Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 September 2012

Kategori dari Umat Manusia

Anak Agung Gede Raka

Ketika kita berbicara tentang manusia, kita menganggapnya sebagai kombinasi dari tubuh, pikiran, dan jiwa (Atma). Tubuh merupakan sebuah alat untuk melakukan perbuatan, pikiran adalah kemampuan yang mampu menentukan mana yang baik dan mana yang salah, sedangkan Atma merupakan hal yang selalu bersifat murni, tidak berubah, dan kekal.

Manusia menggambarkan tiga hal: melakukan sesuatu, mengetahui, berada. Hanya jika tubuh, pikiran, dan Atma bersatu maka manusia (Manvatman) dapat dikatakan ada. Jika tubuh hanya bergerak sendiri tanpa hadirnya pikiran dan Atma, maka manusia tersebut dapat dikatakan dalam kondisi seperti hewan (Pasuthvam). Ketika pikiran bergerak sendiri dan bekerja sama dengan tubuh tanpa memperdulikan Atma, kondisi ini digambarkan sebagai iblis (Danavathvam), dan ketika Atma seseorang berfungsi sesuai dengan sifat aslinya tanpa memperdulikan tubuh dan pikirannya, maka disebut sebagai Daivathvam (bersatunya manusia dengan Tuhan). Oleh karena itu, manusia memiliki keempat sifat atau katagori tersebut: binatang, manusia, iblis, dan ketuhanan.

Berdasarkan atas prilaku mentalnya manusia diklasifikasikan kedalam kategori sebagai berikut:
Manusia yang seperti Tuhan (Deva-Manava): “Brahma Nishta Ratho Devah” dikatakan dalam ayat dari Weda yang berarti dia adalah manusia yang seperti Tuhan yang gembira atas penggabungan dirinya dengan Brahman dan selalu terlahirkan di dalam Brahman. Menunjukkan semua apa yang dilakukannya untuk Tuhan mencari segala sesuatunya sebagai bagian dari perwujudanNya dan dengan sangat gembira mengalami segala bentuk pantulan dari Tuhan. Manusia yang berketuhanan dapat menemukan kepuasan tersendiri di dalam hidupnya selalu berusaha untuk membantu orang lain dan menyirami cintanya kepada semua orang.

Daivam Manusha Rupena ‘Tuhan dalam perwujudan manusia’ ini berarti yang teragung hadir sebagai Vishnu di hati umat manusia. Tuhan dalam perwujudan manusia adalah seseorang yang sadar akan kekuatan ketuhanan yang berada di dalam dirinya, yang mengetahui kehadiran Tuhan secara adil di setiap umat manusia dan semua makhluk hidup, memiliki cinta dan kasih sayang kepada semua makhluk serta mengabdikan dirinya untuk melayani Tuhan.

Manusia yang Manusia (Manava-Manava): Sathya Dharma Ratho Marthyaha, dirinya sendiri yang mendapatkan sebuah kesenangan di dalam kejujuran dan kebenaran. Dia menuntun hidupnya menurut prinsip dari kejujuran dan kebenaran. Dia dianugerahi berbagai sifat, seperti: kebaikan, kasih sayang, kemurahan hati, kedermawanan, dan penahanan diri. Oleh karena itu, manusia yang manusia menjalani hidup yang damai.

Manava-manavatva panggilan hidup yang ditujukan kepada Sathya dan Dharma. Sathya Dharma Bhawo Marthyaha ‘dia adalah manusia yang didedikasikan kepada kejujuran dan kebenaran’. Di dalam dunia yang ilusi ini, seseorang yang sadar akan kejujuran dan kebenaran, baik dalam setiap perkataannya dan perbuatannya serta menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada sesama merupakan sebuah tanda, bahwa manusia tersebut adalah manusia yang benar-benar manusia.

Tipe manusia-manusia adalah yang menjabarkan tugas yang diberikan kepadanya dalam hidup menurut tahapan Brahmacharya, Grihastha, Vanaprastha, Sanyasa dan menuju kehidupan yang suci dan murni. Seseorang yang berjuang untuk mendapatkan atau menjalankan nilai-nilai dasar kemanusiaan dari kejujuran dan kebenaran, kedamaian, dan cinta, mereka akan hidup dalam sifat-sifat dasarnya sebagai manusia.

(3) Manusia yang iblis (Manava-Danava) adalah manusia yang memiliki sifat iblis menghabiskan waktunya dalam sebuah aktifitas tamasik, seperti: makan, minum minuman keras, tidur dan seterusnya. Dia hanya peduli akan kepentingan dan kesenangannya sendiri dan tidak pernah memperdulikan kebahagiaan orang lain. Kebaikan dan kasih sayang merupakan sesuatu yang asing baginya. Inilah yang digambarkan oleh Upanishad tentang karakter orang yang memiliki sifat iblis.

Tipe manusia yang seperti ini mengikuti tindakan-tindakan yang dilakukan oleh iblis tidaklah hanya dalam masalah yang berhubungan dengan makanan dan kesenangan, akan tetapi mereka juga melakukan perbuatan yang berhubungan dengan kekejaman dan kekerasan.Mereka menjalankan hidupnya bertentangan dengan moralitas dan keadilan.

Manusia yang memiliki sifat binatang (Manava-Pasuthva) adalah tipe manusia yang menghabiskan hidupnya hanya untuk mencari kepuasan sensual dari kelahiran hingga kematian. Dalam kondisi ini manusia menjadi lebih buruk dibandingkan dengan binatang buas, karena binatang buas masih dipengaruhi oleh insting, sedangkan manusia tidak ada pengecualian, alasan maupun waktu dari sifat tidak berbudi dari manusia yang tidak dapat mengontrol sifat iblis yang muncul didalam dirinya.Pikirannya berada di dalam segala bentuk pengkhianatan pada kebenaran.

Jnanena Sunyah Pasubhissamanah ‘manusia tanpa kebijaksanaan sama halnya dengan binatang’. Apakah sifat dari binatang? Diperintah oleh insting, mementingkan kesenangan sensual sebagai tujuan utama hidupnya. Manusia seperti ini diibaratkan sebagai binatang di dalam tubuh manusia. Sebuah nilai yang membedakan manusia dengan hewan adalah kebijaksanaan, kemampuan untuk membedakan mana yang abadi dan yang tidak. Manusia yang tidak memiliki kemampuan ini tidak lebih baik dari binatang.

Oleh karena itu, setiap manusia harus menyatakan dengan tegas ,“Aku adalah manusia dan bukan binatang”. Hanya ketika manusia memiliki kedua keyakinan ini maka manusia akan terhindar menjadi binatang dan mampu mempertahankan nilai kemanusiaannya.

(5) Manusia yang hina (Manava-Henatvam). Ada satu kategori lagi yang lebih buruk dari manusia yang memiliki sifat layaknya binatang. Ia adalah manusia yang hina yang akan menyiksa dirinya untuk menyakiti orang lain. Dia akan siap kehilangan kedua matanya hanya untuk melihat seseorang kehilangan sebelah matanya. Dia akan menyakiti orang yang telah berbuat baik terhadap dirinya. Ini merupakan manusia yang paling rendah dan hina dari semua jenis atau tipe dari umat manusia.

Apakah alasan dari manusia yang tetap memelihara sifat binatang di dalam dirinya walaupun setelah mencapai tingkatan manusia? Harus kita catat bahwa manusia mendapatkan hidupnya sebagai manusia setelah melalui kehidupan dari berbagai species (ribuan kelahiran). Karena fakta inilah sifat kebinatangan muncul di dalam dirinya. Seseorang mungkin ditemukan menjalani kehidupan yang tidak tenang karena pikirannya penuh keragu-raguan. Dia mungkin akan melakukan begitu banyak usaha untuk mendapatkan ketenangan, akan tetapi rasa tidak tenangnya terus berkembang.

Jika kita mencari alasan dari semua ini, jawabannya telah disediakan oleh Weda. Orang yang dimaksud pernah menjadi seekor kera pada kehidupannya yang terdahulu dan telah mewariskan beberapa sifat kera yang selalu berubah-ubah. Ketika kita menemukan sifat manusia seperti berbohong, pencuri, penakut atau kebodohan, maka hal itu dianggap sebagai sifat yang terbawa dari kehidupan mereka sebelumnya. Cara atau usaha untuk menyingkirkan sifat tersebut adalah melakukan semua tindakan yang menuju kepada ketuhanan. Kecenderungan untuk mencuri ada di setiap orang, mencuri merupakan sifat asli dari kucing. Mental yang tidak stabil merupakan ciri dari kera. Kebodohan merupakan ciri sifat dari domba. Keras kepala merupakan ciri sifat dari kerbau. Sifat atau ciri dari hewan-hewan yang berbeda ini tampak dalam tindakan dari manusia yang timbul dari sifat hewan yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar