Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 27 September 2016

Sekolah Seharian dan Konsep Catur Guru

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Ganti menteri, ganti kebijakan, orang tua murid yang jadi korban. Ungkapan itu sudah lama ada dan belakangan sudah mulai mereda. Ternyata sekarang muncul lagi dan langsung bikin gaduh. Itu terjadi setelah Prof. Muhadjir Effendy mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dipilih Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Anies Baswedan secara mendadak. Belum sebulan Muhadjir menjadi menteri sudah menjadi bulan-bulanan karena pernyataannya yang membuat heboh. Bukan cuma soal “sekolah seharian” atau yang dipopulerkan dalam bahasa asing,

Full Day School, tetapi juga soal lain, misalnya, mentoleransi kekerasan dalam dunia pendidikan. Menteri ini layak dapat Piagam Muri sebagai “menteri tercepat membuat gaduh”.
Apa yang mendasari kebijakan Muhadjir untuk program full day school  (FDS) itu? Alasan utama adalah mengakomodasikan kesibukan orang tua murid yang bekerja sampai sore. Jika anak juga ada di sekolah sampai sore, maka orang tua bisa sekalian menjemput anaknya sepulang kerja. Kalau anak bersekolah separoh hari seperti sekarang, pulang ke rumah tak ada yang menjaganya, karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Kalau pun diawasi pembantu, kurang terjamin karena pembantu umumnya kalah wibawa dari anak itu sendiri.

Jelas sekali alasan menteri ini adalah problema orang kota, bahkan itu pun hanya sebagian orang yang tinggal di kota besar. Banyak warga kota yang tidak selalu kedua orang tuanya bekerja. Gambaran seperti ini bertolak belakang dengan keadaan di pedesaan, di mana keluarga itu masih hidup dalam “situasi normal”. Kalau pun orang tuanya sibuk bekerja, apakah itu menjadi buruh atau bertani, masih banyak yang bisa mengawasi anak-anak. Mungkin kakek dan neneknya. Atau anak itu pun bisa diajak ke kebun, ke sawah, atau memelihara ternak. Anak-anak itu bermain layang-layang, berlari di pematang sawah, mengembalakan kambing, atau cebur-ceburan di sungai. Mereka sesungguhnya sedang belajar pada alam, mencari ilmu di alam semesta. Anak-anak tidak terjebak di lingkungan sekolah. Belum lagi ada kegiatan berkesenian dan bersembahyang diantar oleh orangtuanya.

Dalam ajaran agama Hindu ada yang disebut Catur Guru. Ada empat guru di mana seseorang bisa menimba ilmu. Ini sebenarnya bisa menjelaskan bagaimana ilmu itu tak harus dicari di sekolah saja, banyak tempat lain di mana ilmu itu bertebaran.

Catur Guru yang pertama adalah Guru Rupaka. Ini kedua orang tua kita, dari sini ilmu pertama kita peroleh. Bagaimana kita belajar bicara, belajar berjalan, belajar makan. Kedua orang tua tak bisa dipisahkan dari proses pendidikan. Betapa pun sibuknya kedua orang tua wajib untuk mendidik anak-anak mereka. Memberikan cerita, mengajak bersembahyang, berlajar membuat sesajen adalah juga pendidikan nonformal yang penting.

Yang kedua, Guru Pengajian, guru di sekolah. Nah ini yang lebih formal sebagai tempat memperoleh ilmu. Sekolah yang dimaksudkan di sini tak sekedar guru yang mengajar di kelas, juga yang mengajar di pasraman-pasraman, misalnya.

Yang ketiga, Guru Wisesa, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan bahkan “guru tak berwujud” yakni apa pun yang ada di masyarakat bisa menjadi guru kita dalam menimba ilmu. Kita dapatkan ilmu di ruang seminar, di ruang perpustakaan, saat menonton kesenian, mendengarkan dharma wacana dan seterusnya. Artinya, sosialisasi di masyarakat dan lingkungan sekitar itu sangat diperlukan, tak bisa anak-anak dibelenggu di sekolah seharian.

Yang keempat, Guru Swadyaya, Tuhan Yang Maha Esa. Ini guru tertinggi, karena Beliau sumber segala ciptaan, sumber segala ilmu. Pelajari kitab suci, amalkan ajaran-ajaran agama, rajin melakukan persembahyangan. Tentu sesuai dengan agama kita. Tidak ada agama yang mengajarkan kita untuk bodoh.

Kembali ke konsep FDS, sebenarnya di kota besar sudah banyak sekolah swasta yang menerapkan konsep itu. Termasuk di Denpasar, misalnya, Sekolah Gandhi di Ubung. Umumnya sekolah itu berembel-embel internasional. Murid seharian di sekolah, namun semuanya terjamin. Makan di sekolah, kantinnya luas, makanan sehat. Fasilitas ektra juga bagus, berbagai kegiatan bisa dilakukan di sekolah. Main musik, melukis, menari, olahraga sesuai bidang yang dipilih. Tetapi bayaran untuk menaruh anak didik di sana mahal, seberapa orang yang bisa menyekolahkan anaknya di sana? Apakah orang tua di pedesaan bisa menaruh anaknya di sana? Sangat mustahil. Lagi pula kalau sekolah itu menyiapkan sarana persembahyangan, pasti tata cara itu sangatlah formal. Padahal dalam masyarakat Hindu, melakukan persembahyangan sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi atau dalam istilahnya desa, kala, patra.

Kalau ide Mendikbud menerapkan FDS sebagai kebijakan nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia, dari kota ke desa, apakah itu masuk akal? Dari mana biaya untuk menambah jam belajar itu, dari mana mendatangkan guru? Jangan-jangan ini menjadi biaya yang ditanggung orang tua murid. Orang tua murid akan dibebani uang tambahan, minimal tentu saja biaya untuk makan anak-anaknya di sekolah.

Gedung sekolah di desa banyak yang memprihatinkan, atapnya bocor dan tiang-tiang keropos. Guru pun minim. Banyak kepala sekolah mencari tambahan guru lewat “guru pengabdian” dengan honor Rp 250 ribu sebulan. Dana diambil dari dana BOS (Biaya Operasional Sekolah) sepengetahuan Komite Sekolah. Kalau kepala sekolah nasibnya lagi mujur, dapat pula jatah “guru kontrak” honornya sesuai upah minimun regional dibayar oleh Pemda Kabupaten/Kota lewat Badan Kepegawaian Daerah. Dengan situasi seperti ini, sekolah yang tak memadai di pedesaan dan guru “asal-asalan”, bagaimana bisa sekolah seharian? Boro-boro anak itu betah, malah mereka senang pulang lebih awal. Lingkungan rumah lebih nyaman dari lingkungan sekolah.

Jadi, ide Menteri Muhadjir ini sudah pasti sulit diterapkan secara nasional karena kondisi berbeda. Untuk membangun sekolah-sekolah yang memenuhi standar, tentu membutuhkan waktu. Tak bisa ujug-ujug karena pembangunan gedung itu adalah anggaran pemerintah daerah, bukan anggaran Kemendikbud. Jika pun dipaksakan menerapkan FDS di sekolah-sekolah negeri di perkotaan karena kondisi lebih baik, akan terjadi kesenjangan antara sekolah negeri di kota dengan sekolah negeri di desa. Kenapa tidak diserahkan saja konsep FDS itu ke sekolah swasta? Sementara sarana sekolah di pedesaan termasuk mutu pendidikannya terus ditingkatkan. 

Belum lagi masalah budaya dan demografi yang menjadi kendala, ada masyarakat di mana anak-anak tak bisa dilepaskan begitu saja dari lingkungan keluarga. Anak-anak sewaktu-waktu diajak orang tuanya ke kebun, ke sawah, atau bersembahyang di pura keluarga yang jauh. Akan sulit bagi orang tua dan anak untuk menyesuaikan diri.

Intinya adalah konsep Mendikbud ini harus dikaji lebih dalam. Jangan sekedar melempar ide untuk mencari “panggung” tanpa ada penelitian lebih dulu. Buktinya, Mendikbud baru yang sudah bikin heboh ini banyak dikecam dengan idenya ini. Kasihan pak menteri kalau gagasannya sembarangan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar