Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 20 Mei 2013

Mantra Perlindungan Mrtyunjaya

Dalam sebuah teks lokal bernama Usana Bali terdapat kisah yang menyebutkan seorang raja di Bali bernama Sri Aji Jaya Kasunu. Namun ia tidak bereinginan menduduki tahtanya itu, mengingat raja-raja yang menduduki tahta sebelumnya selalu berumur pendek atau segera mati setelah dinobatkan. Kegelisahan ini membuatnya pergi melakukan sadhana yang dilakukan setiap tengah malam di setra gandhamayu (kuburan). Dengan memuja Dewi Durgha, Jaya Kasunu mohon anugerah agar kemalangan yang menderita raja-raja Bali dapat berakhir. Dia memuja Dewi Durgha karena merupakan dewa yang berkuasa untuk melenyapkan segala penyakit, bencana dan kemalangan lainnya.

Singkat cerita, pada suatu waktu, Dewi Durgha berkenan memperlihatkan dirinya di hadapan Jaya Kasunu dan menganugerahkan mantra kemenangan Mrtyunjaya. Selain itu Dewi Durgha juga mengamanatkan, agar penguasa Bali dan masyarakatnya merayakan Galungan. Dengan anugerah Dewi Durgha inilah Sri Aji Jaya Kasunu akhirnya dapat memerintah Bali dengan tenang dan dibebaskan dari wabah penyakit yang membahayakan. Ada pun mantra Mrtyunjaya anugerah Dewi Durgha itu adalah sebagai beriut:


Ong mrtyunjaya aya dewa sya
Yona mamyaman kirtaye
Dirgghayusa mawa pnotih
Sanggrame wijayam bhawet


Ong hayu werdhi yaso werddhi
Werddhi prajna suka sriya
Dharma santana werddhisca
Santute sapta werddhi syat.


Artinya:
Om, siapa pun yang mengucapkan pujaan kepada Mrtyunjaya (Tuhan yang jaya atas kematian), akan memperoleh umur yang panjang dan dalam perselisihan akan memenangkannya.


Om, hidup bahagia, berjasa, bijaksana, senang dan mulia, semua anak keturunan dalam aturan abadi, itu adalah bagian yang dapat kau peroleh. (sumber: Usana Bali Usana Jawa, halaman 28 dan 92).


Menurut Ida Bagus Putu Adriana, Mrtyunjaya menunjuk kepada aspek Siwa sebagai penguasa yang mengatasi kematian. Mrtyu artinya mati sedangkan jaya artinya menang. Jadi, mrtyunjaya artinya jaya atau menang atas kematian. Penekun lontar dan pembina di Yayasan Bukit Pengajaran ini melanjutkan, bahwa pemujaan terhadap Siwa dengan nama-nama berbeda memang banyak dijumpai di Bali. Ini berhubungan dengan kepentingan si penyembah dalam menempatkan dewa pujaannya sebagai fungsi tertentu. Misalnya, di dalam menuntun umatnya di dunia, Siwa dipuja dengan nama Rare Angon (penggembala anak-anak). Beliau juga dipuja sebagai Sangkara ketika menciptakan dam memberikan kehidupan pada tumbuh-tumbuhan. Ia juga disebut dengan nama Pasupati, yaitu yang memberikan kehidupan.

Penyebutan nama-nama Tuhan yang banyak dalam Hindu dihubungkan dengan penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan di dalam menjalankan lila-nya (permainan). Karena itu, Tuhan yang absolut mengejawantah dalam berbagai-bagai bentuk maupun fungsi dalam rangka menyelenggarakan ciptaanNya. Dari yang absolut atau mutlak yang bersifat Maha Sempurna, Maha Segalanya, tercipta sesuatu yang bersifat terbatas, yaitu ciptaan berupa makhluk hidup maupun benda mati. Sifat-sifat yang terbatas yang ada pada diri manusia manakala ingin bersentuhan kembali dengan Pusat Kesempurnaan (Tuhan), maka terjadilah situasi kerinduang spiritual dalam situasi dan kondisi tertentu yang sifatnya terbatas atau dibatasi oleh sifat-sifat penciptaan itu, sehingga pemujaan terhadap Tuhan dihubungkan dengan ruang dan waktu di mana manusia itu berada. Demikianlah misalnya, ketika manusia menderita sakit berat, dilanda wabah dan sebagainya, maka ia memuja Tuhan sebagai figur yang mengatasi kematian dan pemberi kesembuhan. Pada situasi itulah Tuhan (Siwa-dalam Siwaisme) dipanggil dengan gelar kebesaran Mrtyunjaya. Namun, pada saat petani merindukan Yang Maha Kuasa memberikan kesuburan pada pohon-pohon dan tanaman lainnya, maka dipujalah Tuhan sebagai Sangkara yang berkuasa atas tumbuh-tumbuhan.

Masih menurut Ida Bagus Putu Adriana, mantra Mrtyunjaya di Bali digunakan dalam berbagai prosesi penyucian (penglukatan) oleh sulinggih. Dan yang perlu dicatat, meskipun mantra ini disebutkan sebagai anugerah dari Dewi Durgha, namun untuk memperoleh hasil seperti yang diharapkan, maka seorang pelantun mantra ini mestilah memiliki sidhi supaya mantra yang diucapkannya dapat bertuah atau siddhi mantra. Di sinilah hukum-hukum spiritual senantiasa berlaku pada siapa saja, bahwa siddhi mantra ini hanya dapat diperoleh dengan usaha menaati perintah-perintah Tuhan dan menjauhi laranganNya. Dalam ajaran yoga dua langkah ini disebut yama dan niyama. Moralitas luhur adalah fondasi bangunan spiritual untuk menuju kesucian diri. Setelah memperbaiki moralitas, usaha berikutnya adalah melakukan perenungan dan mengingat Ida Sang Hyang Widhi terus menerus untuk menyelaraskan kembali ketidakterbatasan kita menuju sumber yang tak terbatas. Hanya dengan usaha yang tekun, sabar, tekad yang kuat, kesucian itu terbangun tahap demi setahap dan kemampuan siddhi mantra akan diperoleh. Siddhi mantra dalam konteks ini adalah dalam makna spiritual, bukan sidhhi dalam tataran wisesa atau sakti dalam ngelmu gaib atau pelajaran supranatural. Karena itu, menurut pembina Ajaran Ghanta Yoga ini, spiritual bukanlah sesuatu yang instan, melainkan evolusi bertahap di dalam mendewasakan batin untuk semakin memahami hakikat sang diri untuk kemudian menuju hakikat Sang Pencipta.

Uraian tersebut memberikan gambaran, bahwa mantra Mrtyunjaya akan memiliki tuah dan pengaruh berbeda pada setiap orang tergantung tingkat kesucian rohaninya. Karena itu mantra bukanlah jalan pintas memecahkan solusi, kecuali ada usaha kuat terlebih dahulu di dalam menguatkan mental dan tekad untuk maju, sebagaimana yang ditempuh Sri Aji Jaya Kasunu yang bertekad untuk tidak menjadi raja sebelum menerima karunia dari Yang Kuasa.

Mrtyunjaya stava dalam versi Bali sedikit berbeda dengan Maha Mrtjunjaya mantra versi India, namun sama-sama memuja Dewa Siwa dalam fungsinya sebagai pemusnah berbagai penyakit dan yang mengalahkan kematian. Dalam fungsinya seperti itu, di Bali ia dipuja sebagai Sang Hyang Mrtyunjaya, sedangkan di India Ia dipanggil sebagai Trayambhaka. Ada pun bunyi mantranya adalah sebagai berikut:


Om trayambakam yaja mahe
Sugandhim pusthi vardhanam
Urvarukamiva bandanan
Mrityor mukshiya mamritat


Artinya:
Kami memujamu, wahai Siwa yang bermata tiga, yang memberikan keharuman dan memelihara segala makhluk, semoga Dia membebaskanku dari kematian menuju keabadian, seperti mentimun yang lepas dari tangkainya.

Menurut Svami Sivananda, mantra ini menjauhkan dari kematian karena gigitan ular, sambaran petir, kecelakaan, kebakaran, angin topan, air bah dan lain-lain. Di samping itu mantra ini dapat memberi efek penyembuhan. Mantra ini juga merupakan mantra mosa (mantra Siva). Ia menganugerahkan kesehatan (arogya), umur panjang (dirgha ayus), kedamaian (santih), kesejahteraan (aisvarya), kekayaan (pusti), kepuasan (tusti) dan kesempurnaan (moksa).

Trayambhaka adalah sebutan lain untuk Rudra, bentuk Dewa Siwa saat melebur alam semesta ini. Nama lain dari Rudra adalah Kapardin Karena itu, Maha Mrtjunjaya mantra ini juga disebut Rudra Mantra. Dalam Yajurveda dan Atharvaveda yang banyak menyebut Rudra, melukiskan sebagai sosok laki-laki bertubuh besar, perutnya berwarna biru dan punggungnya berwarna merah. Kepalanya berwarna biru (Nilagriwa) dan lehernya berwarna putih (Sitikantha), kulitnya berwarna coklat kemerah-merahan.

Ia tinggal di pegunungan, merupakan dewa yang sangat pengasih, seperti seorang ayah yang menyayangi putranya. Ia juga merupakan dewa yang memberikan kesembuhan kepada setiap makhluk dan dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Di dalam Rgveda, Rudra diidentikkan dengan Dewa Agni, namun di dalam Yajurveda, Rudra diidentikkan dengan Sarva dan Bhava. Kata Rudra berarti menakutkan yang berasal dari urat kata rud yang artinya mengaum.

Di Bali, umat Hindu secara umum memang tidak banyak yang mengerti mantra Mrtjunjaya yang dianugerahkan Dewi Durgha untuk Raja Sri Aji Jaya Kasunu yang juga sebagai pelindung jagat Bali. Namun, hasrat untuk mengusir mara bahaya, wabah penyakit dan sejenisnya itu terwujud dalam bentuk praktik tradisi merayakan Galungan yang disertai dengan pemasangan penjor di depan rumah penduduk. Sehari sebelumnya, yaitu pada Selasa, Wage, Dungulan, diamanatkan untuk melaksanakan upacara abeyakala disertai dengan bersenang-senang makan dan minum dengan terlebih dahulu mempersembahkan sesajen di pura masing-masing. Itu semua titah Bhatari Durgha, dan rakyat Bali hingga kini patuh untuk melasanakannya, karena dengan memasang penjor mereka yakin telah melakukan usaha untuk memenangkan dirinya terhadap berbagai halangan.
Putrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar