Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 25 Juni 2012

YPUH Tak Bermaksud Melawan Tradisi

Laporan Made Mustika Seiring dengan perjalanan waktu, keberadaan Yayasan Peduli Umat Hindu (YPUH) Singaraja semakin diterima luas oleh masyarakat sekitarnya. Kini semakin banyak umat Hindu yang memanfaatkan jasa lembaga tersebut. Awal Mei lalu, misalnya, sebuah keluarga di Singaraja kehilangan salah satu keluarganya. Karena ingin praktis dan hemat, maka mayat yang hendak diaben itu langsung digeser ke yayasan dari rumah mereka di Kelurahan Kaliuntu. Padahal keluarga tersebut boleh dikatakan orang yang relatif sukses, baik di swasta maupun di pemerintahan. “Dengan bantuan YPUH ini keluarga kami banyak diringankan. Kami menerima para tetangga dan kerabat lain yang mau menyampaikan bela sungkawa ya di sini. Sehingga semua berjalan dalam kesederhanaan tapi lebih fokus,” kata Gusti Ngurah Agung, SE, 45 tahun, kepada Raditya di Sekretariat YPUH, Jl. Kalimantan, Singaraja, Minggu 6 Mei 2012. Sekretariat yayasan tersesbut terletak di pinggir pantai, sehingga deburan ombak pun terdengar saat wawancara. Jumat sebelumnya, kakak laki-laki Ngurah Agung yang bernama I Gusti Ngurah Mayun (52) menghembuskan nafas terakhirnya karena komplikasi tekanan darah tinggi. Mereka berkeluarga tujuh orang dan menetap tersebar di beberapa kota besar. Ada yang di Denpasar dan ada pula yang di Jakarta. Setelah mereka berembuk, akhirnya disetujui untuk miminta bantuan pada YPUH. Jadi, praktis mayat yang diaben itu diinapkan di sekretariat yayasan selama tiga hari, sebab baru hari Senin 7 Mei ada dewasa ayu untuk pengabenan. I Gusti Bagus Markota, kerabat keluarga duka, yang juga mantan Sekretaris DPRD Buleleng, sangat setuju dan mendukung keberadaan YPUH. Dia menegaskan, keberadaan YPUH adalah jawaban atas masalah umat Hindu hari ini dan masa yang akan datang. Sebab, generasi muda ke depan pasti dituntut untuk bekerja seprofesional mungkin. Mereka tidak mungkin akan sering-sering minta libur seandainya ditempatkan di luar Bali. Jika orang Bali profesional di bidangnya masing-masing, maka umat Hindu di Indonesia akan berkembang pesat. “Selama ini umat Hindu dihantui oleh ketakutan yang menyebabkan mereka ragu berkarir di luar daerah,” kata Markota. Dalam dua bulan terakhir ini memang nampak beberapa kali YPUH membantu umat Hindu menyelenggarakan pengabenan. Tak hanya mengulurkan tangan untuk umat Hindu yang ada di Buleleng saja, tapi untuk seluruh wilayah Indonesia. Ada juga keluarga dari Denpasar yang keluarganya meninggal di Lombok, akhirnya diupacarai di Singaraja. Tentu saja keluarga dari Denpasar itu yang datang ke Singaraja. Sebelumnya juga pernah membantu warga di Tabanan, di Bangli, di Karangasem, dll. Jika harus muput upacara di luar daerah, maka pengurus YPUH yang akan datang ke rumah keluarga duka. “Jangankan untuk umat Hindu, kami juga siap membantu umat lain jika mereka memerlukan bantuan kami,” kata Ketua YPUH Jro Mangku Sedana Wijaya. Kelebihan YPUH, selain memiliki sekretariat yang memungkinkan dipinjam oleh keluarga duka selama menunggu hari baik (dewasa), yang paling pokok adalah ritualnya sederhana. Sesederhana yang bisa dibayangkan orang. Pokoknya hemat waktu, tenaga, dan biaya. Seumpama upacara yang dikerjakan sendiri menghabiskan Rp 25 juta, oleh YPUH dikemas sedemikian rupa menjadi sekitar Rp 4 juta. Dalam hal ngaben dianjurkan tidak ada lagi melakukan ritual ngelinggihang. Cukup sampai upacara nganyut di laut. “Tapi kami fleksibel sekali. Kalau umat belum siap menerima tawaran dari yayasan, kami masih memfasilitasi untuk upacara sesuai kemauan sang yadnyamana,” tandas Pak Jro, sapaan akrab Jro Mangku Sedana Wijaya. Sesepuh YPUH Dr. Gede Made Metera menjelaskan, mengapa konsep ngelinggihang boleh dikatakan dihilangkan di YPUH, sebab paradigma Hindu memang mengajarkan demikian. Setiap roh setelah meninggal diharapkan bersatu dengan Paramatma atau Brahman (Tuhan). “Kalau kita mengharapkan setiap roh manunggal dengan Brahman, mengapa kita tarik kembali dan seolah-olah distanakan di sanggah kemulan atau paibon? Perkara kita mau menyembah leluhur, itu bisa dilakukan melalui rong tiga. Kita perlu melakukan reinterpretasi terhadap ajaran agama dan tradisi yang sedang berjalan,” kata dosen Kopertis di Unipas Singaraja itu. Metera menegaskan, YPUH tidaklah bermaksud melawan atau menyalahkan maupun meninggalkan tradisi. Sepanjang tradisi itu dapat diikuti oleh pendudukungnya, silakan jalan terus. Hendaknya kita menghargai pluralisme dalam Hindu. Jika ada teman yang berbeda sikap dan pilihan, selama perbedaan itu dalam bingkai Hindu, hendaknya diterima dengan lapang dada dan besar hati. Contohnya, kalau ada umat yang tak mampu lagi mengikuti tradisi yang telah digariskan, maka janganlah bersikap memaksa dan bermusuhan bila mereka datang untuk meminta bantuan YPUH. Berdasarkan pengalaman selama ini, kata Metera melanjutkan, umat yang meminta bantuan ke YPUH ternyata bukan mereka yang dikatagorikan keluarga tidak mampu alias miskin. Terbukti mereka yang menggunakan jasa YPUH/LPUH berlatar-belakang kelas sosial tinggi. Seperti dari keluarga dokter spesialis, pengusaha dan eksportis sukses, mantan rektor, dsb. Metera sendiri bukan hanya menganjurkan atau sebatas berwacana saja. Ketika orang tuanya meninggal dua tahun lalu, dia juga mengundang LPUH ke rumahnya di Tabanan. Singkatnya, kebanyakan yang memanfaatkan jasa yayasan tersebut berasal dari keluarga terpandang dan mampu. Mengapa demikian? Menurut Metera, belakangan banyak umat gelisah dengan tradisi setelah mereka memahami tatwa Hindu secara lebih baik. Namun ketika kegelisahan itu tidak dapat diakomodir oleh adat, maka mereka akhirnya melirik YPUH. Kepada para tokoh adat dan agama di Bali, fenomena demikian itu hendaknya disikapi dengan arif. Kalau ada yang butuh penjelasan mengapa YPUH menampung dan mau membantu orang-orang “bermasalah” itu, Metera siap berdialog secara terbuka, di mana pun bila diperlukan. Dia melanjutkan, sesungguhnya Hindu itu akan lebih baik didekati dengan logika cerdas, sehingga generasi muda dapat menerima melalui nalar sehat. Setiap ritual harus ada penjelasanya yang dapat diterima akal sehat. Kalau pandangannya itu dapat diterima oleh umat Hindu kebanyakan, maka Hindu akan berkembang lebih maju dari keadaan sekarang. Orang Bali yang berkarir di luar daerah tak perlu harus pulang untuk memuja leluhur. Apalagi untuk memuja para Dewa dan Hyang Widhi. Karena akan memungkinkan memuja leluhur, Dewa-dewa, dan Tuhan, di mana pun kita tinggal. “Selama ini orang Bali kalau sudah pensiun harus pulang ke Bali karena terlalu kuat terikat dengan tradisi. Bahkan ada yang pulang sebelum masa pensiun itu tiba,” tegasnya. Prinsipnya, Metera mendesak kepada para tokoh agar mampu mengemas tradisi sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana. Agar tak menyebabkan umat Hindu terbelenggu atau harus hidup dan mati di Bali. Pikirkanlah masa depan generasi Hindu mendatang agar mereka tidak terbelenggu gara-gara tradisi yang kita wariskan. Dalam hal ngaben misalnya, bukanlah upakara yang menentukan tempat baik/buruk sang atman. Melainkan karma, atau lebih tepatnya karma wasana. Sementara itu Ketua PHDI Buleleng, Putu Wilasa mengungkapkan, dirinya menyambut positif pikiran Gede Metera tersebut. Wilasa pun mengaku telah mensosialisasikan masalah kesederhanaan banten ke desa-desa. Namun demikian perubahan yang diharapkan belum muncul dalam waktu dekat. Karena umat masih memproses informasi itu sampai akhirnya mereka mengerti dan mau melaksanakan. Kendala terbesar yang dihadapi adalah kemalasan umat dalam mempelajari tatwa. Kebanyakan umat berpegangan dan mengandalkan pada tradisi yang ada. Hal itu terjadi, menurut Wilasa, karena umat Hindu lebih tertarik pada simbol (niasa) daripada mendalami filsafat agama (tatwa). Selama demikian keadaannya, maka di Bali akan terus-menerus terjadi tarik-menarik antara yang mempertahankan tradisi dengan kelompok reformis yang menghendaki adanya pembaharuan. Kelompok reformis berpandangan bahwa generasi muda Hindu ke depan tidak boleh “terpasung” karena tradisi. Beruntunglah kini hadir lembaga keagamaan yang memiliki visi jauh ke depan untuk menjawab segala tantangan yang ada. Jika ada umat Hindu bermasalah soal ritual, datanglah ke Singaraja. Astungkara permasalahan akan dapat diselesaikan. Desa adat Buleleng pun siap mengizinkan setranya untuk kepentingan umat. Desa adat Buleleng juga berkomitmen untuk membantu meringankan beban umat Hindu, siapapun mereka dan dari manapun mereka berasal.

3 komentar:

  1. Tepat sekali dan pendidikan agama hindu di S.D.,S.M.P.&S.M.A harus lebih banyak tentang tatwa,susila tpi tentang banten yg sederhana saja/ yg praktis. Lihat saja ummat hindu banyak ikut agama lain karena praktis. Astungkara

    BalasHapus
  2. Tepat sekali dan pendidikan agama hindu di S.D.,S.M.P.&S.M.A harus lebih banyak tentang tatwa,susila tpi tentang banten yg sederhana saja/ yg praktis. Lihat saja ummat hindu banyak ikut agama lain karena praktis. Astungkara

    BalasHapus