Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 28 September 2016

Bali Belum Layak Disebut Pulau Sorga

 Made Mustika
 Gubernur Bali Made Mangku Pastika sebagaimana dikutip dari Harian Kompas 28 Juli 2016 lalu, menyatakan dirinya merasa malu karena penduduk Bali masih banyak yang miskin. Itu ditandai dengan masih banyak ditemukan rumah-rumah penduduk yang tak layak huni. Di sisi lain, Bali dikenal dengan berbagai julukan. Salah satu di antaranya adalah Bali pulau sorga. Ia merasa terganggu dengan julukan itu. Jika julukan itu benar, tentu penduduk Bali tidak ada yang miskin. “Jika penduduk Bali tidak ada lagi yang miskin, barulah Bali pantas disebut sebagai pulau sorga,” demikian kurang lebih pernyataannya.

Terlebih lagi saat mulai memimpin Bali kurang lebih 8 tahun yang lalu, Gubernur Mangku Pastika telah menggulirkan program bedah rumah bagi penduduk miskin, bagi penduduk yang rumahnya dianggap tak layak akan diberikan dana subsidi perbaikan. Sampai pertengahan tahun 2016, Pemprov Bali telah berhasil memperbaiki rumah penduduk miskin sekitar 14.000 buah. Angka yang tidak kecil.


Akan tetapi, setelah mendengar laporan anak buahnya, serta dari instansi lain, Gubernur bukannya puas, malah terkejut. Karena, ternyata masih banyak rumah-rumah penduduk Bali yang belum layak huni. Berapakah jumlah rumah yang demikian itu masih tersisa. Konon tercatat masih ada 1.682 rumah di Bali tak layak huni. Rinciannya terdapat di Kabupaten Karangasem 568 unit, Buleleng 566 unit, Bangli 414 unit, Klungkung 93 unit, Jembrana 27 unit, Gianyar 7 unit, Tabanan 6 unit, Badung 1 unit, dan Denpasar nihil.
Membaca pernyataan Gubernur Bali di atas  serta data tentang kondisi kemiskinan di Bali, maka saya pun ikut prihatin dan ikut malu. Mengapa Bali yang mendapat kunjungan wisatawan secara berlimpah sepanjang tahun, kok masih banyak yang miskin? Apa yang menyebabkan. Apakah mereka malas? Atau keasyikan berkesenian dan beragama sehingga tidak sempat ikut mengais rejeki dari bisnis gemerincing dolar itu?

Pada sisi lain saya melihat umat non-Hindu yang wilayahnya terdapat obyek wisata, tampak semakin sejahtera. Hal ini dapat dilihat dari makin banyaknya tempat ibadah yang mereka bangun di desa itu, dan tempat ibadah-tempat ibadah itu semakin besar, modern, dan mencolok. Dulunya, tempat peribadatan mereka tersembunyi karena dibuat agak di tengah. Sekarang, mereka membangun baru di pinggir jalan raya utama. Tempat ibadat yang baru itu tentu saja dibuat lebih besar dan lebih bagus. Sampai-sampai mengesankan, kampung itu sepertinya bukan kampung di Bali, melainkan kampung di Jawa. Pasar desa yang difungsikan sebagai pasar wisata, juga dikuasai oleh mereka. Tidak hanya itu, hampir semua pedagang, termasuk yang berdiri di pinggir-pinggir jalan, juga mereka yang menguasai. Pokoknya dalam urusan dagang atau berjualan, kita selalu kalah. Mungkin karena kita tidak serius atau sering meliburkan diri dengan berbagai alasan. Tidak jarang orang Bali yang mengandalkan hidupnya dari berdagang meniru pola hidup seorang PNS di mana sering libur karena ritual keagamaan/adat. Akibatnya kita kalah bersaing dengan pendatang. Kita sering mengeluh dan mengaku terdesak lantaran jumlah mereka semakin banyak.
Menurut saya, maaf jika tidak sependapat, tampaknya persiapan ritual sampai selesainya acara itu yang bikin kita kalah bersaing. Ditambah tidak adanya kefanatikan untuk membela sesama. Mengapa para penjual nasi, baik yang kelas warung maupun sekelas rumah makan, didominasi oleh pendatang?

Hal itu terjadi karena, sebagaimana yang telah saya singgung di atas, banyak di antara kita yang tidak serius. Berjualan hanya saat ada mood. Lebih banyak liburnya daripada bukanya. Maunya seperti PNS, kerja  atau libur mengharapkan menerima upah sama dalam satu bulan. Mana mungkin hal itu terjadi. Jika menjadi seorang pedagang, setiap kali libur berarti pemasukan nol. Jika banyak menikmati libur masih mengharap penghasilan sama seperti buka tiap hari, itu namanya mengkhayal. Mengkhayal meniru PNS. Mungkin itu  sebabnya jarang ada orang Bali yang berjiwa profesional dalam berniaga/berdagang.

Kemudian ditambah lagi tidak ada semangat kefanatikan sesama umat Hindu. Persatuan yang  rendah, kalau tidak boleh dibilang tidak ada. Umat lain mana mau berbelanja, terutama makanan pada warung-warung umat Hindu. Jika mereka telanjur masuk, dan mengetahui warung yang dimasuki itu milik umat Hindu, mereka dengan membuat alasan tertentu akan membatalkan berbelanja. Ada yang mengaku tiba-tiba sakit perut. Ada pula yang berterus-terang, “Oh maaf, saya kira warung muslim.” Lalu mereka ngeloyor pergi.
Akan tetapi kita tidak melakukan sikap serupa. Tidak ada “perlawanan” sama sekali. Kita malah sangat doyan atau mungkin bangga berbelanja pada mereka. Inilah yang membuat mereka enak berjualan di Bali. Orang Bali tidak ada yang fanatik. Kemudian bodoh secara politik, artinya terlalu lugu dan polos. Sehingga rejeki kaum pendatang mengalir deras berkat kepolosan orang Bali.

Singkatnya, kalau mereka tidak toleran dan sikap kita toleran, mengapa hal itu dianggap kewajaran atau hubungan seimbang? Padahal yang terjadi adalah hubungan yang sangat tidak seimbang. Kalau ketidakseimbangan ini tidak segera disadari, tidak segera dikoreksi, maka penyerbuan pendatang dan kejayaan mereka di Bali sulit rasanya dihentikan. Kecuali, mulai sekarang semua umat Hindu memunculkan prinsip, wah saya tak akan mau berbelanja lagi di warung yang bukan milik umat Hindu, kecuali sangat kepepet.

Ketahuilah, keuntungan yang mereka peroleh dalam berusaha di Bali akan dipakai untuk membangun tempat ibadah di Bali dan mengundang teman-teman atau saudara-saudaranya yang lain untuk terus merangsek penduduk Pulau Bali. Apalagi mereka memiliki jaringan dan solidaritas yang sangat kuat. Ada pula lembaga keuangan yang siap menggelontorkan dana setiap saat. Sadarilah itu.

Jika hubungan ketidakseimbangan itu dapat dikoreksi, ditambah lagi dengan semakin profesionalnya kita dalam berniaga, barulah kemungkinan kita berhasil membendung mereka. Sekarang ini, kita kalah telak di pulau kita sendiri. Coba tengok setiap terminal bus dan senggol-senggol di setiap kota di Bali, siapa yang menguasai tempat-tempat itu? Apakah orang Bali? Tidak. Pendatanglah yang berkuasa. Merekalah yang memperbanyak penduduk Pulau Bali. Merekalah yang berjaya. Orang Bali paling hanya bisa mengais rejeki dengan menjadi petugas parkir di tempat-tempat mereka berjualan. Komposisi penduduk Pulau Bali, memang masih dominan Hindu, tetapi terus mengalami penggerusan, presentasenya semakin mengecil. Semenatara umat lain presentasenya semakin membesar.

Selain itu, hal yang tidak kalah urgennya untuk dikoreksi adalah hal ritual. Selama ini kita lebih sering membuat ritual besar-besaran dengan maksud jor-joran atau terkesan wah. Menghabiskan biaya dan waktu secara berlebihan. Sehingga menyebabkan kita sulit mengembangkan jiwa wirausaha dan sikap profesional. Padahal dengan ritual sederhana saja semestinya sudah cukup. Jangan habiskan waktu untuk urusan ritual. Kalau ada dana lebih, akan lebih bijaksana jika kelebihan dana itu diberikan kepada sesama umat yang butuh bantuan atau berikanlah ke panti asuhan Hindu. Kebiasaan membuat ritual yang berlebihan itu jika tidak bisa diubah, bagaimanapun kita berkoar-koar, maka kehadiran dan kejayaan pendatang di Bali tidak akan dapat dihambat.

Hal lain yang menghambat kemajuan Bali, sekaligus membatalkan Bali sebagai Pulau Sorga adalah maraknya perjudian dan aktivitas meminum minuman alkohol (miras) sampai mabuk. Mengapa mereka yang melakoni kegiatan demikian tidak mau bersyukur kalau punya uang berlebih? Mengapa harus ke tempat judian? Mengapa harus berpesta miras? Apa untungnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar