Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 20 Mei 2013

Pelihara Tradisi dengan Ilmu, Doa dan Keikhlasan

Ketut Wiana

Sarasamuscaya 260 menyatakan, Weda abhyasa sebagai bentuk pengamalan Swadhyaya. Swadhyaya adalah salah satu unsur dari Niyama Brata. Weda abhyasa artinya mengamalkan Weda sampai menjadi kebiasaan atau tradisi. Ini artinya dalam sosok pengamalan ajaran Hiindu ada dua hal, yaitu Weda sabda Tuhan dan tradisi atau adat istiadat. Tentunya tidak semua adat istiadat yang ada dalam masyarakat sebagai bentuk pengamalan Weda.

Tattwa dari Weda yang dikemas dalam adat istiadat itu bersifat Sanatana Dharma atau kebenaran yang kekal abadi. Sedangkan adat-istiadat atau tradisi itu berasal dari prilaku umat dalam mengamalkan Tattwa Weda itu tentunya tidak kekal. Adat istiadat itu ada dalam batas ruang dan waktu. Artinya tradisi itu akan terus berubah. Agar selalu menjadi media pengamalan Weda, maka tradsi itu harus selalu Nutana. Kata Nutana dalam bahasa Sansekerta artinya muda dan segar.

Konsep memelihara tradisi itu agar selalu Nutana, yaitu muda dan segar ada dinyatakan dalam Bhagawad Gita XII.12. Tujuan memelihara tradisi itu untuk mewujudkan kedamaian yang kekal atau Santi Anantaram. Untuk mencapai tujuan itu Abhyasa atau tradisi itu harus dipelihara dengan Jnyana atau kesadaran ilmu, dengan Dhyana yaitu konsentrasi memuja Tuhan dan Tyaga artinya ikhlas, menerima lebih dan kurangnya. Maksudnya, betapa pun manusia berusaha sebaik-baiknya pasti ada lebih dan kurangnya. Ikhlas atau Tyaga-lah menerima kelebihan dan kekurangan itu sebagai suatu kenyataan. Hal inilah yang akan menghasilkan Santhi yang kekal. Karena tradisi itu dibuat oleh manusia tentunya tidak akan pernah sempurna dan ada saja kelebihan dan kekurangannya. Tanpa ada keikhlasan menerima semua itu maka tidak akan pernah ada Santi yang kekal.

Memelihara tradisi dengan kesadaran ilmu atau Jnyana, artinya, analisalah setiap tradisi itu secara sadar dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang berbobot akademis ilmiah. Dari hasil analisa itu akan ketemu mana tradisi yang perlu diciptakan (Utpati), mana tradisi yang masih baik dan relevan untuk dipertahankan dan mana tradisi yang sudah perlu ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi sebagai wadah untuk mengamalkan Tattwa Weda itu. Namun demikian jangan dilupakan melakukan perubahan itu dengan konsentrasi memuja Tuhan atau Dhyana.
Dalam pustaka Bhuwana Kosa IV.33 ada dinyatakan bahwa Tuhan sebagai pencipta alam semesta dengan segala isinya.Tuhan sendiri menciptakan Utpati, Sthiti dan Pralina. Maksudnya bahwa kalau manusia menghendaki dinamika adat istiadat itu menuju pada perubahan yang positif pujalah Tuhan sebagai Brahma, Wisnu dan Iswara. Artinya perubahan itu akan positif apabila dilakukan atas kesadaran spiritual atau Dhyana dengan memuja Dewa Tri Murti tersebut.

Dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Brahma manusia akan memiliki kekuatan spiritual untuk menciptakan sesuatu yang sepatutnya diciptakan (Utpati). Dengan memuja Tuhan sebagai Dewa Wisnu akan terpelihara dan terlindungi sesuatu yang sepatutnya dipelihara dan dilindungi (Sthiti). Dengan memuja Dewa Iswara atau Dewa Siwa Rudra, maka akan termusnahkanlah sesuatu yang seyogianya di-Pralina. Hal inilah nampaknya yang menyebabkan Mpu Kuturan menyarankan pendirian Kahyangan Tiga di setiap Desa Pakraman. Tujuannya agar dinamika adat istiadat itu menjadi selalu mengarah pada yang positif.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti itu untuk menghindari perubahan itu hanya sekedar tampil beda tanpa memberi makna. Karena melakukan upaya Utpati, Sthiti dan Pralina itu tidaklah semudah menteorikannya. Karena dalam memelihara tradisi beragama Hindu itu kita harus padukan Jnyana kesadaran ilmu pengetahuan, Dhyana yaitu konsentrasi doa pada Tuhan dan Tyaga, yaitu ikhlas menerima lebih dan kurangnya upaya perubahan itu. Karena yang melukan upaya perubahan itu adalah manusia maka tidak akan pernah perubahan itu sempurna menurut pandangan semua orang. Maka setiap perubahan itu setiap orang boleh mengkritisi asalkan untuk tujuannya baik dan dengan cara-cara yang sopan dan santun. Dengan demikian akan ada kedamaian atau Santi yang lebih langgeng.

Pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti juga untuk mengendalikan tiga sifat atau Tri Guna akan struktural ideal. Dalam pustaka Matsya Purana 53, Sloka 68 dan 69 menyatakan, bahwa Brahma, Wisnu dan Siwa itu adalah Guna Awatara, yaitu Tuhan berawatara untuk menuntun umatnya mengendalikan Tri Gunanya. Karena dalam Wrehaspati Tattwa 21 menyatakan, bahwa kalau Guna Satwam dan Guna Rajah sama-sama kuat menguasai Citta, maka Guna Sattwam membuat orang berniat baik, sedangkan Guna Rajah membuat orang untuk mengamalkan niat baik itu dalam perbuatan baik yang nyata. Ini artinya pemujaan Tuhan sebagai Dewa Tri Murti untuk mengamalkan ajaran Tri Kona dan Tri Guna, agar dinamika tradisi beragama itu berubah ke arah yang semakin baik dalam mengamalkan Sanatana Dharma intisari dari Weda.

Sayangnya, konsep memelihara tradisi ini masih belum banyak umat Hindu yang memahami. Upaya dalam mengendalikan dinamika tradisi atau adat-istiadat Hindu pun masih banyak pihak yang menggunakan konsep yang tidak jelas acuannya menurut pustaka suci. Karena itu perlu ada Dharma Tula yang berkelanjutan tentang konsep yang digunakan dalam memelihara adat istiadat Hindu, agar Hindu selalu tampil Nutana, yaitu muda dan segar. Namun isinya tetap Sanatana Dharma. Semua ilmuwan sangat baik untuk ikut dalam Dharma Tula tersebut, namun tetap untuk menunjang pohon keilmuan Susastra Hindu sebagai acuan utama. Karena itu ada Galungan menurut Lontar Sunarigama tujuan utamanya untuk mengingatkan umat agar mensinergikan berbagai ilmu untuk membuat umat Galang Apadang atau hidup cerah berdasarkan Dharma untuk menghilangkan kebingungan atau disebut “maka byaparaning idep”. Penerapan ilmu, doa dan keikhlasan secara terpadu itu akan menghasilkan idep yang Galang Apadang. Idep yang Galang Apadang itulah yang akan sukses memelihara adat istiadat tetap ajeg dalam menghadapi gempuran dinamika globalisasi yang semakin dahsyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar