Pada 15-17 September 2012 lalu, Tim Redaksi Majalah Raditya diantar langsung oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda melalukan darmayatra ke Jawa Tengah dan seputaran Gunung Kidul-Yogyakarta, untuk menelusuri jejak pelarian Prabu Brawijaya V ketika menjadi buronan kerajaan oleh anaknya sendiri Raden Patah. Prabu Brawijaya V sebelum moksa di Solo tepatnya di Candi Ceto konon melakukan pelarian di sekitar Gunung Kidul. Berikut ini laporannya:
Pantai Ngobaran merupakan salah satu obyek wisata pantai yang ada di Kabupaten Gunung Kidul yang memiliki beragama pesona alam dan budaya. sehinga menjadi daya tarik bagi para wisatawan. Hamparan pasir putih, gulungan ombak, barisan tebing batu karang yang tinggi, rumput laut (alga), dan deretan pohon pandan laut, menyuguhkan pesona budaya yang penuh nuansa mistis dapat membius pengunjung yang datang. Apalagi ketika air surut, muncul sumber mata air yang cukup besar dan memiliki rasa air yang tawar dan jernih.
Pantai Ngobaran berlokasi di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Pantai ini dikenal sebagai tempat ritual berbagai penganut agama atau kepercayaan. Di kawasan ini terdapat tempat-tempat peribadatan seperti, pura yang berdiri berdampingan dengan musola. Bangunan peribadatan ini semua menghadap ke arah pantai selatan.
Ketika kita mulai memasuki kawasan ini kita sudah digoda oleh monumen yang dibangun oleh orang-orang Jawa penganut Aliran Kejawen. Di monumen itu ada beberapa arca berupa tokoh wayang (tentu dalam versi Jawa) lengkap dengan keterangan dan pesan yang dibawakannya. Misalnya tokoh Yudistira di bawahnya ada tulisan “Budi Pekerti”, tokoh Arjuna dengan tulisan “Tresno”, Ganesha dengan tulisan “ welas asih”, tokoh Semar dengan tulisan “Eling”. Dan banyak lagi.
Pesan-pesan ini dibuat untuk mengingatkan kita atas kesujatian jati diri kepada para leluhur. Karena tertata dengan baik dilengkapi dengan arca tak heran para pengunjung yang datang mengkhususkan berpoto mengabadikan perjalanannya di sini. Ketika masuk lebih ke dalam lagi, di tengah-tengah patung wayang yang bertebaran itu, ada monumen berbentuk stupa yang disebut Ikrar Ksatrya. Ini juga semacam prasasti yang dibuat oleh masyarakat setempat untuk mengenang peristiwa menghilangnya Prabu Brawijaya V di kawasan itu.
Pada prasasti tersebut tertulis :
AKU BERSUMPAH SETYA DAN PATUH: 1. Menghormati, menjunjung tinggi dan menghormati para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri; 2. Menghormati dan menjunjung tinggi ajaran Trimurti ajaran kepercayaan lelulur cikal bakal bangsaku sendiri; 3. Menghormati, menjujung tinggi dan menjaga bumi pertiwi, tanah tumpah darah para leluhur cikal bakal bangsaku sendiri.
Ikrar Kesatrya ini diahului dengan mantram-mantram Hindu berbahasa Sansekerta.
Menurut cerita masyarakat setempat, Prabu Brawijaya V atau biasa dikenal dengan Bhre Kertabhumi yang merupakan keturunan terakhir Kerajaan Majapahit (1464-1478 M) ini melarikan diri dari istana bersama kedua istrinya, Bondang Surati (istri pertama) dan Dewi Lowati (istri kedua), karena enggan diislamkan oleh putranya sendiri yang bernama Raden Fatah, Raja I Demak. Ibu Raden Patah itu orang Cina yang sudah masuk Islam, sehingga Raden Patah sendiri menjadi penganut Islam yang fanatik.
Dikejar oleh anaknya sendiri, Brawijaya V berkelana malang-melintang ke daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Ketika tiba di pantai yang kini bernama Ngobaran itu, mereka menemui jalan buntu. Mereka dihadang oleh laut selatan yang sangat ganas ombaknya sehingga tidak tahu harus berlari ke mana lagi. Akhirnya, Brawijaya V memutuskan untuk membakar diri. Sebelum menceburkan diri ke dalam api yang telah disiapkan, ia bertanya kepada kedua istrinya. “Wahai, istriku! Siapa di antara kalian yang paling besar cintanya kepadaku?” Dewi Lowati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan sebesar gunung.” Sedangkan Bondang Surati menjawab, “Cinta saya kepada Tuan, sama seperti kuku ireng, setiap selesai dipotong pasti akan tumbuh lagi.” Begitulah cinta Bondang Surati kepada suaminya, jika cinta itu hilang, maka cinta itu akan tumbuh lagi.
Setelah mendengar jawaban dari kedua istrinya, Brawijaya V langsung menarik tangan Dewi Lowati lalu bercebur ke dalam api yang membara. Pada saat itulah, keduanya tewas dan hangus terbakar. Prabu Brawijaya V memilih Dewi Lowati bercebur ke dalam api karena cinta istri keduanya itu lebih kecil dibandingkan dengan istri pertamanya. Dari peristiwa membakar diri inilah kawasan pantai ini diberi nama Ngobaran. Ngobaran berasal dari kata “kobong” atau “kobaran”, yang berarti terbakar atau membakar diri.
Namun cerita di atas mungkin hanya siasat saja, supaya kelihatan Brawijaya V tidak ada. Padahal Raja ini bersama pengikutnya terus lari ke hutan-hutan dan gunung di selatan Yogyakarta itu.
Karena cerita lain mengatakan, pelarian Brawijaya V sampai di Gunung Lawu dan di situlah beliau moksa. Menurut para sejarawan, versi ini sesuai dengan fakta sejarah. Kenyataan memang menunjukkan bahwa Brawijaya V enggan masuk Islam dan tidak mau berperang melawan putranya sendiri sehingga ia memilih lari dan bukan bertempur. Perjalanan itu meninggalkan banyak jejak di Gunung Kidul sampai Raja ini tiba di Gunung Lawu, sekarang Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Di puncak Gunung Lawu, Brawijaya bersama dua orang abdinya Dipa Manggala dan Wangsa Manggala. Di puncak Gunung Lawu itulah Brawijaya moksa bersama kedua abdinya. Dengan moksanya Brawijaya V, maka sirnalah Kerajaan Majapahit. Runtuhnya Majapahit ini dikenal dengan istilah “candrasangkala” atau Sirna Ilang Kertaning Bumi, yang berarti Sirna = 0, Ilang = 0, Kerta = 4, Bumi = 1. Kalimat yang mengandung makna angka (bilangan) ini jika dibaca terbalik menyatakan tahun keruntuhan Kerajaan Majapahit, yaitu tahun 1400 Saka atau 1478 M.
Jejak-jejak Brawijaya di Gunung Kidul banyak sekali, dan inilah yang dikunjungi oleh Tim Redaksi Raditya bersama Mpu Jaya Prema Ananda selama tiga hari. Di Pantai Ngobaran yang kini menjadi salah satu obyek wisata, berdiri petilasan dan tempat ritual berbagai agama. Penganut Kejawan yang merupakan aliran kepercayaan peninggalan Prabu Brawijaya V sering melakukan ritual di kawasan ini dengan membangun monumen Ikrar Kesatrya itu. Setiap malam Selasa dan Jumat Kliwon mengadakan ritual di kawasan ini. Di sebelahnya, Hamengku Buwono X membangun petilasan berupa candi yang dijadikan acara ritual memuja Ratu Kidul. Petilasan ini luas, bisa menampung ratusan orang dan baru saja selesai.
Umat Hindu membangun pura yang diberi nama Pura Segara Wukir untuk stana Kanjeng Ratu Kidul. Pura ini sekarang sedang dipugar. Nampak beberapa bahan yang cudah dicetak masih tergeletak siap untuk di pasang. Umat Hindu sekitar masih memanfaatkan pantai ini untuk melasti Hari Raya Nyepi. Pura ini juga dipakai untuk upacara Galungan, selain itu umat rutin setiap bulan purnama dan tilem melakukan persembahyangan. Sayangnya, di sekitar Ngobaran ini umat Hindu hanya ada 6 KK, selebihnya berada jauh yang berjarak puluhan kilometer.
Tepat di depan pura terdapat mushola kecil berlantai pasir yang berukuran kurang lebih 3 x 4 meter. Ada pun di atas bukit yang tinggi dibangun stupa yang merupakan tempat beristirahatnya Prabu Brawijaya.
Pura Ngesthi Beratha Dharma di Gunung Gambar
Pura Ngesthi Beratha Dharma di Gunung Gambar dibangun oleh prajurit yang setia kepada Prabu Brawijaya. Ini sebagai tempat penghormatan kepada para kesatriya yang berperang habis-habisan dalam mempertahankan keyakinannya. Bekas-bekas perlindungan itu masih tetap ada, misalnya, terdapat Goa di atas bukit Gambar sebagai persembunyian raja dari kejaran balatentara Raden Patah.
Gunung Gambar berada di Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Perjalanan ke pura ini memerlukan perjuangan ekstra karena letaknya yang berada di salah satu punggung gunung. Beberapa tanjakan curam menyebabkan kendaraan besar seperti bus tidak dapat mencapai lokasi ini. Jalan menuju Pura ini merupakan kombinasi jalan aspal dan jalan beton di beberapa bagian. Jarak yang ditempuh untuk mencapai Pura Ngesthi Beratha Dharma kira-kira 6 Km dari Ibukota Kecamatan Ngawen dan dari Pantai Ngobaran berjarak kurang lebih 20 km. Selama perjalanan kita bisa mengamati keadaan alam yang cukup kering dengan rumput tumbuh ala kadarnya. Hamparan pohon jati bisa kita jumpai sesekali, deretan batu cadas sebagai terasering usaha masyarakat untuk membuat lahan pertanian.
Kehidupan penduduk sangat bersahaja, tetapi itidak miskin amat. Rumah penduduk masih banyak yang terbuat dari kayu dan temboknya terbuat dari batu-batu karang sekitar. Namun kemampuan penduduk dalam menghargai desanya cukup luarbiasa. Walau tergolong ekonomi rendah namun mereka pantang untuk melakukan tindakan mengemis atau meminta-minta, apalagi tindak kejahatan.
Penduduk yang beragama Hindu kurang lebih 70 kk, tersebar di lereng bukit. Mereka masih setia menjalankan ritual Hindu dengan budaya Jawa. Kalau pun ada umat Hindu yang pindah agama, itu lantaran perkawinan. Tidak begitu banyak, bahkan yang kembali menjadi Hindu juga ada. Jadi ada pasang surut. Sebelum ada pura, mereka bersembahyang di rumah masing-masing.
Pura Ngasthi Beratha Dharma mulai di bangun secara permanen sekitar tahun 2002. Dengan bangunan Candi Gedong paling kiri dan Panglurah paling kanan. Di tengah-tengah yang merupakan sentral pemujaan dibangun Padmasana. Bangunan suci ini merupakan punia dari Romo Pujo Broto Jati.
Di jeroan pura dilengkapi pendopo yang bersih dan asri karena dilapisi keramik, lalu ada ruang yang diperuntukkan menyimpan alat-alat upakara serta buku-buku bacaan. Piodalannya pada purnama karo. Piodalan menggunakan sarana upakara yang paling sederhana, tapi tidak mengurangi makna. Ada pecaruan juga disesuaikan dengan keadaan setempat.
Pura Ngasthi di Gunung Gambar ini punya dua orang wasi/pamangku yakni Wasi Podo Winarno dan Wasi Darno. Mereka berdua siap melayani kepentingan umat yang pedek tangkil. Umat juga memiliki pasraman untuk pendidikan dan pelatihan agama Hindu kepada masyarakat maupun anak-anak Hindu yakni Pasraman Widyawiata, diasuh oleh Purwati dan Triani dengan jumlah siswa 10 arang.
Sudah tentu umat di Gunung Gambar sangat mendambakan dana punia, baik untuk melengkapi sarana puranya maupun buku-buku agama untuk lebih memahami Hindu. Mereka juga sangat haus dengan pencerahan dalam bentuk ceramah atau dharma wacana. Sayang sekali, mereka tak banyak mendapatkan hal itu. Yang paling sering mengunjungi mereka adalah mahasiswa Hindu dari Yogyakarta yang tergabung dalam KMHDI.
(Laporan Nyoman Arjana, foto I Nyoman Wirya S)
Tweet |
Siapa sih sebenarnya Kanjeng Ratu Kidul?
BalasHapusBagus sekali informasinya..!!
BalasHapusRaja Brawijaya itu tdk mati. Di menghilang dari dunia manusia ke dunia gaib. Saat di gunung lawu. Dia punya ilmu yg tdk bisa mati.
BalasHapuspura dipantai ngobaran sama seperti bangunan dimakam raden bondan kejawan(lembu peteng) didaerah jawa tengah tepatnya didusun barahan, desa tarub, kec. tawangharjo, kab. grobogan karena yang membangun satu orang beliau masih keturunan langsung dari silsilah prabu brawijaya V yaitu bapak AGUNG RIYADI. lebih jelasnya lihat di http://www.lembupetengbondankejawan.blogspot.com
BalasHapusadakah informasi mengapa mushola berlantai pasir ? siapa yg membangun ? masih banyak hidden stories yg belum tergali....
BalasHapus