Ritual keagamaan adalah aktifitas dengan nuansa kesucian, paling tidak dengan aktifitas itu manusia berharap merambah ranah-ranah kesucian. Karena itu, secara logika tumbuh anggapan, karena untuk aktifitas suci, maka seyogyanya dalam panggung itu berakumulasi sifat-sifat kebaikan. Tapi, siapa sangka di ajang seperti itu pun unsur kejahatan tetap saja menyusup lewat permainan ilmu hitam. Mengapa?
Saat Arjuna bertapa di Gunung Indrakila untuk memohon senjata-senjata sakti dari para dewa, maka yang datang padanya pertamakali bukanlah dewa yang dipujanya. Bukan Dewa Siwa atau Dewa Indra yang datang menemuinya, melainkan sekumpulan bidadari cantik seksi mengundang selera lelaki, komplit dengan segala bujuk rayu dan kebinalannya. Dengan tampilan merangsang, bidadari itu berusaha membuyarkan hasrat Arjuna untuk memuja dewa pujaannya supaya beralih menikmati “anugerah” lain yang terpapar di hadapannya. Tapi Arjuna teguh hati. Cobaan itu ia lewati. Toh demikian, bukan berarti dengan segala pengorbanan dan disiplin keras dalam tapa, serta merta dewa yang dipuja lantas berbaik hati segera menampakkan diri, tidak! Selanjutmnya justru babi hutan besar dan kuat datang mengamuk hendak menyeruduk Arjuna yang tengah terpekur dalam duduknya.
Ilustrasi Itihasa ini sekadar mengingatkan kita, bahwa tujuan-tujuan baik, entah itu di dunia empiri maupun spiritual tidaklah akan berhasil dengan proses seperti yang kita bayangkan. Mungkin saja sebelum tujuan tercapai akan ada berbagai rintangan yang harus dilewati. Hal ini untuk mengingatkan kembali kepada perhelatan yadnya, baik di masa lampau maupun kini yang sering diganggu oleh “kejahatan.”
Cerita rsi-rsi di zaman dulu yang diganggu oleh para daitya saat melakukan upacara api, seperti yang dialami oleh Rsi Wiswamitra. Ini menyiratkan, bahwa ada pihak-pihak yang “cemburu” bilamana hasrat-hasrat kebaikan, khususnya pemujaan terhadap dewa-dewa dilakukan. Gangguan untuk menggagalkan upacara suci itu dapat berupa daitya, danawa, bidadari cantik, bahkan bisa berwujud manusia biasa. Ingatlah kembali, manakala Rsi Wisrawa saat melakukan pemujaan api di pagi hari, tiba-tiba istrinya, Dewi Kekasi (Sukesi) datang merajuk dan menarik rsi itu untuk menemaninya di ranjang. Rsi Kesrawa gagal mempertahankan sadhana-nya, dan menuruti rengekan sang istri yang muda nan cantik itu. Hasilnya: momentum asmara pagi itulah yang kemudian menjadikan istrinya mengandung dan lahirlah Rahwana, padahal rsi itu tahu persis, kalau pagi hari menjelang matahari terbit merupakan waktu untuk Tuhan, untuk memuja. Ya, tapi itulah, “bidadari” telah menaklukkan imannya.
Dalam narasi-narasi besar susastra Hindu itu, ketika coba kita periksa ke alam faktawi ke tengah-tengah masyarakat Bali (Hindu) sekarang ini, ternyata fenomena gangguan para bhuta-bhuti saat yadnya juga demikian. Paling tidak, ide atau keyakinan, bahwa akan ada ancaman dari kekuatan-kekuatan jahat, entah itu leak, desti, gamang, memedi, kala dan sebagainya, masih bercokol kuat dalam pikiran orang-orang Bali. Kadang-kadang, keyakinan seperti itu tidak berhenti pada suatu mitos, sebab sering terjadi kejadian langka dan aneh, seperti nasi yang ditanak tak kunjung masak atau kebutuhan logistik dirasa selalu tak mencukupi, padahal sudah disediakan dengan ukuran melebihi. Semua fenomena yang menjadikan rasio berhenti mampu menjawab masalah-masalah itu, maka inilah kemudian disebut adanya gangguan dari alam gaib.
Untuk menangkal hal-hal buruk semacam itu, kemudian bagi yang menggelar perhelatan yadnya akan melakukan ritual-ritual khusus untuk mendamaikan bhuta, kala, dengen. Sedangkan untuk gangguan dari manusa sakti (leak), maka solusinya harus dicarikan lawan tanding yang setimpal. Didatangkanlah balian atau mangku untuk ngemit karya. Ada yang menyebut balian ngisi gae dan beberapa istilah tergantung daerahnya.
Jro Mangku I Made Subagia, SH., M.Fil. H., kepada Raditya pada awal Maret 2011 lalu mengatakan, bahwa memang benar fenomena adanya orang-orang usil menggunakan ilmu hitam untuk mengganggu sebuah perhelatan yadnya. Pemangku yang berdomisili di Desa Munggu, Badung ini menyebutkan, dari berbagai kasus yang sering muncul saat yadnya diselenggarakan: nasi tak kunjung matang, daging babi berasan (serupa dengan telur cacing pita, tapi itu bukan telur cacing, melainkan pekerjaan gaib). Ada juga kejadian pada puncak acara, tuan rumah ribut bahkan salah satu anggota kelurganya menangis keras-keras (gelur-gelur). Jika pertandanya demikian, itu artinya butha sungsang sudah beraksi yang kemungkinan kiriman penekun ilmu Ngiwa.
Sebagai praktisi di bidang ilmu gaib, Jro Mangku Subagia menandaskan, bila orang hendak nangun karya, maka mereka pasti meyasa (memusatkan perhatian/fokus) pada acara yang digelarnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Nah, demikian juga bagi orang yang berniat jahat, maka jauh-jauh hari sebelum upacara itu mereka sudah menyiapkan diri untuk melakukan “teror” gaib. Misalnya, salah satu modus yang dipakai orang usil itu adalah pada tujuh hari sebelum puncak acara, mereka sudah beraksi dengan menebarkan tanah kuburan (setra) di depan rumah orang yang hendak melakukan yadnya. Atau bagi sebagian orang akan datang menemui balian ngiwa untuk minta sesuatu yang bisa dijadikan sarana membencanai orang yang dituju.
Yang menarik adalah, mengapa orang justru suka melampiaskan niat jahatnya pada ajang keagamaan yang bernilai kesucian. Menurut Mangku Subagia yang kini kuliah S3 di IHDN Denpasar ini, bahwa motif orang-orang usil itu adalah pelampiasan dendam, iri hati, dan iseng. Mantan atlet angkat berat ini menguraikan lebih lanjut, kalau ada orang yang memiliki riwayat dendam kepada orang yang memiliki yadnya (meduwe karya), maka pagelaran yadnya itulah yang dijadikan panggung balas dendam baginya. Tujuannya adalah untuk membuat rasa malu yang besar bagi orang yang dibencinya, bilamana aksi jahatnya sukses. Saat yadnya adalah waktu berkumpulnya banyak orang, di mana banyak undangan hadir. Bayangkan rasa malu yang ditimbulkan bila teror gaib itu berhasil menggagalkan yadnya itu. Itulah mengapa justru yadnya yang diganggu, karena memang bertujuan mempermalukan si penggelar yadnya di depan publik.
Selanjutnya atas nama motif iri hati, bahwa ada kalangan yang iri akan kesuksesan seseorang yang kemudian melampiaskan rasa irinya saat orang yang dibencinya menggelar upacara agama. Tujuannya pun sama, agar orang yng “dicemburuinya” itu jatuh reputasinya.
Terakhir yang melakukan permainan ilmu hitam saat perhelatan yadnya adalah orang yang iseng ingin mencoba ilmu gaibya. “Kalau orang belajar ngeleak pemoroan atau ngiwa, maka nginnya mencoba ilmu terus, ibarat orang baru belajar silat yang tangannya gatal terus ingin berkelahi,” ujar Mangku Subagia beranalogi. Mangku lantas mencontohkan, misalnya ada pemangku atau sulinggih muput karya di suatu tempat di luar desanya atau jauh dari tempat tinggalnya. Nah, sering dalam kasus seperti itu, ada oknum-oknum penganut ilmu hitam yang mencoba sang sulinggih, apakah ilmu gaibnya sudah tinggi hingga berani-berani muput di tempat wilayah lain.
Meskipun praktik ilmu gaib hitam masih ditemui di kalangan masyarakat Bali, terutama saat perhelatan yadnya, namun Mangku Subagia memberi tips, bahwa betapa pun tingginya ilmu leak pemoroan itu yang berhasrat untuk mengganggu yadnya, maka tidak akan mempan sepanjang yang punya gawe bhakti kepada Bhatara Hyang Guru-nya. Untuk itulah Jro Mangku wanti-wanti supaya umat Hindu senantiasa astiti bhakti kepada Hyang Widhi, lebih-lebih menjelang perhelatan yadnya. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh umat Hindu Bali, di mana sebelum yadnya digelar akan mapekeling ke berbagai tempat dan munggahang pejati di sanggah Kamulan untuk nunas ica, supaya yadnya yang digelar labda karya. Hal tersebut merupakan hal utama yang harus dilakukan oleh yang menggelar yadnya, sementara kalau nunas ke sulinggih atau ke balian untuk ikut menjaga karya merupakan pendamping saja, tetapi yang utama adalah keyakinan, ketulusan dan keikhlasan dalam beryadnya.
Putrawan
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar