Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 24 September 2017

Rerajahan Penangkeb Rat Peranti Gaib Penunduk Suami

Penggunaan rerajahan (seni gambar) dalam masyarakat Bali, terutama dalam dunia keagamaan dan budaya sangatlah  sentral. Selain memiliki unsur seni, terdapat pula unsur mistik yang terkandung di dalamnya. Masyarakat Bali yang beragama Hindu menggunakannya dalam berbagai  ritual keagamaan, seperti rerajahan dalam fungsinya sebagai ulap-ulap, kajang, rurub caru atau pun aled caru dan lainnya.

Penggunaan rerajahan tersebut dapat kita jumpai pula sebagai salah satu bagian pada pelawatan. Seperti halnya pelawatan rangda yang memiliki kereb atau kekudung, yang di dalamnya terdapat aksara-aksara suci tertentu yang bersifat mistik serta gambar-gambar tertentu.
Beberapa lontar seperti salah satunya dalam lontar Kanda Rerajahan menyebutkan, rerajahan juga disebut sebagai tumbal. Tumbal dimaksud, yaitu sebagai sarana penjaga dalam hal kehidupan manusia, utamanya di pekarangan rumah serta tempat pertanian atau peternakan. Seni rerajahan dapat kita jumpai pula dalam hal pengobatan atau usada. Adapun yang dirajah, yaitu sarana atau prasarana yang dipakai mengobati oleh seorang penekun usada. Penggunaan rerajahan terhadap manusia atau si pemakai yang sifatnya pribadi, biasa dipergunakan dalam perlindungan, pengasih ataupun hal lainnya. Perlindungan yang dimaksud, yaitu baik bersifat fisik atau non fisik yang lazim disebut sebagai gelar urip atau pengraksa jiwa. Sedangkan pengasih yang dimaksud, yaitu untuk meluluhkan hati seseorang ataupun kelompok.


Salah satu jenis rerajahan yang memiliki kriteria tertentu dalam penggunaannya, yaitu guna penangkeb rat. Rerajahan ini memiliki fungsi sebagai pengasihan bagi penggunanya. Biasanya dipakai oleh seorang wanita atau istri untuk menundukkan suami. Seni gambar yang terdapat di dalamnya sangatlah sederhana, yaitu menunjukkan seorang wanita (istri) yang menginjak kepala laki-laki (suami). Selain itu, sarana yang digunakan seperti yang termuat dalam rerajahan jenis ini bersifat bebas. Biasanya si pengguna yang menginginkan rerajahan jenis ini menggunakan lempengan (pripihan) yang terbuat dari logam seperti emas atau perak, ataupun dimuat dalam kain. Adapun mantra yang terkandung dalam rerajahan guna penangkeb rat ini sebagai berikut:
Om,3, Idep Aku mawak Sang Hyang Sapuh Jagat, detya mretyu ring arep ku, anunggang aku macan gading, garuda putih ring ungkur ku, barong ring sukun ku, singa warak ring arep ku, yaksa yaksi ring sukun ku, glap umiber ring luhur ku, sarpa syuta ngaran ku, wastu rep sirep wong mekabehan, tan wani mulat maring aku, siddhi mandi mantran ku.
Dari mantra yang termuat di atas menyebutkan bahwa si pengguna atau pemakai ditakuti oleh orang yang dihadapinya dan orang akan diam, jika berhadapan kepada si pemakai. Biasanya yang menggunakan rerajahan jenis ini adalah para istri yang merasa tertindas dalam hal rumah tangga atau ingin menguasai si suami dalam hal urusan rumah tangga.
Bagi beberapa praktisi spiritual, jenis rerajahan memiliki fungsi atau kesamaan dengan rerajahan pecawetan durggha  yang membuat si pemakai, terutama seorang istri dapat menundukkan seorang suami. Seorang yang memakai rerajahan ini pastinya akan menyembunyikan dari pasangan atau orang lain, agar tidak diketahui. Pemakaiannya biasa digunakan di balik ikat pinggang yang dibalut dengan kain putih. Mereka yang mencari atau menggunakan rerajahan ini merupakan mereka yang tertindas atau tidak memiliki kecocokan dengan pasangan mereka, inilah yang menjadi syarat utama dalam menggunakan jenis rerajahan ini.
Pandangan di masyrakat Bali secara umum, orang yang memakai jenis rerajahan ini memiliki kecenderungan menuju ke arah yang negatif. Maksudnya adalah, mereka yang menggunakan rerajahan jenis ini sebagai awal tahapan mempejari pengiwa. Itulah sebabnya seorang yang akan menggunakan rerajahan jenis ini tidak sembarang diberikan oleh si pembuat, karena akan memberikan “efek samping” yang membuat si pengguna “kasengguh” mampu mempelajari ilmu pengiwa. Dan bagi si pengguna, tidak akan menyadari “efek samping” dari penggunaan rerajahan jenis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar