Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 17 Juni 2013

Garda Relawan Dharma

I GN Nitya Santhiarsa

Akhir-akhir ini beberapa musibah kerusuhan menimpa migran Bali, terutama migran yang berada di Lampung dan Sumbawa. Bencana sosial berbau SARA ini diduga dipicu adanya kecemburuan sosial dari penduduk lokal terhadap kemajuan ekonomi yang diperoleh oleh migran Bali. Mengingat migran Bali jumlahnya sangat banyak dan sudah tersebat di berbagai wilayah Indonesia, hal ini membuat potensi terjadinya bencana sosial yang menimpa migran Bali cukup besar, baik kini maupun di masa yang akan datang. Bencana sosial maupun bencana alam perlu kita waspadai dan tidak hanya itu, langkah prediksi, pencegahan , penanganan dan pemulihan serta kepedulian mutlak diperlukan. Kepedulian terhadap kemanusiaan tidak hanya urusan Pemerintah Pusat dan Daerah, namun secara langsung atau tidak langsung, masyarakat Bali atau umat Hindu juga mempunyai tanggung jawab terhadap masalah kemanusiaan. Ajaran Veda telah memberikan petunjuk bagaimana umat Hindu harus memiliki kepekaan terhadap masalah kemanusiaan yang mana semangat kemanusiaan menurut ajaran Hindu adalah hidup dan saling menghidupi (parasparam bhawayantah).

Bencana alam dan bencana sosial tergolong masalah besar, sehingga tidak bisa ditangani oleh individu ataupun hanya oleh lembaga pemerintah saja, harus banyak pihak berperan atau berpartispasi dalam menangani masalah kemanusiaan. Salah satu pihak yang yang punya peran penting adalah dari unsur masyarakat atau umat dalam hal ini umat Hindu. Umat Hindu harus berperan aktif untuk turut serta mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan, seperti bencana sosial maupun bencana alam. Modal utama untuk berperan aktif adalah solidaritas sosial, yakni perasaan senasib sepenanggungan di antara umat Hindu, perasaan ini mesti tetap dijaga, jika tidak umat Hindu akan menjadi umat yang lemah, tidak berdaya, mudah menjadi sasaran kecemburuan maupun kebenciaan dari pihak lain yang tidak senang melihat suatu kaum maju dan hidup rukun. Ajaran tat twam asi, parasparam bhawayantah dan suka duka yangg merupakan pilar solidaritas sosial sepatutnya diamalkan, dan ajaran ini mesti dikembangkan secara terorganisir, berkelanjutan dan massal melalui organisasi formal maupun non formal, yang tradisional maupun yang modern.

Seperti dinyatakan sebelumnya, potensi bencana sosial cukup besar dan jika bencana ini terjadi, maka penderitaan dan trauma akan menimpa umat Hindu, meski kita berharap bencana ini tidak akan terjadi. Kalimat bijak “Sedia payung sebelum musim hujan datang” atau “Gali sumur sebelum musim kemarau tiba” sangat penting untuk dicermati dan dilaksanakan. Jadi, sebelum bencana terjadi, maka umat Hindu perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya, baik itu untuk pencegahan maupun penanganannya.

Tindakan pencegahan bisa diusahakan dengan selalu menjaga silahturahmi dan toleransi dengan umat yang berbeda keyakinan, saling membantu dan tolong menolong di kehidupan sehari-hari dan yang penting jangan berlaku sombong atau eksklusif, karena sikap ini cepat mengundang kebencian dan kemarahan. Selain itu, tindakan proteksi juga disiapkan, seperti mendekatkan diri dengan pihak keamanan dan memperkuat persatuan antarwarga serta memperkuat pertahanan diri. Selanjutnya, kalau bencana sosial telah terjadi, maka segera perlu melakukan pertemuan untuk mencapai perdamaian, menyiapkan perlindungan dan perawatan, menggalang bantuan, melakukan pemulihan trauma dan perbaikan sarana prasarana serta normalisasi kehidupan. Perlu dikemukakan lagi, bahwa ke depan potensi terjadinya bencana sosial tetap ada karena bertambahnya jumlah penduduk, adanya konflik kepentingan, perbedaan pola hidup dan taraf hidup, dan sebagainya, ditambah lagi kemungkinan adanya bencana alam, maka di kalangan umat Hindu perlu dibentuk suatu lembaga sosial kemanusiaan yang bersifat swadaya, independen dan berkompeten.

Sebagai perbandingan, bisa kita lihat apa yang telah dilakukan umat agama lain seperti umat Islam dan Kristen, bercermin pada pengalaman mereka ketika diterpa berbagai bencana sosial dan alam, masing-masing telah mempersiapkan diri menghadapi bencana dengan membentuk organisasi sosial kemanusiaan yang terorganisir, terlatih dan mandiri seperti organisasi Medical Emergency Rescue Committe (MER-C) yang didirikan oleh beberapa dokter, mahasiswa dan para relawan muslim yang pernah bertugas kemanusiaan di Maluku, kemudian ada organisasi sosial kemanusiaan Rotary Club yang familiar di kalangan umat Yahudi dan Kristen, sangat giat mengumpulkan dana dan mengadakan kegiatan layanan kemanusiaan.

Bagi umat Hindu, penulis sarankan agar dibentuk organisasi sosial kemanusiaan Garda Relawan Dharma (GRD), sebuah organisasi independen yang bergerak di bidang pelayanan sosial dan kemanusiaan, terdiri dari para relawan kemanusiaan, bekerja tanpa pamrih dan berjuang menurut ajaran Hindu untuk kepentingan kemanusiaan dan perdamaian. Ajaran Hindu sebagai prinsip moral perjuangan oganisasi ini seperti yang dinyatakan dalam sloka suci Bhagawadgita dan Sarasamuccaya di bawah ini.

“Seperti orang bodoh (awidya) yang bekerja karena keterikatan mereka atas kerja mereka, demikianlah harusnya orang pandai (sadar) bekerja tanpa kepentingan pribadi, melainkan bekerja untuk kesejahteraan (keselamatan) manusia dan memelihara ketertiban social (perdamaian)” Bhagawadgita III-25

“Maka perbuatan orang yang tinggi pengetahuannya, tidak sayang merelakan hartanya, bahkan nyawanya, jika untuk kesejahteraan (keselamatan) umat manusia, tahulah beliau akan maut pasti datang, dan tidak ada yang kekal di dunia ini, oleh sebab itu adalah lebih baik berkorban demi untuk kesejahteraan (keselamatan) umat manusia” Sarasamuccaya 175.

Kegiatan GRD yang bersifat rutin nantinya antara lain menyiapkan para relawan dan mendidik SDM mereka, menyediakan sarana prasarana seperti alat kesehatan dan medis, dapur umum, lavatory dan transportasi medis, menggalang dana secara transparan dan kreatif, serta mensosialisasikan ajaran kemanusiaan, toleransi dan perdamaian yang sesuai dengan ajaran Hindu. Kemudian, pada saat terjadi bencana alam atau bencana sosial, GRD bertugas untuk melakukan berbagai tindakan kemanusiaan untuk menyelamatkan umat Hindu yang tertimpa musibah, bahkan juga bisa sebagai duta perdamaian atau mediator. Para relawan yang berlatar belakang pendidikan kesehatan dan medis sangat dibutuhkan untuk menjalankan organisasi dan program sosial kemanusiaan ini, dan sebagian lainnya bisa dari berbagai ragam profesi, dimana yang utama adalah mereka ikhlas bergabung sebagai relawan dalam organisasi ini. Untuk efisiensi dan efektifitas kerja, sepatutnya GRD nantinya berkoordinasi, bekerjasama dan ber-networking dengan berbagai pihak terkait seperti PMI, PDDI, PHDI, KSR, ISDPHI, Ikadin, Polisi dan sebagainya termasuk dengan para sponsor atau pihak donatur.

Kehadiran lembaga seperti GRD menurut penulis bisa menjawab tantangan ke depan tentang bagaimana umat Hindu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi bahaya bencana alam dan bencana sosial. Perjuangan di jalan kemanusiaan sudah sesuai dengan ajaran Hindu, bahkan berkarma demi kemanusiaan merupakan kewajiban bagi setiap umat Hindu, untuk itu terbentuknya organisasi seperti Garda Relawan Dharma bisa menjadi satu bukti bahwa umat Hindu berusaha sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya. Om, Namo Siva Buddhaya Namah Swaha!

(Ketua Forum Peduli Dharma, Forum Karunika Dharma, dosen FT Unud).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar