Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 27 Oktober 2012

Dampak Pergerakan Planet Menurut Jyotisa Sastra

I Ketut Sandika

Dampak modernitas mengenjawantah dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat dunia. Dampak tersebut tidak saja berimplikasi positif bagi manusia, akan tetapi dampak tersebut membawa pula manusia pada tatanan kehidupan manusia yang berkencendrungan hedonis, komsumerisme, individualistis, komsumtif dan sejenisnya.

Lantas apakah zaman yang salah, sedangkan kita mengetahui bahwa alam bekerja dengan segala keteraturannya mengikuti aturan yang ditentukan oleh Hyang Kuasa. Lalu, apakah moderintas itu menjadi biang kerok dari kecendrungan pola hidup manusia yang buruk. Dan apakah kita harus menghambat perkembangan zaman dengan kembali bernostalgia untuk hidup di masa lampau? Tidak ada yang menyalahkan alam, terlebih menyalahkan perkembangan arus zaman yang sudah menjadi keniscayaan mengikuti pola perkembangan pikiran manusia itu sendiri.

Sesungguhnya manusia hendakya mengarahkan dirinya ke internal diri. Berusaha membuka pintu diri dan menengok sejenak ke dalam diri guna mengetahui apa yang telah kita lakukan selama ini. Semua berawal dari dalam diri manusia itu sendiri. Demikian pula, sama halnya menengok sejenak apa yang kita lakukan dari hal yang kecil dan kelihatannya sepele, akan tetapi memiliki pengaruh yang signifikan dalam berkehidupan. Contohnya adalah ala-ayuning padewasan (baik buruknya hari), sudahkah kita rule tersebut dalam berkehidupan? Yang ada saat ini padewasan dianggap suatu mitos belaka, dan hanya dijadikan sebuah simbol di balik rumitnya perhitungan waktu, sehingga mudah untuk ditawar-tawar. Yang menggelitik saya adalah ketika seorang ayah nunas (meminta) padewasan pernikahan (pawiwahan) sang anak kepada sang sulinggih (pendeta Hindu) lantaran sang anak akan segera berangkat bekerja ke luar negeri. Seharusnya sang sulinggih yang memberikan hari yang baik, namun terbalik sang ayah mengajukan hari dan berusaha agar sang sulinggih berkenan merestui hari itu melakukan upacara. Sebab terbentur akan waktu keberangkatan kerja sang anak ke luar negeri. Saya berguman dalam hati “lho kok padewasan dapat dinego ya?”.

Ala-ayuning padewasan yang selama ini dijadikan pijakan masyarakat Hindu di dalam melakukan segala aktifitas bersumber pada kitab jyotisa dalam Veda yang beremanasi menjadi lontar-lontar wariga yang dipedomani oleh masyarakat Hindu Bali hampir dalam segala bentuk aktifitas kegiatan, terlebih melaksanakan aktifitas keagamaan. Jyotisa sastra (astronomi Hindu) mengkhususkan dirinya pada ajaran tentang perbintangan menurut Hindu. Kitab ini salah satu bagian dari Sadvedangga (enam batang tubuh dari Veda). Ditelusuri lebih dalam lagi, ternyata orang bijak Hindu zaman dahulu sudah memetakan konsep perhitungan waktu dengan baik, dan para Rsi Hindu sangat meyakini bahwa pergeseran sekaligus pergerakan planet-planet, gugusan bintang-bintang dan semua yang berada di susunan tata surya memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan manusia di bumi. Asronomi modern kemungkinan tidak dapat menjamah hal itu, tetapi jyotisa mampu memberikan peta yang jelas tentang pengaruh disposisi planet terhadap kehidupan di bumi.

Jyotisa sastra secara elementer memberikan petunjuk kepada kita untuk melihat letak planet dan kecendrungan dari sifat planet dan bintang sesuai dengan waktu yang sudah lampau atau yang akan datang. Letak planet sekarang tidak akan sama dengan letak planet 50 tahun berikutnya, dan hal itu hanya dapat diketahui dengan bantuan jyotisa sastra. Dan jyotisa akan mengetahui pula efek yang ditimbulkan dari lokasi planet berada terhadap prilaku kita di bumi. Melalui penyelidikan yang dalam melalui kemekaran intuisi spiritual, para Rsi menemukan sebuah temuan yang penting bahwa di alam ini, nasib manusia mengalami perubahan dengan cara yang sama seperti bagaimana planet-planet bergerak. Hal sama juga bagi pelaku kegiatan yajna vedik sangat penting melihat transit planet-planet, sehingga pada akhirnya yajna karma vedik dapat berjalan dengan baik. Tidak hanya hari dan waktu, akan tetapi tempat dimana yajna itu dilangsungkan, semuanya ada spesifikasi rinci. Jika sebuah yajna dilangsungkan dengan mengikuti aturan tersebut, maka yajna akan memberikan implikasi yang baik.

Hal itu dewasa ini sedikit dilupakan, yang mana ritual yajna hanya lebih menonjolkan sisi ego yang terkadang melupakan aturan dalam jyotisa sastra, lontar wariga, terlebih tidak memperhatikan ala-ayuning dewasa, sehingga dapat dilihat efek yang ditimbulkan dari yajna tersebut. Yajna yang dilakukan bukannya membawa kedamaian kesejahteraan bersama (lokam samgraha), namun terbalik membawa disharmonisasi. Pergerakan planet sesungguhnya dapat kita ketahui dari akibat baik dan buruk yang terlihat di bumi berupa fenomena alam. Pergerakan planet yang sedemikain rupa sesuai dengan keteraturan rtam berkonstalasi terhadap segala perubahan yang terjadi di bumi, adanya siang-malam, perubahan cuaca atau musim, sasih dan yang lainnya. Pergerakan planet tersebut tidak saja berpengaruh terhadap perubahan itu, akan tetapi pergerakan planet dapat memberikan pengaruh pula terhadap sisi psikologis manusia yang merujuk pada basis kelahiran manusia. Hal tersebut mengejawantah dalam masyarakat Hindu dan Hindu di Bali khususnya dalam sebuah tradisi nenungan untuk mengetahui hari kelahiran seseorang (otonan) berdasarkan wewaran, sasih dan sejenisnya untuk dibuatkan ritual (mebayuh).

Kisah Bhaskaracarya
Menurut jyotisa sastra, pergerakan planet dapat memberikan ramalan terhadap seseorang selama hidup di bumi. Sebagai sebuah ilustrasi, menarik sekali mengetengahkan sebuah cerita yang diceritakan oleh Sri Chndrasekarendra Saraswati sebagai berikut; 800 tahun yang lalu ada seorang ahli astrologi dan astronomi bernama Bhaskaracarya. Karena kehebatan pengetahuan yang ia miliki di dalam menghitung pergerakan planet, ia mengetahui putrinya Lelavati akan meninggal nantinya setelah menikah. Olehnya, ia menghitung dan mencarikan posisi planet yang tepat untuk menentukan hari baik untuk menikahkan anaknya. Maka dibuatlah dengan perhitungan tepat jam pasir yang nantinya akan menunjukkan secara tepat posisi planet yang baik untuk pernikahan Lelavati. Setelah perhitungan dimulai dengan menempatkan jam pasir dengan posisi yang ditentukan, jam pasir pun bekerja. Pasir bergerak dan mengucur ke bawah mengikuti lubang yang telah ditentukan. Suatu ketika Lelavaati mendekati jam pasir, dan tidak disadari perhiasan di hidungnya jatuh dan masuk ke dalam jam pasir serta menutupi lubang jam pasir. Pasir yang mengucur sedikit dan perhitungan jam pasir tidak menjadi tepat, seperti yang sediannya dapat menunjukan posisi planet, dan Bhaskaracarya tidak menyadari hal itu. Akhirnya anaknya dinikahkan pada hari yang salah karena hari baik tersebut sudah lewat, pada akhirnya sang anak meninggal.

Narasi cerita di atas menjadi penting untuk direnungkan bahwa dalam jyotisa sastra pergerakan planet dapat memberikan dampak yang signifikan pada kehidupan manusia. Menjadi renungan untuk menengok sejenak ke dalam diri sudahkan kita memperhatikan apa yang diungkap dalam jyotisa sastra tersebut sebagai sebuah pedoman kehidupan? Jawabannya kembali ke dalam diri masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar