Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 20 Mei 2013

MANTRA DIWAHYUKAN BERDASARKAN YUGA

I Wayan Miasa

Dalam agama Hindu banyak sekali ada doa-doa atau mantra yang diwahyukan sesuai dengan keadaan saat diwahyukan. Doa atau mantra tersebut memiliki manfaat sesuai dengan tujuan pewahyuan mantra tersebut. Mantra sesungguhnya adalah ungkapan yang dipakai untuk menghubungkan diri dengan Tuhan ataupun dewa yang kita puja. Karena pada awalnya mantra tersebut diwahyukan sesuai dengan keadaan, tempat dan bahasa suatu tempat di mana mantra pertama kali diwahyukan, maka seolah-olah mantra itulah yang paling benar. Oleh karena kekurangmengertian akan hal tersebut lantas ada suatu kenyataan di masyarakat, dimana di antara pelantun doa tersebut sering merasa bahwa mantra yang mereka ucapkannya tersebut lebih baik daripada mantra yang dikumandangkan oleh warga lainnya.

Hal yang serupa juga terjadi dalam buku-buku Purana, Ithiasa agama kita, di mana masing-masing dari buku tersebut akan menjanjikan pembebasan dan kemuliaan. Misalnya dalam buku Ramayana, diakhir cerita tersebut terselip pesan bahwa dengan membaca buku itu orang akan mendapatkan kemujuran, umur panjang, karunia yang melimpah dari Tuhan. Begitu juga dalam buku Mahabharata di bagian akhir dinyatakan, bahwa dengan membaca buku tersebut orang akan mendapat kebebasan, pencerahan serta hidup dengan penuh karunia, dan lain sebagainya. Bila kita telaah lebih lanjut dari pesan-pesan yang disampaikan dalam buku-buku suci tersebut jelas sekali tersirat, bahwa masing-masing penerima wahyu di setiap jaman melahirkan suatu praktek pelantunan doa-doa atau mantra menurut keadaan serta situasi pada jaman itu. Seperti pada jamannya Shree Rama, Shree Krishna dan seterusnya.

Ada beberapa contoh tentang kehidupan keagamaan kita dari masa ke masa, serta politik keagamaan dari jaman ke jaman. Misalnya pada jaman Kerta Yuga dimana konon masyarakat hidup damai dan sejahtera dan katanyaa masyarakat pada jaman tersebut bisa berkomunikasi langsung dengan para dewa, sehingga mereka bisa menyampaikan maksudnya langsung kepada dewa pujaannya. Oleh karena doa atau mantra tersebut diwahyukan di negeri Bharata melalui Rsi-rsi agung dan suci, seperti Rsi Wiswamitra yang mendapat wahyu Gayatri Mantra, Rsi Markandya mendapatkan wahyu mengenai doa Mahamrityunjay Mantra dan Rsi-Rsi lainnya, maka otomatis bahasanya memakai bahasa negeri Bharata. Beliau-beliau yang mendapatkan wahyu tersebut lantas mengajarkan doa tersebut kepada masyarakat sekitarnya dan terus menyebar kemana-mana. Jadi bahasa yang dipergunakan dalam mantra tersebut disebarkan ke seluruh pengikut sistem keagamaan tersebut. Kita bisa ambil contoh suatu mantra sebagai alat komunikasi di daerah Dayak Ngaju misalnya, yang memakai bahasa daerah di sana, misalnya: Aku Tuh Ranying Hatalla ije paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapuse jetuh iete kalawa pambelum, ije inanggare-ku gangguran arae bagare hintan kaharingan (Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa Awal dan Akhir segala kejadian…). Dan dulu di Bali sebelum masyarakat kita mempelajari ajaran Hindu dari Negeri Bharata, mereka juga biasa melantunkan doa atau mantra dengan bahasa Bali, misalnya: TabĂ© pakulun Ida Ratu Sasuhunan, tiang ngojah pawecanan I Ratu… dan lain sebagainya.

Di jaman sekarang setelah warga kita banyak yang memperdalam agamanya ke India atau negeri Bharata, maka kita diperkenalkanlah mantra-mantra yang dilantunkan di sana dan orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan disana lantas terjadilah suatu proses perubahan beragama dalam kehidupan masyarakat kita. Kemudian muncul kelompok-kelompok pengikut praktisi suatu mantra dengan mengumandangkan mantra dengan bahasa aslinya. Padahal kalau kita pahami tujuan dari pelantunan doa atau mantra tersebut hampir memiliki kesamaan, yaitu mencapai suatu kehidupan yang damai atau shanti, atau kita bisa mencapai “ananda” (kedamaian abadi).

Doa atau mantra itu adalah alat berkomunikasi dengan “Sasuhunan” yang kita rasakan bisa menolong kita dalam kehidupan sesuai dengan suasana hati kita. Dan hal yang sama juga dialami oleh para Rsi-Rsi agung yang mendapat wahyu sebagai perantara penyampaian mantra itu, sesuai dengan misi dari sang pemberi wahyu, misalnya: Mantra Mahamrityunjaya yang diterima oleh Rsi Markandeya. Rsi Markadeyalah Rsi mendapat wahyu (waranugraha) mantra ini karena Tuhan ingin memberikan kita contoh melalui Rsi Markandeya, bahwa fungsi Mantra tersebut untuk membebaskan dan menyelamatkan Sati dari kutukan Dhaksa. Dan konon karena kesungguhan Sati dalam mengucapkan mantra ini, dia mendapatkan anugrah dari Dewa Shiwa berupa umur panjang dan keabadian. Setelah kejadian tersebut maka para pemuja Sati akhirnya mengikuti jejaknya untuk melantunkan mantra tersebut dalam upacara-upacara Homa atau Agni Hotra. Karena mereka percaya bahwa doa tersebut akan membangkitkan kesadaran berspiritualitas dan memiliki efek umur panjang. Hal yang sama akan juga dialami oleh praktisi pelantun mantra yang lainnya, seperti pelantun Om Nama Siwa Ya, Om Narayana Ya Namah, Om Ganesha Ya Namah, Om Hari Om, Om Govinda Ya Namah, Om Janardhana Ya Namah, dan lain sebagainya.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa doa-doa tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk kebaikan seluruh makhluk hidup atau “sarwa prani” agar tercipta suatu kedamaian di tri loka ini. Dan perlu digarisbawahi, bahwa para Rsi penemu Mantra tersebut tidak pernah menyatakan bahwa doa yang beliau temukan itu adalah paling berguna atau paling cocok untuk kehidupan manusia. Beliau cuma sebagai perantara penerima wahyu dan kita diberikan memilih mantra yang rasanya cocok dengan kehidupan kita. Karena kehidupan beragama itu adalah perulangan sejarah dari masa ke masa, sehingga doa yang kita pilih pun sesuai dengan keadaan diri kita pada suatu jaman. Misalnya orang yang hidupnya sudah mapan dan segalanya sudah terpenuhi secara otomatis mereka tersebut akan memilih doa yang dianggap memberi kedamaian kehidupan terbebas dari segala hambatan, penyakit, bisa hidup shanti dan lain sebagainya dan sudah tentu tema kehidupannya lebih banyak tentang ketidakterikatan, pelepasan, dan lain sebagainya. Hal yang berbeda akan terjadi pada kehidupan masyarakat yang hidup dalam perang, penuh permusuhan dalam hidupnya, tentu mantra yang mereka kumandangkan tentu lebih banyak berhubungan dengan kekuatan, maka dewa pujaannya pun akan berbeda, misalnya Dewi Kali.

Walaupun dalam kehidupan beragama itu, masyarakat melantunkan berbagai mantra atau doa, tetapi kita hendaknyalah tidak saling klaim tentang keunggulan mantra tersebut karena masing-masing masyarakat memiliki “mood (suasana hati)” yang berbeda-beda dalam kehidupan spiritual. Karena pada saat diwahyukannya doa-doa tersebut, para Rsi-Rsi agung penerima wahyu tersebut tidak pernah menyatakan bahwa doa yang beliau terima itu adalah paling benar dan sesuai untuk makluk hidup di jagat raya ini. Para Rsi mulia tersebut dalam hal semacam itu, beliau memposisikan diri beliau sebagai “guru”, dimana masyarakat itu dipersilahkan mencontoh dan belajar dari kehidupan beliau itu dan bila kita pelajari dari cerita-cerita kehidupan orang-orang suci jaman dulu tersebut, jelas sekali beliau semuanya menginginkan kehidupan makhluk hidup yang damai dan sejahtera. Walaupun masing-masing Rsi itu mendapatkan anugrah Mantra atau doa yang sangat luar biasa manfaatnya namun beliau tidak mengklaim bahwa diri beliau paling benar. Bahkan beliau itu memberikan contoh saling mengisi antara satu Rsi dengan Rsi yang lainnya.

Jika kita bandingkan sekarang dengan kehidupan masyarakat spiritual jaman kini, di mana masing-masing praktisi spiritual cenderung mengedepankan pemaparan mantra dalam kehidupannya, sehingga timbul kesan bahwa mereka tersebut pencari pengikut untuk mengikuti jejaknya dan bahkan tidak jarang timbul kesan sikap berspiritual yang berlebihan. Padahal kalau kita simak secara mendalam bahwa doa atau mantra tersebut akan sangat bermanfaat bila dilantunkan dengan kerendahan hati, tanpa motif dan membiarkan semua hasilnya diputuskan oleh Tuhan. Bukan seperti sekarang ini dimana semua koar-koar mengenai keunggulan masing-masing mantra, namun lupa untuk menunjukkan sikap sebagai seorang praktisi mantra dan hal ini mengesankan bahwa akibat melantunkan mantra tertentu orang menjadi “aneh”.

Untuk menghindari kesan-kesan miring yang timbul di masyarakat terhadap para pelantun mantra dalam kehidupan beragama, maka kita perlu bercermin kepada pesan “aja wera”. Ini dimaksudkan agar kita itu selalu hati-hati dalam mempraktekkan mantra, karena masyarakat kita itu memiliki kecerdasan yang berbeda-beda dalam berspiritual. Akan percuma saja kita menjelaskan mereka tentang manfaat suatu doa bila kita tidak bisa memberi mereka contoh kehidupan spiritual yang baik. Bila kita sadari bahwa doa atau mantra itu diwahyukan berdasarkan situasi pada suatu jaman, maka kita juga perlu menyesuaikan diri dalam penyampaian makna mantra tersebut. Misalnya saat orang yang ditimpa kesusahan material kita seharusnya menyemangati orang tersebut dengan doa-doa kemakmuran, sehingga orang tersebut akan merasa termotivasi hidupnya. Seperti pesan leluhur kita, “saat orang haus maka kita berikan dia air”, “saat dia lapar kita berikan dia makanan”. Kalau kita doktrin orang-orang dengan mantra tanpa memperhatikan suatu kondisi atau latar belakang mereka, maka hal tersebut justru akan menjadikan orang tersebut apatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar