoleh kesucian atas anugerah Hyang Widhi dan Bhatara Bhatari.
Om bhur bwah swah maha Gangga tirta pawitrani ya namah swaha.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar