Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 26 April 2012

Mitos Kamaduk Relevansinya Saat ini

I Nyoman Tika

Mengurai berbagai konsep dalam Weda agar dapat diimplementasikan bagi kehidupan saat ini, terasa semakin mendesak. Sebab cara berpikir manusia modern sungguh sangat berbeda dengan manusia yang hidup ratusan tahun silam. Ciri masyarakat modern beberapa diantaranya adalah hubungan antar manusia terutama didasarkan atas kepentingan-kepentingan pribadi, terbuka dengan suasana yang saling mempengaruhi. Selain itu, kepercayaan yang kuat akan “Ilmu Pengetahuan Teknologi” sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Ringkasannya adalah prilaku yang praktis, ekonomis, efektif dan juga rasional ilmiah adalah dominan. Pada aspek itu implementasi ajaran Weda membutuhkna pendekatan yang berbeda dengan zaman, ketika Weda diwahyukan.

Dalam koridor itu, maka penafsiran Weda yang relevan dengan koridor rasional dan ilmiah semakin mendesak dilakukan.Salah satu konsep penting itu adalah Mitos sapi kamaduk. Kajian ini sangat menarik untuk dilakukan berkenaan dengan kondisi alam saat ini, prilaku manusia modern ini penuh dengan kompleksitas yang tinggi. Untuk menyasar itu maka konsep kamaduk (sapi perah ) itu paling tidak dalam tulisan ini menyasar pada kitab suci yaitu (1) Bhagawad gita, dan (2) Mahabarata.

Konsep Kamaduk, pada Bhagawad Gita III.10 menyatakan sebagai berikut: Saha-yajnah prajah srstva, Purovacha Prajapatih Anena prasavisyadhwam Esa vo’stv ista-kamadhuk (Dahulu kala Prajapati (Hyang Widhi) mencipta manusia bersama bakti persembahannya dan berkata: dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlah jadi sapi perahan/kamaduk). Sloka itu menyiratkan bahwa kita manusia diciptakan oleh Hyang Widhi, manusia akan berhasil mengarungi gelombang samudera kehidupan dengan bakti persembahan, manusia yang lahir harus melakukan bakti dan melakukan persembahan, yang tulus ikhlas, akibatnya adalah kita berkembang. Artinya dalam bahasa berbeda, tumbuhkan terlebih dahulu kesadaran, bahwa ada kekuatan ilahi yang melingkupi kita, manusia hanya instrumen Tuhan, lalu melakukan persembahan dengan buah hati yang berkualitas bagus, dengan puspa hati yang indah dan warna warni, maka kita akan berkembang, punya keturunan yang pintar, patuh pada orang tua, taat akan ajaran agama, persembahkanlah pada ibu pertiwi untuk mendapat berkatnya, karena pertiwi adalah berwujud sapi perahnya. Pertiwi dengan sukarela menopang kita, menghidupi kita manusia, namun manusia sering benar-benar memerahnya tanpa menjaga kesehimbangannya. Sapi kamaduk itu, bergeliat dan memberikan kehancuran. Dalam kaca mata mitos itu menganggap sebagai sapi suci, maka kesadaran kita hendak diberian ruang untuk ikut memahami pertiwi itu hidup, bisa berkomunikasi dan juga memiliki perasaan yang tulus.

Dalam konsep Mahabarata, Kamaduk adalah makna konotasi sebagai sapi perahan, yang bisa memenuhi segala keinginan itu (kamaduk) tidak lain adalah bumi, ibu pertiwi ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Mahabaratha (VI.9.76): “Alam adalah pemberi segala kebaikan, alam adalah sapi yang bisa memenuhi segala keinginan (kamaduk) hal ini jelas memberikan penegasan kepada kita bahwa cinta kasih dari seorang ibu terhadap anak-anaknya yang tiada terputus adalah ibarat cinta kasih ibu pertiwi (alam semesta) yang memberi makanan yang tiada henti-hentinya kepada makhluk hidup sebagai anak-anaknya
Maknnya lebih jauh adalah, bahwa kemakmuran ada di mana-mana. Dia mengetuk hati kita yang tebuka, yang bersih dan yang berkelebat dengan banyak pemikiran positif yang tanpa batas. Nafas kemakmuran adalah mereka ingin mencari orang-orang yang bersemangat untuk berbuat baik, berdedikasi demi kemanusiaan, yang selalu berjalan lurus untuk menggapai apa yang dicita-citakan, pada dimensi itulah doa itu menjadi sangat penting.

Kebanyakan orang berdoa ketika masalah menerima mereka. Padahal, doa adalah bahan bakar yang sangat efektif untuk kendaraan kehidupan kita. Karena percuma di kala kita sudah melakukan semuanya untuk berubah tanpa diakhiri dengan doa kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa. Dalam hal rejeki misalnya, Hyang Widhi telah menyiapkan rejeki untuk setiap makhluknya. Baik yang melata, yang bernafas. Inilah bentuk bahwa kamaduk, siap untuk diperah dengan didasari oleh kasih sayang dan pengabdian.

Dewa kemakmuran hadir setiap saat, sangat mudah didapat, dewa kemakmuran selalu bersama kita, mereka yang jernih, mereka yang ikhlas dan mereka yang sopan bijak lestari menjadi langganan singgah dewi kemakmuran itu. Masalahnya adalah manusia tidak mudah untuk diajak berpikir jernih, sulit berpikir positif, selalu iri melihat kemajuan orang, lebih senang membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tidak jelas. Itulah sebabnya kemiskinan selalu menutupi kehidupan.

Tak salah bahwa peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi sekarang ini adalah akibat hilangnya keyakinan orang-orang terhadap diri mereka sendiri dan juga terhadap sastra (kitab suci). Mereka menyatakan dirinya memiliki keyakinan namun tidak menjunjung tinggi dan tidak berperilaku sesuai tuntunan kitab suci. Akibatnya, kebaikan dan kebiasaan baik semakin menghilang dari dunia dan kebiasaan buruk serta penurunan martabat semakin bertambah. Itu semua adalah tidak benar dan perlu adanya perubahan.

Jika seorang pemuja Tuhan telah mempersembahkan segalanya, badan, pikiran dan keberadaannya kepada Tuhan, maka Tuhan sendiri yang akan menjaga semua itu, dan Tuhan akan selalu bersama sang pemuja. Dalam situasi semacam itu, tidaklah perlu berdoa. Namun sebuah pertanyaan dari guru orang bijak kepada muridnya, “Sudahkah engkau seperti itu dalam mempersembahkan dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan? Tidak! Ketika engkau kehilangan sesuatu, atau malapetaka terjadi, atau rencanamu berantakan, para pemuja menyalahkan Tuhan. Jika engkau sepenuhnya pasrah kepada Tuhan sepanjang waktu, bagaimana mungkin Tuhan bisa ingkar dalam memberimu AnugerahNya? Bagaimana mungkin Tuhan bisa menolak untuk membantumu?

Kadang-kadang, para pemuja tidaklah pasrah sepenuhnya dan tanpa penyimpangan pada Tuhan. Dengan demikian, meskipun engkau harus menjadi utusan dan alat Tuhan untuk melakukan segalanya, tetaplah selalu berdoa kepada Tuhan dengan penuh puja dan keyakinan. Keyakinan adalah hasil dari kedamaian, bukan dari ketergesa-gesaan dan buru-buru. Doa semacam ini dengan penuh kedamaian adalah sangat penting bagi pencari spiritual. Doa semacam ini akan meningkatkan ketenangan hati.”

Dalam implementasi kamaduk itu, Tuhan sebagai sumber rejeki. Hyang Widhi telah menyiapkan rejeki untuk setiap makhluknya. Baik yang melata, yang bernafas dengan paru-paru ataupun dengan pori-pori di tubuhnya, semua telah ada rejekinya.

Mitos sapi kamaduk adalah, rezeki, usaha doa menyatu dan harmonis, dalam sebuah dinamika kehidupan manusia. Hanya saja, setiap rejeki ada syaratnya, yaitu usaha. Kalaupun ada makanan di depan kita, tetapi kita tidak berusaha mengambilnya, maka itu bukan milik kita. Kalaupun roti sudah ada di tangan, tapi kita tidak memakannya, maka itu juga bukan rejeki kita. Jadi setiap rejeki harus disertai usaha. Doa diibaratkan seperti benang sewaktu main layang-lanyang, tentu saja tanpa benang layang-layang tidak bisa dimainkannya. Juga diibaratkan seperti pohon tanpa manfaat. Doa adalah pemercepat keinginan kita terwujud. Seperti diujarkan oleh orang bijak dalam pepatah: “Roda yang berderit akan lebih cepat mendapatkan pelumas, Manusia yang berdoa, akan lebih cepat terkabul keinginannya.” Itulah penafsiran kamaduk, dari sisi motivasi untuk berusaha. Semoga pikiran baik datang dari segala arah, om nama siwya*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar