Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

Demi Keamanan, Orang Bali Merobohkan Penunggun Karang Miliknya

Kejadian Sumbawa adalah peristiwa memalukan sekaligus memilukan. Mengapa demikian? Sebab, bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, ternyata tak sepenuhnya benar. Kejadian demi kejadian yang bernuansa SARA, di mana korbannya umumnya kelompok minoritas, telah minggiring bangsa ini sebagai bangsa beringas. Jauh dari kesantunan dan toleransi.

Menteri Sosial RI Dr. Salim Segaf Al-Jufri ketika berbicara di hadapan para pejabat, anggota DPRD Sumbawa, dan tokoh-tokoh agama, di Wisma Daerah Kabupaten Sumbawa pada 7 Februari 2013, hampir sepanjang pengarahannya berusaha menahan tangis. Suaranya terdengar berat. Sebab kasus Sumbawa menambah buruk citra Indonesia di dunia internasional. “Melalui kemajuan teknologi, dalam sekejap peristiwa yang terjadi di sini diketahui dunia. Pada akhirnya yang rugi kita semua, bangsa Indonesia secara keseluruhan,” ucapnya.

Artinya, menteri menyadari bahwa kerusuhan yang bernuansa SARA, di daerah mana pun terjadi, akan menyulitkan lobi-lobi Indonesia di dunia internasional dalam hal penegakan HAM. Ya, Indonesia mendapat nama buruk dari serangkaian kerusuhan sosial tersebut. Tetapi penderitaan yang dialami pihak korban jauh lebih berat. Bangsa ini hanya memperoleh citra miring dari kejadian yang mengoyak kemanusiaan itu. Sedangkan yang menjadi korban menderita lahir batin karena segala harta benda dan rumahnya musnah dalam sekejap serta mendapat trauma batin yang mendalam. Dan pasti akan lama proses penyembuhannya. Mengapa Mensos tidak mengapresiasi penderitaan mereka?

Hal lain yang disampaikan menteri adalah soal minimnya kesadaran hidup berdampingan dari pihak penyerang terhadap etnis lain. Mensos mengatakan, mengapa para penyerang itu tidak berpikir bagaimana kalau pihaknya diperlakukan begitu? Apa tidak juga sedih dan kecewa? Sebuah empati dari menteri kepada para korban, walau sudah terlambat. Ditambahkannya, Indonesia harus maju, sejahtera, damai dan aman, dan dapat hidup berdampingan dengan sesama tanpa membedakan etnis, asal-usul, agama dan kepercayaan. Sebuah ajakan simpatik memang, namun masalah utamanya adalah mau diaplikasikan atau tidak oleh masyarakat.

Banyak refleksi yang dapat diambil dari kasus Sumbawa. Misalnya, sejauh mana keprihatinan yang disamapaikan Menteri Sosial dapat dijadikan landasan hidup sehari-hari. Dapatkah tokoh-tokoh umat mereka mewacananakan penerimaan terhadap pendatang dan kemajemukan dalam arti luas? Atau sebaliknya, terus mengompori umatnya untuk antitoleransi?

Refleksi di atas, bagi umat Hindu yang merupakan bagian dari kelompok minoritas, sebenarnya mengharapkan lebih dari itu. Kelompok minoritas mengajukan semacam tuntutan perlindungan maksimal dari pemerintah. Bukan sebuah wacana yang mengesankan basa-basi belaka.

Refleksi ke dalam bagi umat Hindu juga perlu dilakukan. Kecelakaan Gede bersama pacarnya karena Gede mengonsumsi minuman alkohol terlebih dahulu. Sudah itu pergi ke kafe di wilayah Batugong, Sumbawa. Jumlah kafe di Batugong sekitar 25 buah, kebanyakan dimiliki orang Bali. Apa artinya itu?

Orang Bali, walau tidak semuanya, dikesankan suka mabuk-mabukan. Dan juga senang berjudi. Kalau kelemahan-kelemahan ini tidak pernah dilakukan koreksi secara serius, maka orang Bali akan sering mendapatkan malapetaka. Citra agama Hindu sebagai agama luhur juga akan tergerus karena kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Masak Gede seorang polisi mengunjungi kafe dan mabuk-mabukan? Bukankah perilaku itu sangat menyimpang? Seorang polisi sudah seharusnya menertibkan kafe, perjudian, dan melarang orang mabuk-mabukan. Sangatlah ganjil kalau malah tenggelam dan ikut menikmatinya. Selain citra kepolisian yang dipertaruhkan juga terseret citra Hindu dan masyarakat Bali secara umum.

Masalahnya adalah masyarakat Bali terlalu toleran terhadap kegiatan perjudian dan mabuk-mabukan. Bahkan ada banyak pura yang dibangun dari kegiatan judi. Begitu pula dengan mabuk-mabukan. Hanya di Bali trotoar dan tempat terbuka lainnya bebas digunakan oleh para pecandu alkohol. Tidakkah orang Bali menyadari kelemahannya-kelemahannya itu.

Rusuh di Sumbawa juga membawa hikmah lain. Beberapa masyarakat Hindu di sana terpaksa harus merobohkan pelinggih penunggun karang ataupun pelinggih-pelinggih lain untuk maksud mengelabui. Artinya, selama ini umat Hindu etnis Bali sangat mudah dikenali rumahnya. Asal ada pelinggih, pastilah itu rumah milik orang Bali. Raditya sempat menyaksikan beberapa pelinggih yang sudah roboh setelah pemiliknya merobohkan sendiri.

Hikmah yang dapat dipetik, mengapa umat Hindu di rantauan tidak mereformasi sistem ritual sekaligus. Misalnya menggantikan pelinggih di pekarangan luar dengan kamar suci. Jika kamar suci dibuat, maka umat Hindu dapat membuat arca atau sekalian pelinggih di sana jadi satu. Bahkan hanya dengan gambar pun boleh, tentu saja melalui proses sakralisasi terlebih dahulu.

Dengan membuat kamar suci banyak sisi positif yang bisa diperoleh. Pertama, persembahyangan akan menjadi lebih khusuk. Karena tidak terpengaruh cuaca, terutama saat hujan turun. Kedua, sembahyang atau meditasi dapat dilakukan dengan tenang setiap saat karena tak terlihat dari luar. Jadi, mengapa tidak dimulai dari sekarang? Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu ke arah yang lebih baik. Bukankah begitu?
(mm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar