Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 20 Februari 2021

Sulinggih dalam Sorotan: Ada Sulinggih Cabul Tersangkut Pidana

Sulinggih atau pendeta Hindu di Bali belakangan ini mendapat sorotan tajam. Ada yang berbuat cabul, ada yang berbisnis banten dan menyebabkan upacara yadnya jadi mahal, ada yang mediksa (menjadi sulinggih) tanpa aturan. PHDI seharusnya bertindak lebih keras.

 Seorang sulinggih bergelar dengan inisial IBRASM atau nama walaka inisialnya IWM (38 tahun) harus berurusan dengan pihak penegak hukum setelah dilaporkan melakukan tindak pidana asusila berupa pelecehan seksual terhadap seorang perempuan berusia 33 tahun. Pencabulan dilakukannya saat mendampingi korban bersama suaminya melakukan tirthayatra pada tengah malam di sebuah campuhan di Gianyar.

Peristiwa tersebut sudah cukup lama, yaitu 4 Juli 2020, dan  dilaporkan oleh suami korban ke Kepolisian Daerah Bali (Polda) Bali pada 9 Juli 2020. Namun, kasus ini mulai ramai di media sejak Februari 2021 setelah pelaku resmi menyandang status tersangka.  Direktur Reserse Kriminal Umum (Dir Reskrimum) Polda Bali, Kombes Pol Djuhandani Rahardjo Puro melalui Kasubdit  IV PPA Polda Bali, AKBP Ni Luh Kompyang Srinadi menyatakan  telah menetapkan status tersangka kepada sulinggih yang dimaksud.  Demikian berita yang dikutip dari bali.idntimes.com.

Sementara itu sebagaimana disebutkan media online balebengong.id., salah seorang pengacara di tim LBH Bali WCC, yaitu Made Kariada, menyebutkan tersangka dikenai Pasal 289 KUHP tentang pencabulan dan bisa terancam pidana maksimum 9 tahun. Pihaknya berharap kasus ini menjadi edukasi dan pengalaman agar tak terulang lagi.

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 21 ayat 1 menyebutkan perintah penahanan atau penahan lanjut dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. “Paling prinsip agar kasus tak berulang, apalagi ini ancaman 9 tahun,” jelas Kariada.

Sabha Pandita PHDI Pusat


Peristiwa memalukan yang mencoreng dunia keagamaan di Bali ini menjadikan PHDI Bali segera merespon dengan menggelar rapat yang dihadiri PHDI Kabupaten/Kota se Bali pada Selasa, 16 Februari 2021 di Kantor PHDI Bali, Jalan Ratna, Denpasar. Rapat tersebut sengaja membahas kasus oknum sulinggih yang diduga melakukan pelecehan seksual tersebut serta mengantisipasi supaya tindakan oknum tersebut tidak mencemarkan nama baik sulinggih lainnya.

Dalam rapat tersebut terungkap bahwa IWM status kesulinggihannya  tidak tercatat resmi, sehingga tidak memiliki Surat Keputusan (SK) Kesulinggihan dari PHDI. Menurut Ketua PHDI Bali, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, PHDI hanya mengesahkan sulinggih yang hasil diksa pariksa dari PHDI. Jadi seadainya di luar itu terdapat sulinggih, maka PHDI tidak ikut bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu, misalnya, kalau oknum tersebut sampai tersangkut dengan hukum, maka nabenya yang mestinya mencabut status kesulinggihannya. PHDI tidak memiliki kewenangan sampai sejauh itu.

Tidak ada informasi yang jelas, bagaimana status kesulinggihan IWM ini. Belum diketahui juga siapa nabenya dan kapan melakukan diksa dwijati sebagai sulinggih. Besar kemungkinan ini adalah sulinggih abal-abal atau tidak memenuhi syarat atau bisa jadi pula hanya mengakui sebagai sulinggih tanpa ketentuan yang ada. Karena usianya di bawah 40 tahun, sementara persyaratan sebagai sulinggih usia minumun adalah 40 tahun.

Di tempat terpisah Dharma Adhyaksa PHDI Pusat, Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba mengatakan kepada Raditya pada Rabu, 24 Februari 2021, bahwa sebaiknya siapa pun yang memiliki niat menjadi sulinggih, medwijati lebih baik melalui jalur yang prosedural, yaitu melalui pintu PHDI. Karena melalui PHDI track record calon sulinggih akan diteliti  meliputi latar belakangnya di masyarakat, tanggapan masyarakat sekitar terhadap calon tersebut, kemudian perilakunya di mata hukum, keseriusannya dalam mengisi diri termasuk dalam proses paneban (aguron-guron) dan sebagainya.  Menurut Ida Pedanda, pentingnya seorang sulinggih terregistrasi di PHDI agar memudahkan koordinasi termasuk menyangkut hubungan dengan pemerintah. Karena bagaimanapun seorang sulinggih yang melayani umat, maka apabila terdapat sesuatu di kemudian hari, maka pemerintah selaku pelaksana pemerintahan akan lebih mudah dalam mengatur dan menanganinya. Termasuk misalnya kalau terjadi peristiwa seperti ulah oknum sulinggih tersebut, maka lebih mudah pula jalur pengawasan dan penindakan menurut aturan organisasi.

Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba berhati-hati dalam mengomentari kasus tersebut mengingat peristiwanya tidak jelas semuanya, tetapi secara normatif ia menyebutkan seandainya benar peristiwa itu terjadi pada tengah malam dan di tempat sepi, maka menurutnya hal itu sudah salah masa. Sebab menurutnya, secara etika sulinggih mestinya menerima umat di tempat yang pantas, pada waktu yang lumrah, seperti siang hari atau malam sebelum jam istirahat, dan itu pun dilakukan di tempat terbuka. “Andaipun misalnya itu berkaitan dengan proses penyucian, penglukatan, bahkan metetamban, yaitu pengobatan misalnya, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan penglukatan atau pebayuhan di geriya.” Beliau menambahkan apabila sulinggih berkehendak membantu umat untuk menangani suatu keluhan peyakit, maka hal itu sah-sah saja sepanjang tidak terjadi kontak fisik dengan “pasien”. Apabila diharuskan melakukan suatu sentuhan fisik seperti mengurut, pijat, atau lainnya, maka tindakan tersebut sebaiknya dikerjakan oleh pengiring Ida Pedanda yang berstatus ekajati (pemangku) dan melakukan terapi atas arahan Ida Pedanda (sulinggih). “Dan sekali lagi dilakukan di tempat terbuka untuk menjauhkan suatu prasangka negatif dan ekses lainnya,” kata Pedanda Bang Buruan.

Lantas mengapa sampai terjadi kasus seperti pelecehan oleh oknum sulinggih tersebut? Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba tidak berani menyimpulkan apa penyebabnya, namun beliau mengingatkan bahwa menjadi sulinggih itu lebih merupakan suatu komitmen pada diri sendiri untuk tujuan menyucikan diri, setelah itu baru ngayah mengabdi dengan ngalokapalasraya. Nah, ini yang sulit, karena dalam hati orang siapa yang tahu motivasinya mengambil diksa dwijati, karena peristiwa buruk sudah terjadi akhirnya kembali pada hukum bahwa setiap warga Negara sama kedudukannya di mata hukum. “Ya biarlah hukum yang memberikan keadilan, ya kalau terbukti seperti itu, maka akan kena sanksi pidana, sebaliknya kalau tidak terbukti, maka nama baiknya harus dipulihkan,” kata Bang Buruan.

Pada bagian akhir Ida Pedanda mewanti-wanti kepada seluruh umat Hindu, agar waspada di dalam menilai siapa pun termasuk sulinggih, karena nuwur atau memohon sulinggih untuk hadir muput upacara sangat terkait dengan keyakinan yang melaksanakan upacara. Ada umat yakinnya terhadap sulinggih A, sedangkan umat lain lebih mantap mohon pemuputnya kepada sulinggih B. Semua itu baik, karena untuk atmanstuti atau kepuasan batin, tetapi tetap harus hati-hati, karena itu umat Hindu ada baiknya lebih dekat dengan sulinggihnya supaya tahu “kualitas” dan kinerjanya dalam melayani umat.

Sementara itu Jro Mangku Wayan Sunasdyana juga menyoroti fenomena sebagian sulinggih pada era belakangan ini. Menurutnya, fenomena yang terjadi di masyarakat walaupun telah diberikan empat jalan menapak kehidupan yang sempurna dalam Agama Hindu, sering terjadi Diksa dilakukan saat masih memiliki tanggung jawab sebagai seorang Grhasta (berumah tangga), sehingga kebanyakan sesana sulinggih yang telah digariskan sering sangat sulit untuk tidak dilanggar terutama dalam hal tuntutan kehidupan material, dan tentu tidak menutup kemungkinan melanggar sesana lain seperti mencuat kasus pelecehan seksual oleh seorang oknum sulinggih di Gianyar.

 

Sulinggih Massal

Yang juga ramai diperbincangkan belakangan ini adalah adanya sulinggih yang melakukan diksa dwijati tidak mematuhi aguron-aguron mau pun yang ditetapkan oleh PHDI Bali. Selain usianya yang tidak memenuhi syarat, juga jenjang kesulinggihannya tidak jelas. Belum berpengalaman sebagai pemangku sudah melakukan diksa sebagai sulinggih. Bahkan ada sulinggih yang didiksa masal sampai 30 orang sekaligus oleh sebuah Yayasan yang bernapaskan Hindu. Dari perbincangan di media sosial, sulinggih yang didiksa massal ini dikatagorikan sebagai sulinggih dari sampradaya tertentu. “Bagaimana prosesnya bisa menjadi sulinggih kalau disiksa secara massal sampai 30 orang, apakah ada upacara seda raga-nya?” demikian pertanyaan warganet di media sosial. Seda raga itu adalah upacara kematian karena sulinggih itu disebut dwijati karena dianggap lahir dua kali. Pertama lahir dari rahim ibu kandungnya, kelahiran kedua dari guru nabenya.

Karena itu banyak orang berharap PHDI sebagai majelis umat harus lebih tegas lagi dalam memberikan izin dan sertifikat kepada sulinggih. Kalau memang tidak memenuhi syarat harus dicegah dan dilarang.

Sementara itu, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda selaku salah satu pengurus Sabha Pandita MGPSSR Pusat mengatakan, pediksa sulinggih di Warga Pasek sudah sangat baku, meski pun terus menerus disempurnakan. Tidak bisa ujug-ujug orang menjadi sulinggih. Harus lewat pemangku dan pemangku itu pun bukannya pemangku seperti di pura tertentu yang berdasarkan keturunan atau main tunjuk. Tetapi pemangku yang mengikuti pendidikan atau kursus pemangku. “Setelah lulus menjadi pemangku calon sulinggih melanjutkan pendidikan calon bhawati. Setelah dianggap lulus dengan tes yang benar, maka calon itu bisa dinobatkan sebagai bhawati dengan upacara yang disebut pewintenan bhawati. “Setelah itu baru bisa diberi gelar Ida Bhawati,” kata Mpu Jaya Prema.

Bhawati ini boleh dikatakan sebagai magang pandita dan itu lamanya minimum 6 bulan sampai 2 tahun, tergantung kemampuan seseorang. Setelah itu diadakan tes lagi yang disebut diksa pariksa beik oleh MGPSSR maupun oleh Parisada. Kalau sudah lulus baru memohon izin melakukan diksa. “Jadi prosesnya panjang dan tak bisa ujug-ujug apalagi didiksa massal.” Kata Mpu jaya Prema.

Kalau semua ini terus ditegakkan maka kecil kemungkinan seorang sulinggih menghadapi kasus pidana, apalagi sampai masuk ke pengadilan. Sulinggih yang sampai ditahan dan diadili harus diputus dulu gelar sulinggihnya. “Ada upacaranya itu yakni rambutnya dipotong oleh nabenya sehingga kembali menjadi walaka,” imbuh Mpu Jaya Prema.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar