Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 25 Juni 2012

Apakah Kematian Identik dengan Kekotoran?

Agus S. Mantik

Berbagai hal yang sangat prinsip sebenarnya tersangkut masalah yang rumit ini. Ada masalah standard ganda, kemunafikan, kebenaran yang ada dalam susastera dan barangkali yang terpenting adalah tiada berdayanya para pemimpin agama kita untuk memberikan jalan keluar di dalam keadaan jaman yang sudah jauh berubah. Padahal dalam RgVeda dengan jelas dikatakan, bahwa hal-hal yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman seyogyanya ditinggalkan. Sepanjang sejarah berhasilnya agama Hindu untuk survive dalam alur sejarah yang senantiasa berubah ini adalah karena para pemimpin umat senantiasa berpikir dan bertindak dengan benar dalam mencari hal-hal baru yang sesuai dengan keadaan yang senantiasa berubah.

Tidak keseluruhan daripada tradisi itu harus diikuti dengan harga mati (mulo keto karena para pemimpinnya tidak mengadakan pembelajaran). Atau seperti sabda Sri Krishna dalam Bhagavad Gita, dan Siva di dalam Sivaratri. Beliau-beliau itu bukanlah menemukan sesuatu yang baru, akan tetapi menjelaskan kembali hal-hal yang sudah dilupakan. Jadi jelas ada tradisi (yang baik) yang terlupakan akan tetapi malah ada juga tradisi (yang salah) yang terus dilaksanakan. Kebiasaan ini sampai sekarang pun masih tetap berjalan!

Salah satu hal yang paling sering terjadi yang menimbulkan kejengkelan dan tentu saja keprihatinan adalah upacara pemakaman yang harus sembunyi-sembunyi (mengkeb- mengkeb) kalau di daerah di mana kematian itu terjadi ada ‘upacara besar’ di pura setempat. Pura ini tidak mesti Pura yang ‘disungsung jagat’ (artinya Pura besar) akan tetapi juga karena alasan adanya upacara di pura lokal.

Ada sebuah kejadian di Kabupaten Gianyar, di mana seorang telah meninggal di sebuah grya yang terkenal. Desa Pakraman melarang kremasi dan meminta andaikata harus dikremasi, maka mayat yang bersangkutan tidak boleh diupacarai, dianggap seolah-olah sedang tidur sampai upacara di pura setempat selesai; seolah-olah Betara bisa dikelabui! Karena adanya ketentuan ini, maka grya ini bahkan tidak menyampaikan kabar mengenai kematian ini kepada keluarga yang cukup dekat.

Di berbagai tempat, membawa mayat ke tempat lain untuk dikremasi juga dilarang kalau sedang ada upacara dan hal ini sering menimbulkan ketegangan. Ada banyak cerita mengenai keluarga yang ingin membawa mayat untuk dikremasi di tempat lain akan tetapi warga tidak mengijinkan mengangkut almarhum keluar dari rumah/memanfaatkan jalan umum. Padahal dengan jelas dipastikan, bahwa jalan besar (margi ageng) adalah bhuwana agung yang akan tetap demikian apapun yang melewatinya! Kemunafikan akan terlihat sangat jelas sebab mobil ambulance akan dengan bebasnya mengangkut mayat (dari keimanan lain) baik yang ‘lokal’ maupun yang dari luar daerah. Seolah mayat dari keimanan lain (yang naik ambulance) memperoleh dispensasi untuk lewat tanpa menimbulkan keletehan!

Yang lebih menggenaskan lagi adalah kalau pilihan yang ada hanyalah penguburan. Biasanya upacara pemandian dilakukaan sore hari/sandya dan prosesi penguburan dilakukan di sekitar jam 19, tanpa gong bahkan ada aturan yang tidak membenarkan membawa obor/lampu. Pemakaman ini betul betul nyilib dan di beberapa daerah di luar kota menjadi peristiwa yang menyeramkan.

Prosesi ini sesungguhnya mencoreng citra agama Hindu. Di satu pihak hal ini bertentangan dengan susastera yang mengatakan mengenai srsti (kelahiran), drsti (pemeliharaan) dan laya (kematian). Di dalam Gita dengan jelas dikatakan, bahwa mereka yang dilahirkan sudah pasti mati dan yang mati sudah pasti akan dilahirkan kembali. Atau kalau kita mengikuti pandangan Isa Upanisad yang dengan gamblang menjelaskan, bahwa semua yang ada di alam semesta ini berada di dalam lingkupNya! Dengan demikian kematian juga sudah pasti ada di dalamNya. Dan kalau memperhatikan hal ini maka keimanan lain seperti Kristiani dan Islam dengan jelas dan terang terangan mengusung pandangan ini. Upacara kematian saja mereka laksanakan di rumah Tuhan (di gereja dan masjid).

Kita tidak tahu sejak kapan pandangan mengenai keletehan kematian ini sudah berlangsung. Yang terang pandangan yang sama juga ada di India; mereka yang mencari nafkah berhubungan dengan upacara kematian dianggap chandala, outcast, untouchable. Bersentuhan saja dengan orang orang seperti ini dianggap kotor yang memerlukan pembersihan (lukat). Mereka bahkan disediakan piring makan yang terpisah. Dan keadaan yang memilukan inilah yang membuat Ghandi memperjuangkan nasib mereka dan memanggil mereka dengan sebutan harijan (putraNya Hari, Dewa Wisnu).

Bagaimana meluruskan kembali pandangan yang sesat seperti ini? Bahwasannya kematian adalah bagian dari urutan evolusi yang kesemuanya berada dalam Tuhan? Tentu sajalah hal ini memerlukan pembelajaran. Agama meminta kita untuk percaya karena sradhha adalah fondasi utama dari agama. Akan tetapi di dalam tatanan tattva (falsafah) diperlukan skeptisme, keraguan apakah segala sesuatunya memang sudah harus demikian. Dan hal terakhir ini memerlukan setiap orang dari kita, terutama pemimpin agamanya untuk senantiasa belajar, jijnasa (self inquiry), kata Sri Sankara didalam Brahma Sutra-nya yang membahas dan memberikan tafsir (bhasya) terhadap rangkaian Upanisad Upanisad.

Di dalam tafsir nya mengenai Bhagavad Gita, Prof S Radhakrishnan mengatakan bahwa seyogyanya para pemimpin harus berada di bongkol gunung ketika para pengikutnya masih berada di lembah. Dengan demikian para pemimpin ini akan memiliki pandangan ke depan dan cakrawala yang lebih jauh dan lebih luas daripada para pengikut mereka. Sebab kalau para pemimpin ini sama sama berada di lembah, maka yang bisa mereka perbuat hanyalah meng-eksploitir instink/naluri sederhana dari para pengikutnya dan hal ini berbahaya. Mereka akan menghasut anak buah mereka untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan yang masih bersifat primitive seperti kekerasan dan lain-lain.

Di dalam dua Upansad (Katha dan Maitri Upanisad) hal seperti ini diandaikan bagaikan orang buta yang menuntun orang buta! Akibatnya tentu anda paham: Anda akan terperosok ke selokan! Kesimpulan paling pokok dari hal di atas adalah bahwasannya ritual saja tidaklah cukup. Seyogyanya ada sekelompok pemimpin masyarakat/agama yang dengan sungguh-sungguh belajar memaknai keseluruhan dari agama kita ini. Jadi bukan sekadar hal-hal yang bersifat ritual saja. Dengan terus terang harus dikatakan bahwa upacara di dalam agama kita luar biasa ribetnya. Saya menemukan tidak sedikit anak muda yang berkata demikian dan mengeluh bahwa mereka tidak banyak mengerti mengenai agama mereka sendiri. Anda tidak akan percaya kalau saya mengatakan bahwa saya sudah bertemu dengan beberapa anak-anak muda yang dangan sadar ingin melepaskan agama mereka karena keruwetan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar