I Nyoman Tika
Ketika manusia beragama masih didominasi oleh dimensi misteri, warna alam gaib dan mistik, maka agama masih berdiri sebagai sebuah tindakan irasional semata. Fase seperti ini menurut Sigmud Freud manusia masih menganut doktrin agama sebagai delusi, sehingga dalam kaca matanya perlu dibenahi. Freud berharap sangat, bahwa akal harus menjadi diktator dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah kritik radikal terhadap manusia yang masih menganut pemahaman agama secara irasional. Tesa ini harus dicermati ketika kita hendak membangun budaya beragama ke depan bagi umat Hindu Indonesia. Kenapa demikian?
Jawabannya adalah masih banyak muncul dalam ranah pikiran orang Hindu di Bali, seperti masih meributkan tentang cetik. Cetik bisa dikirim jarak jauh untuk mengacaukan suasana kepada mereka yang memiliki upacara (yadnya). Seseorang sering diduga mengirimkan hujan atau membuat hujan buatan untuk mempersulit, saat upacara besar. Anggapan kebanyakan orang masih diliputi, bahwa ada orang lain yang iri terhadap upacara yang mereka lakukan. Kalau terjadi seperti ini, maka sebelum upacara berlangsung akan ada prosesi yang melibatkan berbagai jenis pawang. Selain itu perlu mempersiapkan secara materi, upacara menjadi bertambah beban, bukan hanya untuk material upakara, tetapi tambahan untuk membawa pawang atau balian gae, yang sering hadir dengan tingkah tidak rasional/ tidak normal, memang benar sebutannya “para normal” mereka yang di luar normal.
Masalahnya adalah kita telah masuk ke dalam dimensi berpikir negatif, rasa percaya pada kebesaran Tuhan yang bisa hadir dalam bentuk hujan, cobaan untuk pengendalian diri menjadi kabur. Lalu cara beragama inikah yang kita akan teruskan? Lalu apa yang harus kita bangun tentang beragama Hindu ke depan.
Tak lain ada beberapa formulasi yang bisa dibangun ketika kita hendak secara sadar mengakui bahwa kompleks kesadaran kolektif umat Hindu harus dibangun secara rasional dan nalar secara berhimbang. Menurut William James (1958) agama sebagai jalan menuju keunggulan manusia. Agama mempunyai peranan sentral dalam menentukan perilaku manusia. Dorongan beragama pada manusia sama menariknya dengan dorongan-dorongan yang lain pada diri manusia. Dalam konsep inilah, bahwa agama harus dibangun dengan tunjangan nalar dengan porsi yang lebih besar. Artinya hidup beragama harus memberikan ruang dimensi nalar berkembang dengan leluasa di batas-batas tertentu. Walaupun demikian dalam mengembangkan nalar manusia dalam lingkup agama dapat disinergikan dengan irasional yang memotivasi dalam mengkontruksi beragama Hindu yang lebih modern.
Ada dua metode untuk melakukan pembedahan ini: pertama, metode dekonstruksi. Dan kedua, eksplorasi arkeologis. Bagi umat Hindu dekonstruksi maupun ekplorasi arkeologis saling berkaitan satu sama lainnya. Kata "dekonstruksi" yang diperkenalkan filsuf post-modernis, Jaques Derrida, kerap disalahartikan. Dekonstruksi tak selalu berkonotasi negatif, seperti destruksi atau penghancuran. Dalam tradisi strukturalisme, pengertian dekonstruksi mengacu pada suatu proses "pemeretelan" sebuah instrumen atau struktur menjadi unit-unit dasar. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana konstruksinya pertama kali. "Operasi" ini pada gilirannya bermaksud membebaskan proses tadi dari suatu "muatan" tertentu. Juga, menghapus kesan aksiomatik yang sengaja diciptakan struktur itu buat dirinya; seakan-akan ia tak pernah terkonstruksi. Ini berlaku pada semua hal, termasuk konsep-konsep masa lalu atau narasi-narasi besar yang telah menghantui kita lewat tradisi. Kita dibuat yakin, bahwa semua itu akan tetap "begini" sepanjang waktu, seakan tak kenal perubahan.
Konsep-konsep seperti sradha dan bhakti, akal, Tuhan, manusia dan susatra Weda harus diterima apa adanya. Padahal, konsep bhakti dan sradha dewasa ini berbeda sama sekali pelaksanaannya dengan yang pernah berlaku pada jaman Mahabarata maupun Ramayana. Kita akan menyibak historisitasnya, konstruksi awalnya, serta persentuhannya dengan realitas. Dan, pada puncaknya, kita akan menjalin relasi baru serta bebas dengan tradisi.
Sementara eksplorasi arkeologis dapat ditelusuri jejaknya dalam pemikiran Michel Foucault, teoritisi andal asal Perancis. Melalui eksplorasi ini, kita akan sampai pada saat-saat dekonstruksi terjadi. Tanpa pelacakan arche-arche awal, sulit rasanya pembongkaran itu berlangsung. Fungsi utama metode ini adalah membantu kita untuk mengungkap momen-momen awal terbentuknya diskursus-diskursus dalam membentuk Budaya Hindu Indonesia dan khususnya di Bali.
Sejatinya, pelacakan arkeologis mirip dengan psikoanalisanya Sigmund Freud. Psikoanalisa berusaha melacak trauma-trauma masa kecil seorang pasien untuk membebaskannya (katarsis) dari gangguan-gangguan psikologis masa kini.
Demikian juga dengan eksplorasi arkeologis. Ia melacak relung-relung terdalam tradisi untuk menguak dan menyoroti proses awal konstruksinya. Tujuannya, agar membebaskan kita dari gambaran mitologis dan ketuhanan tentang tradisi itu. Serta, membekali kita dengan perspektif historis yang nyata.
Apa yang saya paparkan bermuara dari sebuah pertanyaan sederhana: Hindu yang bagaimana yang kita idamkan? Pertanyaan itu sendiri muncul akibat beragamnya visi dan corak pemahaman tentang Hindu yang lagi marak saat ini karena mudahnya mendapatkan informasi. Keragaman ini dipicu oleh fakta, bahwa kebenaran bukan milik satu pihak tertentu. Kebenaran itu bersatu di antara kita. Kebenaran lahir dari rahim ide-ide yang saling bertarung, dan gagasan-gagasan yang saling berbenturan. Dan, hanya nalar komunikatif dialogislah yang menjamin terwujudnya itu semua.
Ketika kita menatap kembali utuk menuju rasionalitas, maka satu pernyataan bahwa mengubah segera pikiran yang buruk menjadi pikiran yang baik. Dan, menggunakan setiap kesempatan untuk mengubah perbuatan yang baik menjadi suatu kebhaktian dengan mengabdikannya kepada Tuhan. Dengan mengubah segala pikiran menjadi pikiran yang mulia dan seluruh pekerjaan menjadi pemujaan kepada Tuhan, kita akan maju dengan sendirinya pada jalan yang suci. Om Nama Siwaya.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar