Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 27 Oktober 2012

Upacara Bhairawa Bangkit Lagi di Pujungan


Mewacanakan tentang Bhairawa puja atau pemujaan Bhairawa, maka yang pertama kali muncul dalam pikiran kita adalah sebuah bentuk prosesi ritual yang sarat dengan hal-hal yang menyeramkan dan berbau mistis. Mendengar kata Bhairawa tersirat pula seketika dalam pikiran sesuatu yang identik dengan pemujaan kepada sosok makhluk yang menakutkan, lengkap dengan sarana ritual yang ekstrim. Namun setelah mengikuti langsung prosesi ritual Bhairawa yang dilakukan di asram pondok Lamer Pujungan, Sabtu 18 Agustus 2012 lalu, suasananya sungguh mendamaikan.

Bhairawa puja kali ini sengaja mengambil tempat di areal kebun kopi asram pondok Lamer Pujungan yang sepi dan jauh dari keramaian. Pemimpin upacara dalam ritual tersebut, yakni seorang penganut Siva yang taat dan bersahajaGede Gatot Bhinawa Rata yang bergelar diksa Bheru Baba.

Prosesi ritual Bhairawa puja dimulai sekitar pukul 8.00 pagi yang diawali dengan mempersiapkan sarana ritual darah kambing jantan, alkohol, bunga, buah-buahan dan sarana lainnya. Setelah seluruh sarana ritual sudah siap dan para peserta ritual sudah hadir, prosesi ritual pun dimulai dengan men-canting-kan mantram persembahan. Mengawali persembahan, seluruh sarana dan peserta ritual terlebih dahulu disucikan dengan alkohol. Dan selanjutnya mempersembahkan darah, minuman, wewangian, bunga pada Linggam.

Selanjutnya adalah mempersembahkan persembahan lainnya yang diiringi dengan mantram Bhairawa puja sebanyak 18 mantram. Pada saat mantram Bhairawa puja di canting-kan (dilantunkan), seketika kedamian merasuk sukma. Rapalan mantram-mantram yang diucapkan oleh pendeta yang diikuti dengan kata svaha oleh peserta membawa getaran vibrasi positif pada kosmik. Vibrasi yang muncul dari matram ini tentunya dapat menetralisir energi negatif yang selama ini menutupi kosmik. Setelah mantram Bhairawa puja di-canting-kan, prosesi ritual pun diakhiri, dimana para peserta menggunakan darah sisa persembahan sebagai tilak (tanda) di kening masing-masing dan meminum minuman keras dari sisa persembahan.

Setelah prosesi Bhairava puja berakhir, para peserta menuju tempat prosesi ritual havan (pemujaan dewa agni). Sambil menunggu persiapan sarana ritual havan, kami berdialog dengan beberapa orang tentang Bhairawa puja dan ajaran Bhairawa itu sendiri. Rindangnya pohon bodhi disertai dengan udara yang sejuk menyapu kulit semakin menambah kesejukan hati, sehingga dari percakapan kami ada beberapa hal yang kiranya penting untuk diwacanakan tentang Bhairawa puja.

Menurut Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Dhaksa, dari Geriya Agung Batur Sari, Mengwi yang turut menghadiri prosesi tersebut menguraikan, bahwa Hindu terdiri dari beberapa sekte besar diantaranya adalah Saiva, Vaisnavaisme, Pacupata, Ganapatya, Sora, Sogatha, Resi, Bhairawa, Brahmana. Khusus Bhairawa sendiri muncul dari sekte Saiva Tantrayana dimana ciri utamannya adalah mempersembahkan binatang kurban dalam setiap ritualnya dan pengaplikasian ajaran panca makara. Ida Mpu lebih lanjut menuturkan, di Bali sendiri sesungguhnya ajaran Bhairawa sudah dipraktikkan dalam bentuk pengorbanan yang menggunakan binatang kurban (penyambleh), akan tetapi terkadang umat Hindu di Bali tidak berani mengklaim, bahwa itu adalah salah satu bentuk pemujaan Bhairawa. Beliau juga sedikit memberikan penafsiran bahwa tabuh rah itu sendiri adalah bagian dari Bhairawa Puja, sehingga Bhairawa puja ini bukanlah bentuk tradisi pemujaan yang baru, terlebih lagi mendistorsi bentuk tradisi yang sudah ada dan berjalan di Bali.

Melihat sekilas dari prosesi ritual Bhairawa puja, menurut Ida Mpu sendiri memang menggunakan sarana darah, minuman beralkohol, namun terlebih itu merupakan media untuk memanggil Hyang Bhairawa sebagai menifes dari Siva yang diyakini sebagai raja dari para makhluk lebih rendah (setan) untuk turun ke bumi guna menetralisir kekutan negatif yang ada di bumi. Demikian pula memohon beliau agar berkenan memerintahkan para makhluk-makhluk yang rendah supaya jangan mengganggu. Kaitannya dengan panca makara, Ida Mpu memberikan padangan bahwa hendaknya panca makara jangan direfrentasikan secara harfiah, akan tetapi lebih kepada ke dalaman makna di baliknya. Maituna misalnya yang secara harfiah berarti berhubungan badan (sex), tetapi dicermati lebih dalam maituna adalah memiliki maksud bagaimana sadaka hendaknya mampu menyatukan energi Siva dan Sakti yang dilambangkan dengan Lingga dan Yoni. Dari penyatuan itulah, sadaka akan merasakan kenikmatan yang lebih tinggi dari nikmatanya rasa berhubungan badan. Maituna dapat juga diartikan bagaimana hendaknya sadaka dapat hidup di atas bingkai dualitas (rwa bhineda/bineri oposisi), sehingga akan menemukan anandam.


Bhairawa Bima Sakti

Pada kesempatan yang sama, peserta upacara lainnya, Jero mangku Celagi pada usai upacara tersebut menambahkan secara ringkas, bahwa ajaran Bhairawa dilihat dari genealogis historis (sejarah) mula-mula berkembang sangat pesat di India, kemudian meluas ke daratan China yang bernama Heruka Bhairawa. Setelah itu meluas sampai ke Sriwijaya yang bernama Bhairawa Kalacakra. Sedangkan di Bali sendiri Bhairawa hidup dengan sendirinya dengan nama Bhairawa Bhima Sakti. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya jejak-jejak Bhairawa Bhima Sakti berupa relief dan patung-patung. Jero mangku juga menambahkan bahwa Kebo Iwa sendiri adalah penganut Bhairawa Bhima Sakti yang taat.

Berbicara tentang konsep ajaran panca makara, beliau menguraikan bahwa sesugguhnya secara elementer konsep tersebut bertujuan untuk mencapai kelepasan (moksa), kendatipun jalannya memang sedikit ekstrim. Mangku menafsirkan sadaka yang belajar tantra Bahirawa ada beberapa tingkatan yang hendaknya dilalui. Tingkatan pertama, yakni sadaka hendaknya tidak menjalankan aturan-aturan tertentu dengan ketat, misalnya maituana (berhubungan badan) boleh sadaka melakukan sepuasnya asal dengan pasangan yang tepat (hubungan suami istri). Tahapan kedua, yakni sadaka melakukan beberapa pantangan khusus, dan tahapan terakhir adalah melakukan pantangan yang ketat. Memasuki tahapan terakhir inilah panca makara hendaknya dipahami secara mendalam, bukan kulit luarnya, sehingga kebahagiaan yang maha tinggi akan dirasakan oleh sadaka.

Mengenai Bhairawa puja, jero mangku menguraikan bahwasannya memang sarana yang digunakan ekstrim, akan tetapi hal tersebut dirasa wajar dan memang diharuskan begitu, karena dalam prosesi tersebut kita berusaha memanggil Hyang Bhairawa untuk menarik para makhluk-makluk yang mengganggu manusia di bumi. Sebab logikannya adalah tidak mungkin menurunkan Hyang Bhairawa sebagai manifes Siva sebagai rajanya para makhluk-makluk di bawah manusia dengan sarana yang satvik. Bahkan lebih ekstrimnya lagi di Tibet sarana pemujaannya menggunakan tengkorak bhiksu suci yang sudah meninggal sebagai tempat darah, dan menggunakan japa mala dari tulang manusia. Selanjutnya juga Jero Mangku menambahkan, image salama ini Bhairawa puja yang menyeramkan hendaknya diluruskan kembali. Sebab sesugguhnya implikasi dari pemujaan ini adalah mendamaikan dan menetralisir segala kekuatan negatif yang ada di bumi. Menggunakan sarana ritual yang ekstrim adalah sesungguhnya sebagai media di dalam menghubungkan diri dengan Siva agar berkenan memberikan anugrah keseimbangan semesta. Karena itu, para sulinggih dan cendikiawan Hindu bertugas meningkatkan jnana umat agar pemahaman umat tentang Tantra Bhairawa semakin jelas.

Hal itu senada dengan uraian Gatot Bhinawa Rata yang bergelar Bheru Baba. Pemuja Siva yang penuh keramahtamahan ini menguraikan, bahwa Bhairawa puja ini sesungguhnya adalah bentuk upacara untuk memohon kemurahan Bhairawa untuk menyeimbangkan alam makro dan mikro. Tidak dipungkiri dewasa ini energi di alam ini dipenuhi dengan vibrasi yang negatif yang muncul dari manusia itu sendiri atau dari makhluk-makhluk di bawah kita. Dan untuk menetralisir energi tersebut yajna yang pada umumnya dilakukan tidak akan mampu, sehingga Bhairawa puja inilah yang langsung dapat mentralisir vibrasi negatif tersebut. Terbukti Bhairawa puja yang dilakukan selama ini dapat menurunkan hujan di daerah Singaraja yang sempat mengalami kekeringan, dan penyakit rabies yang selama ini menjadi wabah menakutkan semakin sirna. Dengan kata lain Bhairawa puja bukanlah prosesi pemujaan yang menyeramkan dan menakutkan, akan tetapi prosesi ritual yang santih dan mendamaikan.
(Ketut Sandika)

2 komentar:

  1. bagus, lanjutkanlah. memang ini adalah identitas nusantara kita
    asalkan jangan ke tingkat yang paling tinggi, seperti yang dilakukan Adityawarman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berusahalah agar sampai ketingkat tertinggi (sempurna).

      Hapus