Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 15 September 2016

Ingin Kembalikan Budaya Nusantara: Warga Sunda Gelar Ngertakeun Bumi Lamba

Pada hari Minggu, 28 Juni 2016 lalu sebuah ritual bertajuk Upacara Adat Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan di Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, Jawa Barat. Ngertakeun Bumi Lamba merupakan salah satu tradisi yang terdapat di Sunda dan lebadalah salah seorangih dari 500 tahun tradisi ini dilupakan, dan kini dibangkitkan kembali untuk menghormati warisal leluhur yang adi luhung dan menguatkan kembali budaya aseli Nusantara.



Peserta ritual  yang berlangsung sekitar jam 09.00 wib ini tidak hanya dari komunitas masyarakat Sunda saja, tetapi berasal dari berbagai etnis dari Sabang Sampai Merauke. Diantaranya ada masyarakat Badui, Dayak Sugandu, Kejawen, Bali, bahkan dari luar negeri.  Ngertakeun Bumi Lamba ini merupakan sebuah ritual upacara adat yang ditujukan untuk menyucikan gunung. Selain itu, upacara adat ini juga dilakukan sebagai wujud terima kasih dan cinta dari manusia untuk alam, dimana kita harus menyejahterakan alam dan diri kita sendiri karena kita akan berpulang dan tinggal di bumi ageung (alam semesta) dan bumi alit (diri sendiri).

Made Arsana adalah salah seorang peserta dari Bali yang turut terlibat dalam ritual tersebut. Sehari sebelum upacara digelar, ia sempat berbincang-bincang dengan Kang Diki Swanda, salah seorang pelaksana kegiatan. Menurut Dedi Swanda, upacara adat Ngertakeun Bumi Lamba ini sudah dilangsungkan beberapa kali di tempat yang sama. Ia menyebutkan tradisi yang lama hilang ini kembali dibangkitkan sejak 15 tahun lalu. “Di dalam lontar tetua kami ada menyebutkan bahwa barang siapa tidak melaksanakan ritual adat ini, maka ia tidak ubahnya bagaikan kulit musang di tong sampah,” demikian sebut Dedi dengan menjelaskan maknanya bahwa kulit musang bermakna bangkai, dan dapat dibayangkan bagaimana bangkai yang berbau busuk sudah hina, ada di tong sampah lagi. “Jadi, kurang lebih demikianlah keadaan kami sekitar 500 tahun melupakan tradisi leluhur karena dikuasai budaya asing, ya Timur Tengah dan Barat,” jelasnya.

Ia menambahkan,  saat ini ada semacam kerinduan dari masyarakat Sunda untuk kembali kepada jati diri budaya aselinya. Hal ini dapat disaksikan dengan semakin banyaknya orang-orang di Bangsung berbusana adat, serta pemujaan dengan bakar-bakar kemenyan dan sesembahan sesaji juga dibangkitkan lagi. Dedi pun tak menampik kalau aktifitas warga Sunda yang membangkitkan kembali warisan leluhur tersebut sering disebut sebagai aktifitas perdukunan oleh masyarakat lainnya yang belum paham, atau bahkan dituding sebagai aliran sesat. “Kami memaklumi hal itu, karena orang Sunda sudah tidak mengetahui ajaran leluhurnya, bahkan kami pun mengetahui hal ini setelah menelusuri teks-teks kuno dan bertanya pada para tetua,” imbuhnya.

Adapun untuk peserta upacaranya sendiri tidak hanya berasal dari masyarakat tatar Sunda, tetapi diikuti pula masyarakat dari berbagai suku, dari Sabang sampai Merauke, yang memiliki kepercayaan yang sama atas Gunung Tangkuban Parahu sebagai Gunung Agung dan Purba yang wajib untuk disucikan. Pada zaman leluhur, Gunung Tangkuban parahu dipercayai sebagai gunung terbesar di jagad raya ini sehingga Gunung Tangkuban Parahu diagungkan oleh penganutnya. Dengan pernah meletusnya gunung agung ini, menambah kepercayaan masyarakat Sunda Wiwitan untuk semakin menjaganya karena mereka menganggap alam telah murka. Untuk menjaga kestabilan alam para penganut Sunda Wiwitan, maka ritual Upacara Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan di Tangkuban Perahu. Upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahunnya, dimana penanggalannya sendiri ditentukan berdasarkan perhitungan bulan.

Upacara kali ini berbeda dengan upacara tahun lalu. Kali ini ada pergantian pemimpin adat, yaitu Jaro Wastu yang telah menjabat sebagai pemimpin adat selama 8 tahun, digantikan oleh Jaro Manik yang harus memimpin selama 8 tahun atau satu windu berikutnya. Turut juga memimpin doa dari unsur budaya lain, seperti pendeta dari Bali, Kejawen, Dayak Sugandu, dan lain-lain.

Upacara Ngertakeun Bumi Lamba ini terdiri dari beberapa rangkaian, dimulai dari pengambilan air dari seluruh sumber mata air yang dianggap suci atau keramat dari Sabang sampai Merauke. Setelah air-air tersebut terkumpul, kemudian dilakukan ritual Mipit Amit yang dilaksanakan di Babakan Siliwangi. Ritual Mipit Amit ini sebagai bentuk permohonan izin kepada leluhur (sasadu) untuk melaksanakan Upacara Ngertakeun Bumi Lamba. Isi ritual Mipit Amit adalah memberikan doa dan menyatukan atau mempersekutukan air dari berbagai sumber mata air di berbagai daerah untuk dijadikan air suci yang akan digunakan pada saat acara puncak Upacara Ngertakeun Bumi Lamba di gunung Tangkuban Parahu tersebut. (Putra, dan http://www.unpad.ac.id/2016/06/).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar