Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 15 April 2019

Totalitas Seorang Penyembah

Kehidupan itu sesungguhnya penuh misteri. Karena itu, wajar kalau definisi dan prisip-prinsip hidup satu sama lain tidak sama. Ada yang beranggapan, hidup ini hanya sekali. Karena itu mereka yang menganut anggapan tersebut sering kali memuaskan segala keinginannya, tiada rambu, tiada batas. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Itu antara lain prinsip hidup yang dipegang oleh orang-orang mengklaim bahwa hidup di dunia ini hanya sekali.

Namun, bagi seorang Komang Ratna tidaklah demikian. Baginya, hidup adalah proses penyempurnaan diri dari waktu ke waktu. Proses penyempurnaan diri itu bisa terjadi kalau kita terhubung dengan Tuhan YME. “Hidup ini harus dianggap sebagai keadaan sakit. Karena itu kita harus mendatangi rumah sakit untuk mendapatkan kesembuhan,” katanya memberi perbandingan.
Siapakah Komang Ratna? Dia adalah salah satu perempuan beruntung. Secara fisik, ia lahir sebagai perempuan yang relatif cantik. Usaha bersama suaminya dapat dikatakan banyak dan meraih kesuksesan. Antara lain mendirikan bank, eksportir hasil bumi, hotel, toko, salon kecantikan, dan lain-lain. Bepergian ke luar negeri sering ia lakukan dan bukan hal yang istimewa baginya. Pendek kata, ia termasuk orang terpandang di lingkungan masyarakat sekitarnya.


Di manakah ia tinggal? Komang Ratna tinggal di Singaraja. Jika ia mau mengikuti gaya hidup sesuai dengan kelasnya, sesungguhnya setiap hari ia bisa pergi dari satu ke mall ke mall lainnya. “Oh tidak, saya bahkan selama tiga tahun ini tidak pergi ke mall. Itu tidak menarik bagi saya,” ujarnya saat ditemui di rumahnya pada akhir Maret 2019 lalu.

Demikianlah, ia seperti “menyimpang” dari kelas kehidupannya. Ia malah memilih jalan yang tak lazim, bahkan bagi orang kebanyakan sekalipun. Ia begitu tekun menempa dan mengembleng diri untuk menapaki jalan tak lazim itu. Pagi-pagi, sekitar pukul 03.00, saat orang lain sedang tertidur lelap, ia sudah bangun.

Untuk apa pada jam segitu sudah bangun? Ia mempersiapkan diri untuk kirtan dan berjapa. Kirtan dan japa? Dua istilah tersebut memang belum dimengerti oleh banyak orang, meskipun kini istilah itu sudah semakin dipopulerkan oleh kelompok tertentu. Kirtan adalah sejenis bernyanyi dengan menyebut nama-nama suci Tuhan. Sementara berjapa adalah kegiatan melafalkan mantram sampai sekian putaran sesuai tuntunan guru spiritual.

Kalau demikian, pastinya Komang Ratna bergabung pada kelompok spiritual tertentu ya? Ya, sejak 4 tahun lalu ia bergabung ke sampradaya Kesadaran Krishna. “Di Kesadaran Krishna saya menemukan semua jawaban atas segala teka-teki dan pertanyaan yang muncul pada diri saya sejak jauh hari sebelum saya menikah,” jelasnya.

Jika ia merasa beruntung hidupnya, itu lantaran dipertemukan dengan Kesadaran Krishna. Padahal dulu, saat masih kuliah di Jawa, ia hampir saja menjadi mualaf (orang yang baru masuk Islam). Ia kini menyadari, ada semacam tangan yang tak tampak yang menariknya ke jalan spiritual yang lebih sempurna.

Kelompok Kesadaran Krishna dipandangnya sebagai bengkel atau rumah sakit untuk menyembuhkan berbagai “penyakit” akibat karma masa lalu. Apa sang suami tidak keberatan dengan pilihan hidup yang dibuat Ratna? Lebih-lebih usianya masih relatif muda, kita-kira baru 40 tahun. Ia memang tidak bersedia memberitahukan tahun kelahirannya. Atas pertanyaan itu, ia menjawab, “Tidak. Suami saya tidak mempermasalahkan. Dia (sang suami) mendukung. Bahkan dia memuji saya. Katanya, besarkanlah anak-anak kami agar bisa memiliki karakter seperti saya,” tuturnya lebih lanjut.

Bukti dukungan suami memang bisa dilihat orang lain. Misalnya, pasangan suami-istri tersebut menyumbangkan vila miliknya yang berdiri di atas tanah 65 are di Desa Sambangan, 5 km dari Singaraja, untuk kelompok spiritual tersebut. Vila itu kini berubah menjadi temple dan sekaligus sekretariat yayasan yang bergerak di bidang spiritual. Tiap kali ada kegiatan di tempat itu, karena mengundang banyak orang, pasti membutuhkan biaya, minimal untuk konsumsi. Itu pun ditanggulangi oleh Komang Ratna.

“Manakala saya memberikan sumbangan, saya tidak ingin ditonjolkan ataupun untuk sekadar mencari ketenaran. Tidak sama sekali,” tegasnya.

Walau demikian, sering kali beberapa penyembah menarik-narik tangannya dalam suatu acara, manakala Komang Ratna duduk di deretan belakang. Padahal dirinya menyadari sepenuhnya bahwa ia sebagai penyembah pemula, masih yunior. Masih banyak yang jauh lebih senior dibanding dirinya. Seharusnya, mereka itulah yang mendapatkan tempat duduk di barisan depan. Bukan untuk dirinya.
Komang Ratna rupanya total sepenuhnya menekuni jalan spiritual melalui sampradaya Kesadaran Krishna. Ia tidak mau mendengar komentar yang bukan-bukan tentang dirinya. “Asal mereka tahu bahwa saya ini masih jauh dari sempurna. Saya juga bukan orang suci hanya karena saya memilih jalan seperti ini. Tidak. Bahkan saya memiliki ketakutan yang cukup besar. Kalau sekarang sih masih baik-baik semuanya. Tapi siapa tahu dengan sisa hidup yang mungkin masih panjang saya alami, apa yang terjadi? Mudah-mudahan sih saya tidak tergelincir,” katanya memberi penjelasan perihal ketakutan tersebut.

Mudah-mudahan Ratna tetap berjalan di jalan lurus. Semoga pula kekhawatiran mengenai kemungkinan terjadi “godaan setan” dalam sisa hidupnya tidak pernah terjadi. Astungkara. Hare Krishna. (mm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar