Pakar Weda, cendekiawan Hindu ternama di Indonesia, guru besar sekaligus mantan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D, 65 tahun secara resmi menjadi sulinggih dan menyandang Abhiseka (gelar) Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Wedananda.
Status tersebut ia sandang setelah melalui rangkaian upacara Rsi Yadnya, yakni prosesi upacara Diksa Dwijati Seda Raga pada Sukra Kliwon Tolu, Jumat tanggal 21 September 2017 yang lalu di Banjar Gede, Desa Pakraman Muncan, Selat, Karangasem. Beliau menjalani prosesi ‘mediksa’ bersama isrinya yang kini bergelar Ida Pandita Mpu Istri Acharya Jaya Daksa Wedananda.
Sebelumnya, yaitu pada tahun 2008 tokoh pasemetonan warga Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) ini telah melaksanakan upacara ‘Pewintenan Pemangku’ dan bergelar Jero Mangku I Made TItib, dan telah pula menjalani upacara ‘Munggah Bhawati’ pada tanggal 26 Mei 2017dengan menyandang gelar Ida Bhawati Made Titib. Pada September 2017 dilaksanakan upacara Diksha Pariksha, yakni semacam ujian lisan dari para Guru Nabe (sulinggih yang menjadi guru rohani/spiritual) terhadap sang calon pandita. Upacara Diksha Pariksha dihadiri oleh belasan sulinggih, Ketua MGPSSR Kabupaten Karangasem, I Gede Pawana, tokoh-tokoh MGPSSR, keluarga besar Dadia Meranggi serta masyarakat Desa Muncan.
Dr. I Wayan Darma selaku Ketua Panitia Upacara Dwijati menyampaikan bahwa prosesi upacara Diksa Dwijati diawali dengan ritual mohon tirtha ke Pura Tri Kahyangan Desa, Pura Sad Kahyangan Lempuyang, Pura Sad Kahyangan Besakih pada Redite Kliwon Tolu, Minggu,17 September 2017 lalu. Kemudian dilanjutkan dengan upacara Pecaruan Rsi Ganapada pada Soma Umanis Tolu, atau pada Senin, 18 September 2017.
“Seluruh rangkaian upacara Diksa Dwijati ini didukung penuh oleh keluarga besar Dadia Meranggi dan Paguyuban Dharma Yadnya Desa Muncan yang beranggotakan sekitar 700 kepala keluarg.” jelasnya.
Padahari Kamis, tanggal 21 September 2017, tepat pada pukul 19.00 upacara Diksa Dwijati Seda Raga dibuka dengan sambutan oleh Ketua Panitia, kemudian dilanjutkan dengan sesi dharma wacana yang diisioleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda. Turut pula memberikan sambutan, Ketua MGPSSR Provinsi Bali, Wisnu Bawa Temaja dan Ketua Umum PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) Pusat, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya yang langsung datang dari Jakarta. Tampak hadir puluhan sulinggih, pemangku, tokoh agama dan ratusan masyarakat Desa Muncan yang memadati tempat upacara berlangsung.
Acara utama dipimpin oleh tiga orang sulinggih senior sekaligus bertindak sebagai Guru Nabe beliau, yakni: Ida Pandita Mpu Nabe Dukuh Jayati dari Griya Agung Badeg, Banjar Badeg, Desa Sebudi, Kecamatan Selat yang bertindak sebagai Nabe Tapak, sedangkan Ida Pandita Mpu Siwa Putra Parama Daksa dari Griya Agung Bangkasa, Desa Bongkasa, Badung, bertindak sebagai Nabe Saksi, dan Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Putra Pemuteran dari Gria Agung Penataran Renon, banjar Renon, Denpasar yang bertindak sebagai Nabe Waktra
Pada proses upacara sakral ini tampak Ida Bhawati Made Titib bersama Ida Bhawati Istri Ketut Sapariani mengenakan busana serba putih, ‘melukat’ dan ‘ngayab banten’ di hadapan ketiga Nabe tersebut. Setelah di-‘Tapak Daksina’ oleh Guru Nabe, pertama-tama Ida Bhawati Made Titib seperti kehilangan kesadaran, dibalut kain putih, selanjutnya diangkat bersama-sama oleh krama lanang (para lelaki) dan diperlakukan layaknya orang meninggal. Menyusul Ida Bhawati Istri Ketut Sapariani juga diangkat bersama-sama krama istri (para perempuan). Keduanya kemudian dibaringkan di bale Saka Wolu (bangunan bertiang delapan) di bagian barat kompleks kediaman tersebut. Keduanya beryoga layaknya orang meninggal selama hampir tiga jam.
Lewat tengah malam, keduanya diperciki tirtha suci dari sang Nabe, mereka pun terjaga, kemudian bersama seluruh keluarga melaksanakan persembahyangan bersama di Pura Merajan. Di penghujung acara, ketiga Guru Nabe memberikan Abhiseka (gelar nama baru) kepada sang calon pandita sebagai pertanda telah dilahirkan kembali menjadi pendeta (Dwijati), yakni Ida Pandita Mpu Acharya Jaya Daksa Wedananda dan Ida Pandita Mpu Istri Acharya Jaya Daksa Wedananda. Guru Nabe kemudian mengubah status kediaman mereka menjadi Griya (griya merupakan tempat tinggal khusus para pendeta) dengan nama Griya Agung Taman Ganapati, Muncan.
Penyerahan SK PHDI Pusat
Kesokan harinya dilaksanakan acara pembacaan SK (Surat Keputusan) Sabha Pandita PHDI Pusat yang ditandatangai olehWakil Dharma Adhyaksa dan resepsi. Pembacaan SK tersebut dilakukan oleh Ida Sira Mpu Agni Yoga Sogata sebagai perwakilan Sabha Pandita PHDI Pusat. Acara ini dihadiri oleh Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemprov. Bali, I Dewa Gede Mahendra Putra, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Bali, I Gede Pasek Suardika, Ketua MGPSSR Pusat, Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, Sp. JP., Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman Bali, Jero Gede Putu Suena Putus Upadesa, Dirjen Hindu yang diwakili oleh Direktur Urusan Agama Hindu Kementerian Agama Jakarta, pimpinan IHDN Denpasar, Perwakilan World Hindu Parisad, tokoh masyarakat Muncan dan para undangan penting lainnya.
“Kami sangat bersyukur bisa mengikuti jejak leluhur menjadi pendeta. Ternyata untuk bisa melewati semua tahapan ini, ujiannya cukup berat,” ungkap Ida Pandita Mpu Acahrya Jaya Daksa Wedananda. Sebagaimana diketahui sejak 1983 secara niskala beliau diminta menjadi pendeta namun selalu menolak, dan sejak saat itu berbagai cobaan seperti datang tiada henti. “Setelah kami berjanji untuk ‘ngiring’, banyak hal positif terjadi. Kami percaya bahwa kekuatan Tuhan, Ida Bhatara Kawitan, dan Ida Bhatara Sesuhunan selalu melindungi kami, dan kami menyampaikan terima kasih yang luar biasa kepada semua pihak yang memberikan dukungan moral dan material, terutama ketika kami menghadapi masa-masa sulit tersebut,“ tutupnya.
(Nararya Narottama)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar