Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 17 Juni 2013

Sisya Sesana¸ Cara menjadi Siswa Mulia dalam Itihasa

I Nyoman Miarta Putra

Apabila ditelisik secara mendalam dalam, sistem pendidikan Hindu sarat menekankan pendidikan nilai karakter yang berorientasi pada proses. Hal ini sangat menarik untuk diungkapkan kembali di tengah-tengah pergeseran orientasi siswa dalam mencapai tujuan pendidikan. Karena keberhasilan seorang siswa dalam pembelajaran tergantung dari proses kematangannya dalam belajar dan latihan. Disertai pula dengan kesuksesannya menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya yang dilandasi oleh nilai etika seorang siswa terhadap gurunya.

Di dalam Adiparwa dapat diambil contoh kisah proses belajar murid Begawan Domya, yaitu Sang Utamayu, Sang Arunika dan Sang Weda. Demikian pula kisah Sang Bima ketika ditugaskan oleh gurunya, Bhagawan Drona, untuk mencari tirta prawidi.

Beberapa para ahli telah merumuskan mengenai tafsiran tentang “belajar”. Salah satunya adalah modifikasi atau memperteguh kelakukan melalui pengalaman (learning is defined as the modification or strengthening of behavior through experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu pengusahan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuaan. Lebih jauh dijelaskan, belajar adalah perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Secara logika proses yang baik akan menghasilkan hasil yang baik. Jika ada proses yang tidak “baik” bisa menghasilkan hasil yang baik tentu merupakan suatu pristiwa aneh bin ajaib

Secara praksis apabila kembali pada sastra Hindu seperti kisah ujian yang dilakukan oleh ketiga murid Bhadawan Dhomya. Dengan berlandaskan rasa bhakti terhadap guru, giat belajar pantang menyerah dan berputus asa serta rasa tanggung jawab, dicapailah keberhasilan dan berhak menerima penghargaan atas keberhasilannya. Demikian pula rasa pantang menyerah dan putus asa menyebabkan mereka memiliki kedyatmikan (pengetahuan). Hal ini pula dialami oleh Sang Bima murid dari Bhagawan Drona.

Apabila disimak dari kisah Sang Arunika, sebelum dianugrahi Dharma Castra, ia diberi tugas untuk menggarap sawah. Dengan dilandasi rasa berbhakti terhadap Sang Guru, ia mengerjakan tugas itu dengan senang hati. Tantangan berat ia alami. Ketika sawah telah digarap, benih padi telah ditanam, di tengah malam yang gelap gulita datanglah hujan lebat, disertai dengan angin kencang. Tersontak ia terbangun dari tidurnya dan berlarian menuju sawah. Air bah yang besar telah menjebol pematang sawah dan merendam benih padi yang baru ditanamnya. Namun ia tidak putus asa dan menyerah begitu saja. Berulangkali telah dibendung, namun semua itu sia-sia. Hingga akhirnya ia harus merebahkan dirinya di pematang untuk membendung air, sehingga benih padinya terhidar dari rendaman air. Hal ini diketahui oleh Gurunya yang membuat gurunya kagum akan usahanya, sehingga ia dianugrahi mantra yang dapat memenuhi segala keinginannya.

Demikian pula Sang Utamanyu yang diberikan tugas untuk mengembala lembu, juga mengalami proses ujian yang berat. Bukan saja harus menahan rasa haus dan lapar, hingga mengalami kebutaan dan tercemplung dalam sumur tua. Namun berkat rasa bhakti, kejujuran, dan pantang menyerah dalam melaksanakan tugasnya, membuat Bhagawan Dhomya berkenan atas prilaku sang Utamanyu dan menyembuhkan kembali kebutaannya. Dan ia pun dianugrahi mantra acwina mantra, yaitu mantra untuk dewa Aswini sebagai dewanya obat-obatan. Atas anugrah itu, ia menyandang setatus sebagai seorang tabib yang hebat.

Sang Weda, murid ketiga dari Bhagawan Dhomya mendapatkan tugas sebagai juru masak. Masakannya selalu menyenangkan hati gurunya. Sebagai seorang siswa yang berbakti ia tidak makan sebelum gurunya makan. Tanpa halangan yang berarti, tantangan terlewati dengan lancar. Ia pun dianugrahi mantra sakti yang dapat memenuhi segala keinginannya.

Ujian serupa juga dialami oleh Sang Bima ketika ia ”diuji” oleh gurunya, Bhagawan Drona. Ia ditugaskan untuk mencari Tirta Prawidi, yang tiada lain adalah akal-akalan Bhagawan Drona untuk menyingkirkan Bima. Namun, dengan penuh rasa bhakti, sedikit pun tidak ada kecurigaan terlintas dalam pikirannya. Berbagai cobaan dan tantangan ia hadapi dalam proses pencarian tirta tersebut. Namun semua proses itu telah memberikan anugrah kekuatan baginya. Seperti keberhasilannya membunuh dan membebaskan Rukmuka dan Rukmakala dari kutukan yang tiada lain adalah penjelmaan dewa. Atas jasanya itu ia dianugrahi ikat pinggang poleng. Demikian pula anugrah berupa jala sengara yang didapat dari Dewi Maheswari yang telah dibebaskan dari kutukan dalam wujud naga yang besar yang mampu dikalahkan oleh Bima. Namun cobaan tidak berhenti sampai di situ. Drona menyuruh Bima mencari Tirta prawidi ke tengah Samudra. Ia bertemu dengan naga Nawatnawa yang berhasil dikalahkan hingga ia pingsan dan menyebabkannya terdampar di sebuah pulau karang. Ketika tersadar ia terbangun dihadapannya seorang manusia yang sangat kecil yang tiada lain adalah Dewa Ruci, serta menyuruhnya masuk ke dalam perutnya. Hingga akhirnya ia mendengarkan suara gaib dan mengajarkan ilmu kediyatmikan. Dan akhirnya Bima dihadiahi cupu yang tertutup untuk diserahkan kepada Drona.

Tidak Jujur Ilmu Hancur

Kita masih ingat cerita Bambang Ekalawya dalam Adi Parwa. Sosok pemuda yang hebat bahkan kehebatannya bisa menandingi kehebatan Sang Arjuna. Ia memiliki keuletan, disiplin dan memiliki motivasi yang tinggi untuk bisa menguasai ilmu memanah. Namun setelah semua yang, semua sirna hilang, karena ia tidak mendapat restu dari Drona. Dengan demikian, secara etika Ekalawya adalah pencuri (nyolong sastra) ilmu pengetahuan dari Drona, karena telah menjadikan Drona sebagai guru imajiner tanpa seijin Drona. Akhirnya segala sesuatu yang telah diraihnya secara susah payah sirna hilang seiring dengan Guru daksina yang ia berikan kepada Bhagawan Drona.

Hal serupa terjadi pula pada Rahdeya, setelah ilmu yang ia raih dengan susah payah ternyata tidak bisa berguna, pada saat ia butuhkan. Tidak cukup mengandalkan semangat dan keinginan belajar yang tinggi untuk menjadi sukses, namun lebih penting lagi bagaimana etika sebagai seorang siswa perlu dibangun untuk meraih sukses. Hal inilah yang dilanggar oleh Rahdeya. Semangat dan keinginan belajar yang tinggi, bisa diterima menjadi murid, membuatnya harus berdusta kepada Gurunya Parasu Rama. Hingga anugrah terakhir dalam proses belajarnya, ia dianugrahi ilmu pamungkas yang bernama “Brahmastra”. Memang sangat sulit menutupi kebohongan, bak menutupi asap ia akan keluar juga. Kebenaran akan menentukan jalannya sendiri. Kebohongan Rahdeya bahwa ia bukan dari golongan Brahmana, namun dari golongan kesatria ketahuan juga oleh Gurunya. Saat Prasu Rama dan Rahdeya duduk di taman. Suasana yang menyejukan diterpa angin sumilir membuat sang Guru mengantuk dan tertidur di atas pangkuan Rahdeya. Ada seekor binatang jenis lintah menggigit paha Rahdeya hingga mengeluarkan darah. Namun dengan rasa takut untuk membangunkan sang Guru, ia pun berjuang menahan sakit atas gigitan binatang itu. Akhirnya sang Guru terbangun dan melihat luka besar pada paha Rahdeya. Gurunya pun heran luka sebesar itu Rahdeya mampu menahannya, yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh golongan kesatrya. Prasu Rama meragukan pengakuan muridnya yang mengaku dari golongan Brahmana.

Setelah ditanya berulang kali Rahdeya pun mengaku dan menuturkan riwayatnya mengapa ia berdusta. Namun kebohongan Rahdeya membuat sang Guru marah. Sungguhnya tidak pantas dilakukan seorang murid yang ingin mendapatkan pengetahuan. Hingga akhirnya kemarahannya memuncak seraya mengutuk Rahdeya agar Brahmastra yang diajarkannya tidak akan berguna pada saat ia perlukan. Ia pun lantas mengusir Rahdeya dari pesraman.
Akibat ketidakjujurannya untuk mendapatkan ilmu, ia tidak bisa menggunakan ilmu pamungkas Brahmastra pada saat melawan Arjuna. Ketika perang tanding itu tiba, ia melupakan mantra yang harus ia ucapkan. Ini karena kutukan gurunya. Karna harus roboh di ujung panah Arjuna pada saat pertempuran tersebut. Ini memberi pesan, bahwa karakter mulia lebih penting dari kepintaran intelek maupun keterampilan. Kehebatan ilmu yang dimiliki tidak memiliki makna apa-apa, ia akan hancur sebagaimana robohnya Sang Karna yang mahir ilmu panah saat bertempur dengan Arjuna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar