Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 27 September 2016

Tren Pemujaan Ganesha

I Wayan Miasa

Masyarakat Hindu tidak saja mengikuti tren berpakaian, namun juga dalam pemujaan kepada para dewa. Hal ini terbukti dari terus bergulirnya tren pemujaan terhadap masing-masing dewa dari zaman ke zaman.  Misalnya pada zaman dahulu dalam ritual-ritual tertentu yang diagung-agungkan adalah Dewa Agni. Pada suatu masa ada pemujaan terhadap Dewa Indra yang dipuja sebagai penguasa hujan, dewa perang.



Jatuh bangun pemujaan seperti itu memang terus berlanjut dari masa ke masa.
Jatuh bangunnya pemujaan tersebut di atas juga kita bisa saksikan di masyarakat Bali dimana pemujaan terhadap dewa-dewa tertentu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, entah sebagai dewa pembawa kemakmuran, sebagai pelindung atau fungsi-fungsi lainnya. Misalnya pada suatu periode masyarakat kita di Bali membuat pelinggih penunggun karang untuk menjaga keamanan tempat tinggal atau pekarangan sang pemilik. Kemudian tren tersebut berlalu seiring dengan banyaknya masyarakat Hindu yang mulai belajar atau mendengar tentang spiritualitas ke luar Bali. Setelah pulang dari perjalanan spiritualnya itu mereka pulang membawa inspirasi sesuai dengan apa yang dilihat, didengar atau dialaminya di perjalanan rohani itu. Cobalah saksikan sekarang di masyarakat kita di Bali dimana berkembang begitu banyak jenis pemujaan terhadap berbagai dewa yang disesuaikan dengan kebutuhan sang pemuja tersebut dan bahkan pemujaan seperti ini sering membuat kerancuan. Misalnya saja tentang pemujaan terhadap Dewi Saraswati yang dianggap sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan, sekarang kedudukan beliau seolah-olah tergantikan oleh Dewa Gansesha, karena pada masa ini sepertinya berkembang suatu trend terhadap pemujaan Dewa Ganesha.

Ganesha  pada awalnya dipuja sebagai penghancur penghalang. Lambat laun beliau tidak saja dipuja sebagai dewa penghancur hambatan, namun juga sebagai dewa pemberi kemakmuran, pelindung, dewa pengetahuan dan lain sebagainya.


Pemujaan Ganesha di Bali memang sangat unik dibandingkan dengan pemujaan dewa-dewa lainnya, misalnya Dewi Saraswati hanya dipuja di lingkungan pendidikan atau lingkungan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Dewi Laksmi atau yang di Bali lebih dikenal dengan sebutan Dewi Sri atau Dewi Melanting lebih sering dipuja di lingkungan petani atau kaum pedagang. Begitu juga Dewi Durga di Bali lebih banyak dipuja di Pura Dalem dan dipuja dalam wujud Rangda. Dibandingkan dengan pemujaan dewi-dewi tersebut, Dewa Ganesha memang memiliki keunikam tersendiri. Artinya beliau tidak dipuja hanya di tempat tertentu namun hampir di semua tempat dengan berbagai bentuk arcanya. Begitu pula “mudra” beliau beragam bentuknya. Perhatikanlah secara seksama dimana kita pada saat ini bisa melihat patung Ganesha di berbagai tempat entah itu di depan “aling-aling”, di depan pintu masuk sekolah, di pelangkiran, di pintu masuk pura, di perempatan jalan, di genah melukat, di ruang suci balian, dan lain sebagainya. Begitu juga mengenai bentuk “mudra” beliau sangatlah beraneka ragam dibuat, misalnya ada yang dalam posisi menari, dalam posisi bersila atau duduk di atas bunga teratai dan bentuk-bentuk lainnya. Begitu juga mengenai jumlah tangan beliau, ada yang berupa dwi bhuja, catur bhuja, asta bhuja dan lain sebagainya. Begitu juga perlengkapan atau aksesoris yang dipakai bermacam-macam, ada yang membawa genitri, ada yang membawa kapak, membawa mangkok penuh manisan, membawa lotus dan lain sebagainya.

Bagaimanapun perwujudannya serta aksesoris yang dipakai hal itu bukanlah yang penting namun yang terpenting adalah adanya pemahaman yang baik dan benar mengenai saran dan pesan yang ingin disampaikan kepada pemuja atau para bhakta beliau. Karena hakekat suatu pemujaan terhadap dewa atau dewi tersebut adalah untuk menimbulkan rasa damai, nyaman dalam berspiritualitas dan bukan sebaliknya, yaitu rasa ketakutan atau kegundahan. Selain itu kita perlu mengerti dan sadar bahwa berspiritualitas itu adalah suatu pengalaman rohani yang sangat pribadi sehingga pemujaan terhadap dewa-dewa tersebut haruslah berdasarkan “sraddha” dan bukan hasil doktrin atau hasil pencucian otak.

Tren pemujaan Ganesha saat ini mungkin timbul karena adanya suatu perasaan warga kita yang ingin mendapatkan apa yang telah dilakukan dan ditunjukkan oleh beliau pada masa lalu dimana beliau telah menunjukkan berbagai “leela” yang dianggap sesuai dengan keadaan zaman sekarang. Beliau berfungsi sebagai penghancur hambatan, pembawa kemakmuran, pelindung dan sebagainya. Karena ketidakterbatasan sifat beliau maka para bhakta atau penyembah beliau juga mengejawantahkan beliau dengan ekspresi yang tak terbatas juga sesuai dengan daya imajinasi penyembah beliau. Dan hal inilah yang mungkin membuat para penyembah beliau menempatkan beliau sesuai dengan kebutuhan sang penyembah beliau. Karena hal seperti ini pada saat ini tidak mungkin dilakukan pada dewa-dewa lainnya, misalnya saja pada Shree Narayana, Dewa Brahma, Dewa Wishnu serta dewa-dewa lainnya. Hal ini saya pernah alami sendiri dimana saya menaruh patung Shree Narayana di halaman rumah sendiri. Namun saat itu Bendesa adat saat itu mengganggap patung Shree Narayana itu pembawa petaka sehingga harus dikeluarkan dari lingkungan desa adat. Coba bayangkan, seorang Bendesa Adat yang juga seorang pendidik itu pun tidak mengerti mengenai filsafat mengenai para dewa, bagaimana dengan warga yang tak terdidik.

Masyarakat kita di Bali memiliki kebebasan dalam menyembah atau memuja dewa-dewa sesuai dengan fungsi masing-masing dewa. Kita perlu mengerti bahwa ada dua jenis pemujaan di masyarakat,  yaitu pemujaan secara komunal dan pemujaan secara personal. Ketika pemujaan terhadap dewa tertentu bersifal personal maka orang lain tidak perlu turut campur mengenai dewa yang dipuja oleh masing-masing individu. Berbeda dengan pemujaan yang bersifat komunal dimana warga melakukan pemujaan bersama-sama dengan dituntun oleh seorang pinandita atau sulinggih, maka para bhakta harus mengikuti tatanan pemujaan yang diterapkan secara komunal di tempat tersebut. Kita perlu juga ingat bahwa tujuan dari semua pemujaan tersebut adalah untuk mencapai suatu keadaan shanti serta kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu sebagai penganut Hindu pujalah dewa-dewa yang sesuai dengan keadaan dan kecocokan kesadaran spiritual kita agar kita merasa nyaman dalam berbhakti kepada dewa atau dewi.

Pemujaan entah dewa mana yang dipuja asalkan pemujaan tersebut berhasil membawa perubahan spirit hal ke arah yang lebih baik, membawa kedamaian dan kemakmuran kepada sang pemuja, maka tindakan pemujaan tersebut terus bisa dilanjutkan. Karena pemujaan atau bhakti kepada dewa atau dewi tersebut bukanlah seperti kita naik gerbong kereta api yang tergantung pada sang masinis. Pemujaan terhadap dewa-dewi adalah perjalanan pencarian jalan rohani masing-masing individu untuk menemukan jati diri. Dalam perjalanan pencarian tersebut akan bertemu di suatu titik dengan para pencari jalan spiritual lainnya, seperti yang tersirat dalam Bhagawad Gita, dimana ada banyak jalan menuju Beliau dan ikutilah jalan yang sesuai dengan kondisi masing-masing bhakta.

Sekali kita perlu ingat dan sadar bahwa entah  dewa atau dewi mana pun yang dipuja atau disembah oleh masing-masing pribadi asalkan membuat pribadi itu merasa nyaman dan damai, maka kita wajib menghormati dan menghargai kepercayaan masing-masing individu tersebut. Agama Hindu tidak menginginkan para penganutnya menjadi “filsuf kulkul”, suara lantang memberi peringatan orang banyak, tetapi yang bersangkutan semakin hari semakin hancur, karena terus-menerus mengeluarkan suara keras akibat hantaman kayu pemukul (suara keras tapi isi kosong).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar