Opini oleh I Nyoman Tika
Di antara lambaian pohon terjurai bulir padi di hamparan sawah yang berundak, disaksikan surya yang cerah pagi hari serta daun menghijau pohon salak. Ditingkahi getaran-getaran gempa yang ritmis berkali kali dan mendayu menggoncang pertiwi sebagai pertanda bahwa gunung agung akan bangun dari tidurnya yang sudah hampir 54 tahun silam pulas tanpa geliat yang berarti.
Inilah kondisi yang selalu hadir dalam budaya risiko hidup di komunitas gunung berapi. Gunung Agung ada di level awas, tahap akhir menuju erupsi, namun tak satu pun orang bisa memastikan bahwa kapan erupsi benar-benar terjadi. Namun teknologi pengeinderaan masih sebatas mereka-reka.
Gunung agung banyak kisah yang bisa dianalisis dari multi sudut pandang, sebuah dimensi romantisme kehidupan yang kerap mengandung misteri yang penuh teka-teki, yang tak jarang membuat manusia terkesima dengan aneka peristiwa yang melingkupi gunung Agung. Namun kabar baiknya adalah, gunung Agung selalu menghadirkan pesona untuk dinalar sebagai bentuk kerinduan bahwa Gunung sebagai unsur nyegara-gunung tetap hadir untuk membawa kepada budaya baru, yaitu solidaritas antara sesama untuk menghadapi risiko yang mungkin terjadi. Pada terminal itu, maka pemahaman akan erupsi dan hal-hal lain yang berkaitan letusan gunung Agung menjadi penting untuk membangun budaya ketahanmalangan terhadap bencana yang mungkin timbul.
Lalu, budaya mental ketahanmalangan terhadap letusan gunung api terus dibangun dan terus diupayakan dalam bentuk antisipasi terhadap dampak yang mungkin ditimbulkannya. Letusan gunung api dapat dipilah menjadi dua. Pertama, bahaya langsung saat gunung meletus seperti awan panas (aliran piroklastik) guguran material letusan gunung, bebatuan, abu vulkanik, lava dan erosi tanah. Kedua, bahaya tak langsung seperti terjadinya polusi udara oleh zat beracun, air tercemar, lahan rusak akibat lava panas, lahar dingin, karena bisa menimbulkan banjir kiriman, serta material padat yang mengemulsi di atmosfer (stratosfer). Namun perlu diketahui bagaimanakah mekanisme yang terjadi di lapisan atmosfer. Jawabannya adalah proses emulsi dari material padat diudara menjadi aerosol, sehingga bertahan kurang lebih 1 tahun.
Akibat aerosol ini menimbulkan efek rumah kaca, dan akan mengakibatkan perubahan iklim, dan bagi Bali sangat terasa saat musim dingin. Perubahan iklim berdampak pada kehidupan musim tanam, sehingga bisa menimbulkan kerugian dalam waktu yang relatif lama. Letusan Gunung Agung tahun 1963 misalnya, menghasilkan debu terbesar ke wilayah statosfere selama lebih dari 50 tahun, kondisi ini mengilhami banyak kajian ilmiah modern (Robock, A. (2000). Ic Eruptions, (1998), 191–219).
Berbeda dengan Gunung Agung, Gunung St. Helens yang meletus 1980 sangat eksplosif, namun tidak menyuntikkan banyak sulfur ke stratosfer, sehingga memiliki efek global yang sangat kecil [Robock, 1981a] 815. Letusan Tambora menghasilkan “tahun tanpa musim panas” di tahun 1816. Yang paling ekstensi yang dapat mempengaruhi dampak letusan singlev dilakukan oleh Royal Society, memeriksa Letusan Krakatau tahun 1883, dalam volume yang indah termasuk cat air matahari terbenam vulkanik dekat London.
Gas beracun yang biasanya muncul pada gunung api aktif adalah karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida, hidrogen sulfida, asam klorida dan karbon monoksida CO, HCN, H2S, SO2 asam klorida, pada konsentrasi di atas ambang batas dapat membunuh. Pengeluaran gas CO2, semisal kejadian di Gunung Dieng, sebagai misal membunuh banyak penduduk, sebab gas demikian tidak berbau dan juga langsung membuat sesak nafas dan meninggal seketika. Dalam kondisi dini dapat melepas senyawa kimia yang heterogen yang sangat berbahaya adalah aerosol dari chlorine yang apat merusak ozon.
Letusan gunung berapi dapat menyuntikkan ke dalam stratosfer puluhan teragrams (100 milligram) gas kimia dan mikro aktif dan partikel aerosol padat, sehingga dapat mempengaruhi keseimbangan dan iklim radiasi bumi, dan mengganggu ekuilibrium kimia stratosfer. Awan vulkanik terbentuk dalam beberapa minggu dengan konversi SO2 menjadi sulfat aerosol dan transformasi mikrofisika berikutnya.
Efek lain yang sangat berbahaya lagi adalah bereaksinya air hujan dengan gas di atas menimbulkan efek hujan asam dengan kadar yang tinggi dan relatif lama, kondisi ini, ketika gas-gas ini bereaksi dengan molekul air dan oksigen di antara bahan kimia lain yang ditemukan di atmosfer, senyawa kimia asam ringan seperti asam sulfat dan nitrat terbentuk akibat hujan asam. Meletusnya gunung berapi mengandung beberapa bahan kimia yang bisa menyebabkan hujan asam. Hujan asam sangat merugikan bangunan dari kapur dan besi, serta berbahaya bagi tumbuhan, yang di Bali dikenal sebagai “damuh lengis.”
Saat ini gunung Agung berada dalam kondisi siap meletus. Ada beberapa hipotesis yang bisa terjadi berdasarkan material yang akan dilontarkan: yaitu dua macam, yakni erupsi eksplosif dan erupsi efusif. Letusan yang eksplosif terdapat tekanan gas magmatis yang sangat besar di dalam bumi, sehingga menimbulkan ledakan besar pada saat terjadi letusan atau erupsi. Letusan Gunung agung selama ini adalah letusan yang khas karena gunung vulkanik tipe monoconic strato itu termasuk gunung muda dan sempat tidur panjang selama 120 tahun sampai meletus pada 1963
Gunung agung memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, bila terjadi letusan atau erupsi efusif, yaitu tekanan gas magmatisnya tidak terlalu kuat, sehingga tidak terjadi ledakan. Pada kasus ini material yang dikeluarkan berbentuk cair dengan disertai material padat berukuran kecil, meleleh karena gas yang larut dalam aktivitas magma terdifusi pada badan gunung sehingga tidak eksplosif.
Kedua, gunung Agung meletus dengan fase eksplosif yang meledak-ledak dan berevolusi menuju pembentukan kubah. Transisi ini akan ditandai dengan penurunan fraksi volume gas, yang biasanya disebabkan oleh gradien kimia di ruang gunung berapi. Studi petrologi dan geokimia menunjukkan bahwa interpretasi ini terlalu disederhanakan. Pengamatan kritis adalah bahwa tingkat letusan menurun seiring waktu dan secara nyata lebih kecil selama pertumbuhan kubah daripada pada aktivitas eksplosif.
Mengikuti Analisis Eichelberger, gunung Agung kemungkinan terjadinya transisi dari aktivitas eksplosif ke formasi kubah, sehingga kehilangan gas melalui dinding saluran permeabel pada dinding gunung, sehingga rekahan-rekahan yang terjadi dapat mengurangi eksposifitas ledakan erupsi. Kalau ini terjadi, maka dapat diramalkan letusan gunung Agung akan lebih ringan dari tahun 1963.
Selanjutnya, dalam beberapa kasus, proses yang sama bertanggung jawab atas transisi pada aliran piroklastik. Transisi tersebut akibat penurunan tingkat letusan pada radius daerah berbahaya. Isi gas lahar yang naik ke permukaan bumi ditentukan oleh dua proses yang saling bersaing: pelepasan tekanan yang mengarah ke eksplanasi dan ekspansi gas. Jumlah gas yang hilang berbanding terbalik dengan tingkat letusan dan sebanding dengan perbedaan tekanan antara saluran dan batuan penyusun gunung api. Variabel kritisnya adalah tekanan di ruang gunung berapi dapat terus menurun seiring waktu karena ruang kosong, kondisi ini menyiratkan penurunan tingkat letusan. Pada gilirannya, penurunan ini bertindak untuk meningkatkan fraksi gas yang hilang ke batuan dan karenanya mengurangi kandungan gas dari bahan yang meletus. Oleh karena itu, model tersebut memprediksi bahwa seiring berjalannya waktu letusan mengalami transisi dari kondisi eksplosif ke non-eksplosif. Transisi ini terjadi sebagai evolusi fraksi volume gas yang sangat tinggi. Fluktuasi tekanan yang sangat kecil dari orde satu menunjukkan bahwa transisi erupsi tidak stabil, serta perubahan yang diamati antara fase eksplosif dan pembentukan kubah pun kerap terjadi.
Selain itu, letusan gunung api sebagai penyebab alami perubahan iklim pada rentang waktu yang banyak. Baru kemampuan untuk memprediksi respons iklim terhadap erupsi tropis yang besar selama 2 tahun ke depan akan terbukti bernilai bagi masyarakat. Selain itu, untuk mendeteksi dan mengaitkan iklim antropogenik di negara-negara berkembang, aerosol, dan turunan lapisan ozon, sangat penting untuk mengukur perubahan iklim. Gunung Erge misalnya, letusannya menyuntikkan gas belerang ke stratosfer yang mengubah aerosol menjadi sulfat dengan waktu tinggal sekitar 1 tahun. Partikel abu besar jatuh lebih cepat. Efek radiasi dan kimia dari awan aerosol ini menghasilkan respons terhadap sistem iklim. Penyebaran aerosol dengan menyerap radiasi matahari memanaskan stratosfer.
Kita berharap dan mengambil pelajaran bahwa gunung Agung saat ini sedang memberikan banyak nasihat lagi, banyak pesan dimuntahkan dan kita semua diharapkan memetiknya dengan bijak, dan berdoa walaupun nanti terjadi letusan, semoga tidak parah, hanya letupan proses alamiah tanpa korban yang berarti. Walaupun begitu, gunung Agung telah menyatukan kemanusiaan kita, menyatukan hasrat kita bahwa hidup harus saling tolong menolong.
Di bingkai itu gejolak kehidupan gunung Agung selalu memberikan lahan dan ladang, untuk kita berbenah dalam membangun kesadaran bahwa hidup harus saling berempati, bersimpati, dengan sebuah kultur ketulusan untuk berbagi derita. Oh.. ternyata, Tuhan dan alam semesta memberikan ruang untuk ‘berbuat baik bagi sesama. Saling tolong-menolong adalah karakter yang saling menguatkan. Semakin kita melakukannya semakin kuatlah kita.
Kini saudara kita yang mengungsi, menunggu perbuatan baik dan rasa berbagi pada sesama, mereka telah hadir mengetuk pintu depan rumah kita saat ini. Kata guru saya, “Jadilah terdepan dalam melakukan sedekah, terdepan dalam membantu walaupun hanya doa dari hati yang dalam dalam tindakan tolong-menolong, karena tolong menolong menjadikan kehidupan penuh dengan kemudahan, menjadikan hidup penuh dengan kebaikkan.” Inilah budaya resiko yang terus dibangun dalam kehidupan di sekitar gunung Agung. OM Nama Siwaya.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar