Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 28 Desember 2016

Patutkah Ada Acara Sungkem Saat Sembahyang

Belakangan ini muncul fenomena baru dalam aktivitas persembahyangan umat Hindu, yaitu melakukan sungkem atau sujud di hadapan pelinggih atau patung di pura tertentu setelah selesai melakukan kramaning sembah. Bagaimanakah menyikapi fenomena yng selama ini tidak lazim dilakukan di pura?

Fenomena sungkem dalam tata cara persembahyangan di pura sudah menjadi perbincangan di beberapa kalangan. Memang praktik bersungkem ria di depan pelinggih usai persembahyangan kramaning sembah tidak begitu populer di semua pura, tetapi ada indikasi kalau pemedek (umat yang datang ke sebuah pura dengan maksud bersembahyang) yang melakukan sungkem di pura semakin banyak. Entah darimana datangnya gaya baru tersebut, tetapi beberapa saksi mata menyebutkan pernah menyaksikannya di beberapa  pura, yaitu di Karangasem,  di Jembarana,  dan juga di suatu pura di Badung.
Salah seorang umat Hindu yang dipanggil Gus Ade (42 tahun) menceritakan pengalamannya pada saat nangkil ke sebuah purai. Disana saat usai sembahyang pemangku yang bertugas saat itu menganjurkan para pemedek untuk sungkem di depan sebuah patung. Ia yang saat itu datang bersama rombongan menolak secara halus anjuran tersebut mengingat ia belum pernah mendengar ada rujukan tata cara bersembahyang seperti itu.


Belakangan muncul pula postingan di media sosial facebook yang mengunggah foto beberapa perempuan yang nampak bersujud di sebuah pura. Memang foto tersebut tidak dapat bercerita banyak, karena tidak ada keterangan dari penggunggah, tetapi gambar tersebut cukup memperkuat adanya praktik sungkem di pura. Demikian pula Gus Ade memperlihatkan kepada Raditya rekaman video yang menunjukkan sejumlah umat Hindu yang secara bergantian sungkem di hadapan pelinggih. Pertanyaannya adalah, apakah praktif tersebut sesuatu yang lumrah dan sah-sah saja dilakukan di sebuah pura sebagai bentuk tata cara persembahyangan ataukah bagaimana?
Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh pada sebuah seminar malam hari di Denpasar yang diselenggarakan oleh Yayasan Taman Bukit Pangajaran pada Rabu, 23 November 2016 lalu  menyebutkan, kebudayaan senantiasa berubah menurut situasi dan kondisi tempat dan waktu masyarakat itu hidup. Bentuk budaya fisik maupun nonfisik senantiasa terus berubah beradaptasi dengan waktu, tetapi hanya perubahan yang dapat disepakati secara bersama-sama saja yang akan dapat berlaku di masyarakat atau istilahnya suatu perubahan dapat diterima apabila ada konsensus dari masyarakat. Mengenai adanya fenomena sungkem di pura, Ida Pedanda Istri menegaskan bahwa tata cara sembahyang di pura sudah ada pakem-pakemnya yang merupakan kesepakatan atau konsensus sejak dahulu hingga sekarang. Meskipun Ida Pedanda Istri melihat sungkem, terutama yang dilakukan oleh anak kepada orang tua, atau adik kepada kakak, atau kepada mereka yang lebih tua, merupakan bentuk etika untuk membentuk budi pekerti luhur, sebagai tanda terimakasih dan permohonan maaf kepada orang tua yang telah melahirkan, memelihara, dan mendidik  seorang anak, namun apabila sungkem tersebut dibawa ke pura sebagai sebuah bentuk persembahyangan, maka perlu ditinjau kembali. “Mungkin yang melakukan sungkem di pura tersebut memiliki alasan yang kuat secara pribadi, tetapi apakah hal itu layak dilakukan di pura yang notabene milik umum?” sebut Ida Pedanda Istri.
Lebih tegas lagi dalam menyikapi fenomena sungkem di pura ini datang dari Sabha Purohita Provinsi Bali, yaitu Ida Pedanda Gede Putra Bajing. “Sungkem di pura sudah menyimpang dari uger-uger tata cara persembahyangan di pura, dan sebaiknya untuk sembahyang di tempat umum semua umat Hindu mengikuti ketentuan yang sudah ada, jika masih memiliki keyakinan atau kemantapan lain silakan lakukan di tempat pribadi masing-masing,” jelasnya saat diminta pendapatnya pada Kamis, 24 November 2016 lalu di Denpasar.  Beliau menjelaskan bahwa makna sembahyang dengan mencakupkan kedua belah telapak tangan sehingga ke sepuluh jari tangan menyatu adalah sebagai simbol menyatukan dasa indriya, agar dapat penyucian dari Ida Sanghyang Widhi atau ista dewata yang disembah.
Ida Pedanda Gede Putra Bajing menambahkan, bahwa penganut Hindu di Bali adalah penyembah Siwa sehingga ada konsep Dasa Siwa bahwa segala sesuatunya adalah Siwa, termasuk saat memuja Pertiwi pun pada hakikatnya memuja Siwa sehingga sikap tangan saat memuja Pertiwi juga ke atas, yang diantara mantranya menyebutkan: “……. Siwa bhumi maha siddhi….” Oleh karena itu kembali kepada masalah sungkem di pura sebagai bentuk bhakti tidak dikenal sehingga hendaknya sembahayang di pura memang dipimpin oleh seorang pemangku atau sulinggih yang memimpin dan mengarahkan umat untuk melakukan bersembahyangan sesuai ketentuan yang sudah ditentukan sehingga tidak ada kreasi pribadi-pribadi.  Munculnya fenomena sungkem di pura ditengarai oleh Ida Pedanda Gede Putra Bajing sebagai akibat pengaruh budaya luar atau mungkin juga karena unsur pengaruh pawisik (bisikan gaib).
“Tyang masih ingat waktu masih aktif di Parisada Badung, pernah terjadi fenomena rombongan umat tangkil ke Pura Uluwatu dengan membawa tirtha dari rumahnya dalam sebuah galon air kemasan. Tirtha yang didapatnya entah darimana itu kemudian digunakan untuk melukat di depan pelinggih di Pura Uluwatu. Dulu hal itu segera kita berikan bimbingan, karena tentu tidak etis membawa tirtha dari tempat lain, karena sepatutnya di pura tersebutlah kita mohon wangsuh pada Ida Bhatara sebagai anugerah untuk menyucikan diri dari pengaruh  dasamala,” turur Ida Pedanda. Dan gejala sungkem ini pun Beliau duga ada pengaruhnya dari pawisik-pawisik gaib, dan tentu tidak etis hal itu dibawa ke publik, kecuali untuk diyakini secara pribadi, oleh karena tempat sembahyang milik umum sudah ada ketentuannya.
Sementara itu, menurut Hasil Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI, urutan sembah, baik pada waktu sembahyang sendiri maupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh sulinggih atau seorang pemangku adalah: (a) sembah puyung; (b) menyembah Sang Hyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya; (c) menyembah Tuhan sebagai ista dewata pada hari dan tempat persembahyangan; (d) menyembah Tuhan sebagai pemberi anugerah; (e) sembah puyung. Pada saat sembah puyung terakhir ini dengan mantra: Om deva suksma paramacintyaya nama svaha, yang artinya, hormat kepada Dewa yang tak terpikirkan Yang Maha Tinggi, Yang Maha Gaib.
Ditegaskan dalam hasil mahasabha tersebut bahwa setelah sembah puyung dilanjutkan dengan memohon tirtha dan bija. Jadi, sama sekali tidak ada ketentuan tentang sungkem disebutkan dalam keputusan tersebut.
Di tempat terpisah, Pembina Ghanta Yoga, Ida Bagus Putu Adriana mengatakan kepada Raditya pada Jumat, 25 November 2016 di Denpasar, bahwa tujuan umat Hindu bersembahyang adalah untuk menunjukkan dan mengekspresikan rasa bhakti kepada Tuhan.  Bhakti tersebut didasari oleh adanya sradha (keyakinan).   Di dalam mengekspresikan rasa bhakti tersebut perlu memperhatikan tiga hal, yaitu tattwa, susila, dan upakara. “Memang dalam tattwa Hindu ada ajaran sungkem, tetapi itu dilakukan dalam konteks tertentu yang salah satunya ada sungkem nikel ping siya untuk pabratan tertentu dalam penguasaan yoga, tetapi kalau hal itu dilakukan di pura sebagai rangkaian persembahyangan tentu secara etika kurang pas, sebab pura adalah milik umum yang secara etika semua pemedek sepatutnya mematuhi ketentuan umum saja,” tegasnya.    Ia menambahkan, di tengah gejolak globalisasi memang ada fenomena setiap insan ingin eksis dan menunjukkan identitasnya masing-masing sesuai semangat kebebasan yang berkembang. Toh demikian, ia menyarankan praktik ritual atau sembahyang di pura dan tempat lain hendaknya mengikuti ketentuan yang sudah ada saja, agar tidak terlalu banyak muncul kreasi yang belum tentu memperkuat sradha dan bhakti, dan dapat berbahaya pula sebab jika terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan semakin banyak muncul kreasi-kreasi baru dari setiap umat sehingga bentuk persembahyangan menjadi kacau jadinya, baik dari segi bentuk tata cara maupun tetuek (makna)nya.
Putrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar