Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 16 Juni 2017

Agama dalam Bingkai Bhineka Tunggal Ika

Oleh I Nyoman Agus Sucipta

Manusia seolah-olah tersekat dan terkotak-kotak dalam ruang yang disebut agama. Lingkup agama menjadi sesuatu yang amat sensitif bagi pemeluknya. Bahkan isu agama mampu menghancurkan dan memecah-belah keharmonisan hidup manusia. Ditambah lagi isu tentang penistaan agama yang menimbulkan polemik berkepanjangan. Apalagi muncul fanatisme sempit terhadap keyakinan dan kepercayaan serta menganggap yang diyakini paling nomor satu. 
Apakah ini yang disebut dengan beragama? Atau disebut sebagai makhluk yang paling bermoral dan beradab, bila agama dijadikan media untuk saling membenci, menyakiti, menghina, menghancurkan dan mengintimidasi orang lain. Apakah semestinya semua harus diseragamkan atau disamakan, agar tercipta kehidupan yang indah, damai, aman dan sejahtera? Apakah manusia lupa bahwa mereka diciptakan berbeda dan perbedaan itu sesungguhnya pelengkap untuk menciptakan tujuan bersama dan saling melengkapi.
Manusia sepatutnya menyadari bahwa bumi ini disinari oleh satu matahari. Dimanapun tempat dan belahan bumi yang ada, pasti hanya satu matahari yang menjadi penerang, tetapi banyak nama dan sebutan untuknya. Seperti contoh, di Jawa matahari disebut Srengenge, di Bali disebut Matanai, Sang Surya, Sang Baskara, Sang Hyang Śiwa Raditya, di Inggris disebut Sun. Tetapi sesungguhnya matahari itu satu dengan sinar yang sama. Dalam teks Kuñjarakaṛna disebutkan penggambaran sebagai berikut:
Kadyangganing mamandang wastra, makweh rūpa ning wastra sinandang ing janma, yan pinge, bāng, kuning, hirěng, wawarnṇan kunir, sakarěsepnya pangangge; haywa cinacad ya de sang paṇdita ikang hinganggonya, apan tunggal panandang. 
Hana mangkana ta Bhaṭāra hiko dadi kabeh; bhedda rūpaning wwang lawan buddhinya, kunang uripnya Sira juga kewala haneriya. Iwa kadyanganikang ghata samuha, pada mesi wwe, yata senwakna ri sanghyang Aditya; yan pirang ayuta kweha nikang ghata tathapi ya silwakěn ikang ghaṭa,pada,esi haditya ri satunggal satunggal. Kunang ikang ghaṭa hana rahayu rūpa warnnanya, hana hala rūpa warṇṇanya, tuhun pada kinahannan wimba ning arkka. Pratyakṣan tatěnga sanghyang Sūryya ikang ana sapradeśa,  pira ta wilanganira? Anghing tunggal juga sira.

Artinya: Seperti dalam kasus mengenakan pakaian, ada berjenis-jenis pakaian yang dikenakan oleh orang, ada putih gading, merah, kuning hitam, kuning menurut selera seseorang. Orang terpelajar agar tidak menemukan kesalahan orang yang mengenakannya (karena mengenakan pakaian). Bhatara seperti itu keadaannya, Beliau menjadikan semuanya. Orang-orang berbeda dalam bentuk dan pikiran (satu sama lainnya), karena hidup mereka hanya Beliau yang ada di dalamnya. Adalah seperti tempayan yang semuanya berisi air, jika mereka menaruh matahari ke dalamnya, maka terdapat sepuluh ribu tempayan, jika seseorang melihat ke dalam tempayan-tempayan tersebut, semuanya memiliki matahari. Kenyataannya tempayan-tempayan tersebut, ada yang cantik ada yang jelek, tetapi semuanya merefleksikan matahari. Perhatikanlah secara seksama, pandanglah matahari yang ada dimana-mana, berapa banyakkah matahari tersebut? Hanya satu.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa orang-orang berbeda bentuk dan pikiran untuk memahami dan merefleksikan yang dipuja. Ibarat menggambarkannya seperti matahari dalam tempayan yang berisi air, seberapa banyak dan jenis tempayan yang ada, maka disana akan terlihat dan dilingkupi oleh bayangan matahari. Seperti itulah agama yang beraneka ragam jumlahnya dalam memahami dan merefleksikan matahari yang sesunguhnya hanya satu. Kemutlakan ini tidak bisa dipungkiri, maka dari itu diperlukan kedewasaan dan kebijaksanaan manusia dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran agama yang diyakini. Karena semua jalan yang dipilih manusia dalam mendekatkan diri terhadap yang diyakini tidak boleh dipaksakan ataupun diseragamkan yang menimbulkan perpecahan dan intoleransi. 
Dalam Kitab Bhagawadgita Bab IV sloka 11, disebutkan :
Ye yatha mam pradpadyante
Tams tathai’ va bhajamy aham
Mama vartma ‘nuvartante
Manushyah partha sarvasah

Artinya:
Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Aku terima
Dari manapun semua, mereka menuju jalan-Ku oh Parta.

Dari kutipan sloka tersebut, maka manusia diberikan kebebasan untuk memuja dan mendekatkan diri kepada yang diyakini. Dengan cara, jalan, pemaknaan dan pemahaman yang didasari pada kepercayaan yang Esa sebagai sumber dari segalanya, sehingga semestinya manusia tidak menjadikan agama sebagai pembeda, tetapi menjadikannya sebagai jalan untuk mencapai kebenaran sejati. Agama memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Dengan beragama manusia mampu memenuhi kebutuhan rohani dan ketenangan dalam hidupnya. Sikap inilah yang menyebabkan manusia senantiasa ketergantungan terhadap agama dan menjadikan agama sebagai pedoman dalam hidup. 
Manusia dan agama menjalin sebuah hubungan yang hakiki. Hubungan ini terbentuk atas dasar kepercayaan dan melalui ajaran agama diharapkan perilaku manusia dapat berfungsi optimal, yaitu dapat menimbulkan perilaku positif. Dari perilaku positif manusia terbentuk hubungan timbal balik yang kuat antara manusia dengan agama. Dengan manusia mampu mengimplementasikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama, maka terbentuk jiwa, raga dan pikiran manusia yang berkualitas. Tetapi dalam kenyataannya, agama dapat memberikan hasil yang positif maupun negatif bagi manusia. 
Kehidupan yang dijalani oleh manusia dalam setiap aktifitas sesungguhnya dipengaruhi oleh agama. Hal ini disebabkan karena agama mampu mendorong manusia untuk berperilaku positif, begitu juga bila manusia salah dalam menginterpretasikan ajaran agama, maka perilaku negatif yang muncul. Inilah yang semestinya mampu dipahami oleh manusia, sehingga manusia mampu memposisikan diri dalam memaknai dan mengaktualisasikan agama dalam kehidupan. Bukan atas dasar agama menjadikam manusia memiliki prasangka buruk dan negatif pada manusia lain yang berbeda agama. Sehingga menimbulkan kebencian dan kemunafikan serta fanatisme yang sempit dalam pribadi manusia. Hunsberger menyatakan bahwa bukan agama itu sendiri yang menyebabkan prasangka, melainkan bagaimana orang memperlakukan kepercayaan terhadap agama, itulah yang menyebabkan timbulnya prasangka.
Manusia diharapkan memiliki perilaku yang baik sesuai dengan ajaran agama untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan tujuan bersama. Melalui konsep-konsep ajaran agama diharapkan perilaku manusia dapat berfungsi optimal bagi kehidupan manusia, yaitu menimbulkan perilaku yang positif, seperti pelestarian lingkungan, perlindungan hak asasi manusia dan pengurangan kemiskinan serta mencegah perilaku negatif, seperti kejahatan, kekerasan, penyelewengan dan terorisme. Dengan perilaku yang berlandaskan pada ajaran agama, maka manusia mampu mewujudkan kehidupan yang diharapkan dalam hidup bermasayarakat. Perilaku yang diwujudkan mengedepankan rasa kebersamaan yang dilandasi dengan kasih sayang (ahimsa) terhadap sesama.
Setiap ajaran agama senantiasa mengajarkan kasih sayang dan toleransi dalam kehidupan, tetapi dalam pandangan berbeda disebutkan bahwa adanya paham-paham radikalisme dari agama bersangkutan menyebabkan adanya interpretasi yang fundamentalis dan menimbulkan prasangka serta tidak toleran dari agama tersebut. Pandangan ini memberikan gambaran bahwa ajaran agama yang sesungguhnya mengajarkan toleransi, ternyata justru dalam penerapannya menghilangkan rasa toleransi tersebut. Toleransi tersebut hilang akibat dari pengaruh yang dilakukan oleh pemimpin yang tidak bijaksana, sehingga menimbulkan penafsiran dan pemahaman ajaran agama yang keliru. Penafsiran dan pemahaman ajaran agama yang keliru ini menimbulkan fanatisme agama yang berlebihan.
Dalam Canakya Nitisastra bab IV sloka 16, disebutkan bahwa:
Tyjed dharmam daya hinam
Vidya hinam guru tyajet
Tyajet krodha mukhim bharyam
Nih-snehan bandhavam tyajet

Artinya:

Agama (dharma) yang tidak mengajarkan kasih sayang hendaknya ditinggalkan. Guru yang tidak berpengetahuan hendaknya ditinggalkan. Istri/suami pemarah hendaknya ditinggalkan dan sanak keluarga yang tidak memiliki kasih sayang hendaknya ditinggalkan. 

Dari sloka di atas, dapat diketahui bahwa apabila dalam agama tidak diajarkan tentang kasih sayang (ahimsa) dan toleransi, maka agama tersebut harus ditinggalkan. Kecenderungan yang ada adalah dalam agama tersebut ditanamkan doktrin-doktrin kebencian yang bersumber dari para tokoh agama yang menderita mabuk ajaran agama yang menimbulkan tindak kekerasan dan kebrutalan yang menghancurkan nilai-nilai kesucian ajaran agama. Bila hal ini terus terjadi, maka muncul pemahaman tentang ajaran agama yang keliru dan menganggap agama lain adalah musuh serta menjadi cikal bakal konflik horizontal bernuansa agama. 
Disorientasi manusia dan agama semestinya mampu diperbaiki, apabila manusia mampu memahami tujuan dari memeluk agama. Manusia dan agama yang diyakini bukan merupakan dasar untuk membentuk sekat dan jarak diantara manusia yang lainnya, tetapi manusia mampu saling bergandengan tangan melalui jalan agama untuk mewujudkan tujuan hidup. Hal ini sesungguhnya sudah terjadi dalam kehidupan manusia di Indonesia, yaitu terjadinya sinkretisasi agama antara Hindu dan Buddha dalam wajah multikulturalisme yang indah, sehingga melahirkan agama Śiwa-Buddha yang mampu berjalan beriringan terlebur menjadi satu dalam wadah ”Bhinneka Tunggal Ika”. Agama Śiwa-Buddha masih terpelihara dengan baik sebagai wujud toleransi universal yang luhur. Inilah yang semestinya dimaknai dan diwujudkan dalam kehidupan beragama menuju pada tujuan hidup bersama mencapai kehidupan yang aman, damai dan sejahtera. Jadikanlah agama sebagai dasar untuk mempersatukan perbedaan yang ada dalam keberagaman berlandaskan bhineka tunggal ika. Paham-paham yang berusaha merongrong kebhinekaan semestinya dapat dihilangkan bila tumbuh kesadaran bahwa sesungguhnya kita bersaudara (Vasudaiwa kutumbhakam). Karena agama sesungguhnya mengajarkan tentang makna hidup dalam perbedaan.

 (Penulis adalah seorang Guru di SMK Negeri 1 AbangKarangasem).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar