Krama Bali Hindu sudah biasa memakai benang tri dathu sebagai gelang. Sebagai aksesoris ia kelihatan unik dan antik, namun lebih jauh dari itu benang ini memiliki nilai filosofis yang dalam dan diyakini memiliki power magis. Bagaimanakah keberadaan piranti spiritual ini secara menyeluruh.
Tri berarti tiga dan dathu berarti elemen atau warna. Jadi tri dathu adalah tiga warna yang terdiri dari merah, hitam dan putih sebagai lambang Brahma, Wisnu dan Iswara (Siwa). Tiga warna ini biasanya digoreskan pada tiang-tiang bangunan rumah, pura dan sebagainya pada saat membuat upacara pemlaspas, yaitu ritual yang bertujuan untuk menyucikan dan peresmian bangunan. Maksudnya untuk menjaga penghuninya supaya memperoleh kerahayuan dan segala bhuta kala yang hendak mengganggu dapat diredam. Demikian penjelasan Ketut Gina, dalam bukunya yang berjudul “Gambar dan Lambang.”
Warna yang dipakai pada tiang bangunan atau tempat suci biasanya berasal dari darah binatang yang disembelih sebagai hewan upacara, sebagai warna merah. Kemudian warna putihnya diperoleh dengan menggoreskan kapur sirih, sedangkan warna hitamnya berasal dari arang kayu.
Kehadiran lambang dan simbol dalam upacara Hindu di Bali tidak bisa dilepaskan dari praktik tantrik yang mengusung power atau sakti sebagai wadah. Tidak salah kemudian bila tiga warna ini memang dominan fungsinya untuk kepentingan magi, dalam hal ini magi protektif, sebagai pelindung.
Sejarawan, Dr. I Nyoman Wijaya, M. Hum, pernah mengungkapkan, bahwa warna merah, hitam dan putih yang dipandang sakral oleh umat Hindu sebenarnya berasal dari kebudayaan asli Nusantara, di mana ketiga warna tersebut dipercaya bernilai magis. Namun setelah budaya Hindu masuk Nusantara, ketiga warna ini diberi pemaknaan baru dengan filsafat Hindu, yaitu konsep Tri Murti: Brahma, Wisnu, Iswara (Siwa).
Kemudian bagaimana pemanfaatan tiga warna tersebut (tri dathu) untuk manusia? Jelas memang, untuk manusia mendapat perlakuan berbeda dibandingkan dengan bagaimana pemanfaatan warna-warna sakral itu pada bangunan maupun hewan. Bila untuk ngurip maupun melindungi bangunan baru atau bangunan suci dari vibrasi negatif, maka warna sakral itu dioleskan pada bangunan, sedangkan pada manusia digunakan sebagai gelang benang tri dathu.
Benang diikatkan pada lengan, maksudnya, mengikat atau melindungi urip atau hidup seseorang, karena benang tiga warna ini selain bermakna kemanunggalan Brahma, Wisnu dan Iswara, juga bermakna manunggalnya bayu, sabda dan idep, yang berarti jangkep-nya sang mahurip. Dari sisi magis, ketiga warna ini mewakili aksara Ang, Ung, Mang. Ketiganya manunggal menjadi aksara Om. Nyatalah benang tri dathu merupakan sebuah mantra sakti, Omkara nada sebagai pelindung.
Selaian itu, pemakai benang tri dathu diharapkan membawa vibrasi baik bagi pikiran pemakai benang tri dathu. Benang tri dathu disebut juga dengan benang tetebus. Ketut Donder dalam bukunya “Panca Dhatu, Atom, Atma dan Animisme” mengungkapkan, benang tri dathu kerap digunakan saat upacara Manusa Yadnya serta pada upacara abhayakala (biakawon) pada hari raya Galungan.
Benang warna merah biasanya dililitkan pada pergelangan tangan, benang hitam dililitkan pada kaki dan benang warna putih disuntingkan pada telinga. Fungsinya untuk menenangkan pikiran, agar tidak terpengaruh oleh pengaruh negatif.
Ada kalanya yang dipakai adalah benang empat warna atau catur dhatu: putih, merah, hitam, kuning. Selain dipakai masyarakat, pemakaian empat warna juga nampak di sanggar agung, Besakih yang merupakan sthana Tuhan dalam manifestasi Wisnu, Brahma, Siwa dan Mahadewa. Empat warna benang ini juga bisa menyimbolkan catur loka pala, yaitu Indra, Baruna, Kuwera dan Yama. Apa pun itu, warna-warni tersebut selain memiliki arti filosofis dan secara etika indah sebagai gelang, juga berintikan kekuatan magis sebagai pangraksa jiwa pemakainya. Dan zaman modern ini pun telah diketahui secara ilmiah bahwa berbagai warna memiliki pengaruh kesehatan tertentu bagi organ-organ tubuh.
Penolak Wabah
Ada kepercayaan yang berkembang di kalangan masyarakat Bali tentang keyakinan terhadap grubug atau wabah menjelang sasih Kanem dan Kapitu. Pada seputar kedua sasih inilah akan banyak dijumpai krama Bali mengenakan benang tri dathu di pergelangan tangannya.
Menurut Jro Mangku Oka Swadiana dari Kerobokan, Badung, pemakaian benang tri dathu bagi sebagian orang diidentikkan dengan Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling yang bersthana di Pura Dalem Ped. Dengan memakai benang tersebut orang-orang percaya bakalan dijauhkan dari gangguan ancangan Bhatara Dalem Ped, manakala ancangan beliau melawat di tengah-tengah masyarakat Bali antara sasih Kanem dan Kapitu.
Bagi Jro Mangku Oka, melawatnya ancangan Ratu Gede Dalem Sakti Mas Mecaling ke tengah-tengah masyarakat dalam rangka mengadakan evaluasi terhadap perilaku krama Bali. Pada masa-masa itu, konon mereka yang tergolong jadma tan pa kerthi (orang yang tidak berbhakti kepada Tuhan) akan menerima hukuman dari para ancangan tersebut.
Ciri-ciri mereka yang diganggu ancangan Bhatara Dalem Ped, seperti bingung, bengong, gundah gulana, sakit dan penderitaan lainnya. Sebaliknya, bagi krama yang sudah menunjukkan sradha bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi beserta semua manifestasiNya, maka semua ancangan tersebut tidak akan menyentuhnya.
Masih menurut Jro Mangku Oka, ada kalanya benang tri dhatu dilengkapi dengan pis bolong, bawang putih, mesui dan jangu. Dalam hal ini pis bolong sebagai simbol kemanunggalan dengan alam luhur (dewata), kesuna berwarna putih sebagai simbol Dewa Iswara (Siwa), dan mesui dengan karakter panasnya mewakili sifat Dewa Brahma, dan jangu yang sejuk sebagai simbol karakter Dewa Wisnu.
Benang tri dhatu dengan kandungan benda-benda tersebut biasanya dikenakan saat wabah menerjang di suatu wilayah. Tambahan mesui, kesuna, jangu dan pis bolong ini untuk memperkuat getaran magis benda tersebut, sehingga fungsinya semakin optimal. Tapi, benang tri dathu yang dilengkapi dengan pis bolong ini tidak melulu dipakai sebagai gelang, karena ada kalanya digunakan sebagai kalung sebagai sikep atau pangraksa jiwa.
Berdasarkan praktik di tengah masyarakat, benang tri dathu merupakan satu kesatuan dengan upacara. Ia merupakan bagian dari bebantenan, sehingga secara langsung benda ini dimohonkan kekuatan dari Ida Bhatara, sehingga memiliki power khusus. Jadi, tidak perlu pasupati khusus untuk bebang tri dathu, asalkan benang itu dibuat sebagai bagian bebantenan. Namun beberapa pengobat tradisional yang mengobati pasiennya, ada kalanya memberikan benang tri dathu pada pasiennya. Menurut Jro Mangku Oka, benang tri dathu jenis ini umumnya memerlukan pasupati khusus, supaya memiliki power penjaga, dan penyembuh serta pengusir roh-roh jahat. Berapa lama tuah benang tri dathu ini bekerja? Menurut Jro Mangku, power magis benang tri dathu akan terus bekerja selama benang itu masih melekat di badan dan fungsinya akan selesai bilamana benang itu lepas secara alamiah maupun sengaja dilepaskan.
Putrawan
Tweet |
Om Swastiastu,
BalasHapusijin bertanya...jika warna hitam pada gelang(masih ada sedikit) Tri Dathu putus,dan gelangny sudah tipis,apa boleh dilepas?