Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 05 Juni 2011

Salam Hindu dalam Dunia Gaul hingga SMS. Jangan Singkat Om Swastyastu Menjadi OSA

Teknologi komunikasi yang sangat pesat telah banyak memunculkan fenomena baru di tengah masyarakat, salah satunya adalah budaya ber-SMS (short messages service). Mangapa budaya SMS, bukan budaya bertelepon saja? Sebab, orang bercakap-cakap lewat telepon sudah sejak dulu, sejak Alexander Graham Bell menemukan teknolgi komunikasi ini (telepon) tahun 1876, tetapi cara berkomunikasi dengan mengirim “pesan singkat” melalui tulisan yang terkirim lewat handphone dan bisa ditampilkan layar telephone adalah budaya baru.

Budaya SMS ini juga memperkenalkan budaya singkat menyingkat kata dan kalimat, dengan alasan supaya cepat dan irit space (ruang) di layar HP. Dan ketika simbol-simbol agama hendak nimbrung ikut memfungsikan teknologi SMS ini, maka bersilumanlah Om Swastyastu menjadi OSA dan Om Shantih Shantih Shantih Om menjadi OSSSO atau OS3XO. Apakah mantra yang disingkat semacam itu memiliki kepantasan dan kepatutan walau itu hanya di SMS-ria?

Pada hakikatnya kehidupan beragama itu tak pernah mandeg, karena ia terikat hukum utpati, sthiti dan pralina. Karena adanya hukum tersebut, maka berbagai hal baru dalam mempraktikkan kehidupan beragama terus tumbuh dan berkembang. Ada kalanya tradisi sebelumnya ditinggalkan dan muncul tradisi baru yang diusung umatnya. Semua ini tidaklah aneh, karena dalam Hindu memang ciptaan ini tak luput dari utpati (penciptaan), sthiti (pemeliharaan) dan pralina (peleburan). Kalau dalam ilmu sosial mungkin sejajar dengan teori tese, sintese, antitese. Demikian diungkapkan Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat mengomentari berkembangnya berbagai ucapan “salam” baru di kalangan Hindu.

Ketika ditanya komentarnya tentang “OSA” suatu tulisan yang biasanya populer ditulis dalam mengirim short message service (SMS) di handphone, yang mana “OSA” tersebut dimaksudkan sebagai singkatan Om Swastyastu, Ketut Wiana mengatakan, “Om Swastyastu tidak terlalu banyak menghabiskan ruang di handphone, mengapa harus disingkat lagi. Om saja sudah merupakan singkatan dari Ang-Ung-Mang, kemudian menjadi AUM dan disingkat menjadi OM, masak disingkat lagi, nanti kan kehilangan makna,” paparnya ketika diwawancarai oleh Raditya lewat handphone pada Sabtu, 21 Mei 2011.

Wiana menambahkan, perdebatan soal ini sudah terjadi mungkin setahun lalu. “Dan saya setuju dengan pendapat Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, bahwa hendaknya penulisan Om Swastyastu tidak disingkat, karena itu merupakan mantra yang berarti Tuhan. Karena itu kalau kirim sms saya jarang menyingkat Om Swastyastu,” tambahnya. (Baca: Doa Harus Ditulis Dengan Utuh)

Lantas bagaimana dengan munculnya ungkapan salam “astungkara” untuk mengakhiri sebuah harapan. Misalnya seorang umat berujar, “Kami sedang mempersiapkan pembangunan ashram, astungkara bulan Agustus mendatang sudah bisa mulai beraktifitas.” Seruan salam doa “astungkara” di atas difungsikan sebagai ucapan mempertegas harapan semoga dikabulkan oleh Hyang Widhi. Ucapan astungkara memang ada dalam khasanah Hindu, tetapi kata ini difungsikan sebagai suatu doa permohonan sekaligus salam, baru berkembang akhir-akhir ini.

Mengenai hal ini, Ketut Wiana menilai, bahwa menurut etimologi kata, astungkara berasal dari kata asta yang berarti tangan dan kara yang berarti sikap. Jadi, astungkara artinya sikap tangan yang kemudian diterjemahkan sebagai suatu bentuk sikap tangan dalam bentuk mencakupkan dua buah tangan di depan dada. Sikap tangan seperti itu disebut astungkara. Kalau melihat simbol sikap tangan demikian, maka boleh hal itu ditafsirkan sebagai bentuk penghormatan tergantung kepada pihak mana sikap tangan itu ditujukan.

Namun, dalam kenyataannya sekarang, kata astungkara justru difungsikan sebagai salam doa “semoga terkabulkan” atau “semoga direstui oleh Tuhan”. Bagi Ketut Wiana, hal ini tidak masalah, meskipun seandainya benar ucapan itu dimunculkan dan kemudian disepakati oleh publik dengan fungsi untuk salam doa semoga terkabul yang kesannya meniru pakem salam agama lain. Ia beralasan, bahwa saling tiru meniru dan ambil mengambil dalam perkembangan suatu kebudayaan adalah hal lazim, sepanjang peniruan itu diperuntukkan untuk revitalisasi kebudayaan si peniru.

Ia menyitir pendapat seorang ahli ilmu jiwa, P.R. Tard yang mengungkapkan, bahwa meniru itu memiliki dua keunggulan: pertama, dapat menghemat tenaga dan waktu dan kedua, meniru dapat melanjutkan kebudayaan.

Masih menurut Wiana, banyak khasanah kebudayaan Hindu diambil oleh agama lain, demikian juga Hindu juga ada meniru dari perkembangan agama lainnya. Ashram yang kini banyak berkembang di Bali sebenarnya dulu sudah berkembang di Bali, tetapi seiring waktu tradisi pasraman ini menghilang ditelan zaman dan sekarang muncul lagi. Sementara itu agama lain justru membuat sentra-sentra belajar agama dengan meniru pola ashram zaman dulu dan mereka mengelolanya dengan profesional. Tak mengherankan kemudian bila lembaga-lembaga pendidikan beraroma tradisi itu banyak yang maju. Hal ini ditegaskan oleh Ketut Wiana untuk memperjelas, bahwa saling tiru, saling ambil inspirasi atau model dalam perkembangan suatu kebudayaan memang tak dapat dihindari, asalkan alasannya benar. Dan satu lagi yang perlu diperhatikan menurutnya adalah, bahwa dalam meniru itu hendaknya tidak ada rasa fanatik berlebihan atau muncul sinisme, tetapi didasari atas semangat saling hormat menghormati.

Pada kesempatan lain, Ketua PHDI Bali, Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si., menyatakan, panganjali umat Hindu “Om Swastyastu” sudah ditetapkan sejak tahun 1959, di mana cara pengucapan maupun penulisannya harus utuh. Jadi, dengan alas an apa pun menurutnya tidak tepat bila Om Swastyastu disingkat “OSA” karena maknanya akan berbeda. “Boleh saja dengan alasan efektifitas dan hemat waktu, maka Om Swsatyastu disingkat, tetapi alasan seperti itu bukan berarti membenarkan kalau panganjali ini boleh disingkat. Misalnya, saya beralasan, karena Pura Besakih jauh, maka saya bikin penyawangan di rumah dan seterusnya tak perlu ke Besakih lagi. Itu kan alasan yang kurang tepat,” urainya via handphone dari kota Kendari.

Memang dirinya bisa memaklumi, bahwa “OSA” tidak akan dibaca “OSA” oleh pembacanya yang mengerti, tetapi akan dibaca sebagai “Om Swastyastu”, toh demikian ia sekali lagi menegaskan, panganjali ini hendaknya tidak disingkat, walaupun di SMS. Demikian juga untuk “Om Shantih Shantih Shantih Om lebih tepat ditulis utuh.

Sementara itu mengenai semakin memasyarakatnya salam “astungkara” menurutnya sudah tepat, karena astungkara berarti “restu Hyang Widhi” yaitu berasal dari kata astu artinya semoga dan Omkara (Ongkara) yang mewakili kehadiran Tuhan. Jadi, astungkara berarti “restu Hyang Widhi”. Ungkapan salam tersebut sudah lama ada dalam khasanah sastra Hindu, tetapi menurutnya sosialisasinya yang terkesan agak kelabakan. Gagasan tersebut berasal dari Parisada, buka orang-perorang.

Jika dikatakan ucapan salam astungkara itu meniru pakem salam-salam agama lain, Ngurah Sudiana tidak melihatnya demikian. Sebab menurutnya, agama itu senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Ia lantas mencontohkan, sebelumnya panganjali Om Swastyastu tidak populer, demikian juga sembahyang Tri Sandhya. Pada awal diperkenalkan kepada umat memang terkesan baru, padahal itu semua ada dalam kitab suci Hindu, tetapi pemakaiannya secara massal memang relatif baru. Dengan demikian, agama terus berusaha merevitalisasi dirinya sesuai kebutuhan umat, sebagaimana contoh dalam perkembangan bahasa Bali, yang kini juga populer salam rahajeng semeng, rahajeng wanti warsa, rahajeng mekarya, dan lain-lain. Dengan menyesuaikan pemakaian bahasa sesuai perkembangan zaman, maka bahasa Bali itu akan bisa tetap survival.
(Putrawan)

4 komentar:

  1. Menurut saya penulisan OSA tdk mengurangi makna Om swastyastu dalam hal penulisannya di SMS. Asalkan jangan sampai mengucapkan Om swastyastu dengan OSA. Atau tulisa OSA di sms jgn dibaca OSA, dst.

    BalasHapus
  2. Om Swastyastu...
    sebelumnya maff, saya sebagai umat Hindu menjadi bingung dengan salam agama Hindu, kenapa ada yang pro dan kontra sperti PHDI kota pasuruan dan PHDI pusat tentang penulisan salam agama Hindu via SMS ???

    BalasHapus
  3. Yang penting dapat ngerti dan saling memahami, jangan sampai bingung belajar terus untuk pahami orang

    BalasHapus
  4. doa itu adalah masalah kesungguhan hati....
    OSA di SMS kita baca/ucapkan dengan Om Swatyastu dengan sungguh sungguh maka akan sangat bermakna...

    Om Swastyastu yang ditulis utuh tapi dibaca/ucapkan dengan asal asalan akan sangat tidak bermakna...

    BalasHapus