Pura Penataran Luhur Medang Kamulan terletak di Dusun Buku, Desa Mondoloku, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Awal berdirinya pura ini pada tahun 1980-an melalui swadaya umat Hindu yang berjumlah 75 KK membangun tempat persembahyangan. Dalam perjalan sejarahnya terjadi berbagai tantangan dan dinamika akan keberadaan pura ini, namun berkat karunia Ida Sang Hyang Widhi dan tentunya usaha gigih dari umat Hindu setempat pura tersebut teatap eksis dan berdiri megah dan pada 13 Februari 2014 diadakan rangkaian ritual Nedunang Ida Batara Medang Kamulan dan pada Puranama kaulu, 14 Februari 2014 telah dilangsungkan upacara Ngenteg Linggih yang dipuput oleh Pandita Dukun Hasta Brata dan pandita Dukun Eko warnoto dari Tengger, serta Ida Pandita Mpu Agni Satya Wadi Winatha Daksa.
Sebagaimana dikutip dari puramedangkamulan.wordpress.com, pada Piodalan tahun 2015 yang jatuh pada Purnama Kaulu, 3 Februari 2015 yang dipuput oleh Pandita Dukun Hasta Brata dan Pandita Dukun Eko Warnoto dari Tengger, Ida Bhujangga Rsi Anom Phalguna dan Ida Bhujangga Rsi Istri Laksmi dari Pasraman Agung Giri Taman Griya Batur Bhujangga Waisnawa, Jembrana, Bali, Ida rsi Nabe Bhunagga Sangging Prabhangkara, Ida Ratu Bhagawan Agra sagening, dan Ida Pandita Mpu Nabe Acharya Dharma. Pada upacara tersebut sekaligus diadakan pawintenan atau pengukuhan terhadap Kadek Sumanila beserta istri sebagai Jero Sepuh Lanang Istri Medang Kamulan.
Ada pun pelinggih-pelinggih di Pura Penataran Luhur Medang Kamulan meliputi: Padma Candi, Gedong Lingga Kamulan, Penglurah Sakti, Arca Ken Dedes, Petirta Tri Utama Suci, Dewa Ganesha, Hyang Panji Medang Kamulan Nusantara Sejati, Tri Suci Maha Rsi (Rsi Agastya, Rsi Markandeya, dan Mpu Kuturan), Lingga-Yoni, Surya Majapahit, Hyang Semar, dan Beji Sumber Kahuripan Sendang kamulyan. Khusus untuk pelinggih Gedong Lingga Kamulan merupakan pemujaan kepada leluhur dan roh suci yang disebut dengan Bhatara. Di dalamnya terdapat Rong Tiga, yaitu Bapanta ring Tengen, Ibunta ring Kiwa, Matemahan Sang Hyang Iswara ring Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa roh-roh suci zaman dulu yang menyatu dengan Sang Hyang Tunggal, yaitu Kamulan Sakti Kamimitan, disebut juga Ida Bhatara Dalem Medang Kamulan (Rsi Agastya atau Sanghyang Dimaraja Manu atau Aji Saka) dari zaman kerajaan Medang Kamulan.
Spirit Mpu Kuturan
Pada Jumat, 25 Januari 2019 terbuka dauh ayu (kesempatan baik) bagi Jro Mangku Aseman, Mangku Istri, Made Dwija Nurjaya, Maha, dan Nanda untuk nangkil ke Pura Penataran Luhur Medang Kamulan. Mangku Aseman memperoleh ilham bahwa sudah saatnya tangkil ke Pura Medang Kamulan untuk melanjutkan Ruwat Bumi Nusantara yang telah dimulai pada 14 April 2007 di GWK melalui acara Light of Peace bersamaan dengan peringatan 1000 tahun Mpu Kuturan.
Mangku Aseman mendapat tuntunan secara niskala untuk meneruskan Ruwat Bumi Nusantara yang sebelumnya sudah ia dan rekan-rekan pengayah telah lakukan selama beberapa tahun sebelumnya dengan mengunjungi tempat-tempat suci di berbagai pura di Bali, Jawa, Lombok, Sumatra, Sumbawa, Flores, Timor, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, bahkan India, Malaysia, Thailand, Filiphina, dan Nepal. Perjalanan spiritual itu sepenuhnya atas bimbingan niskala untuk napak tilas perjalanan agama Hindu dari Lembah Shindu terus ke Indochina, kemudian sampai di Nusantara. Di setiap tempat-tempat suci yang dikunjungi Mangku Aseman dan Made Dwija Nurjaya, dan kadang-kadang juga dengan pengayah lainnya, mereka selalu melakukan ritual di tempat tersebut kemudian memohon kekuatan spiritual disana untuk berkenan kairing ke Nusantara, sehingga secara niskala pun kemudian terjalin jaringan keterhubungan antara semua poros kesucian tersebut. Harapannya adalah, agar terwujud ketenteraman dan kedamaian seluruh dunia, termasuk Nusantara secara sekala (nyata).
Masih dalam rangka semangat itulah mereka tangkil ke Pura Penataran Luhur Medang Kamulan. Rombongan Mangku Aseman berangkat siang hari dan tiba di Gresik, lokasi pura sekitar jam 02.00 wib. Mendapati keberadaan pura yang terbuka, lalu mereka semua langsung masuk ke pura untuk bersembahyang, matur piuning akan kedatangannya. Melalui sarana lima buah dupa menyala mereka pun sembahyang
Kemudian sekitar jam 04.00 datang rombongan lain dari Bali, yang dipimpin oleh Gusti Mangku Agung, pemangku Pura Samuantiga, Gianyar sekitar 71 orang. Mereka pun disambut oleh Jero Sepuh Pura Penataran Luhur Medang Kamulan dan mereka mengadakan rembug di pendopo merundingkan apa yang akan dikerjakan secara spiritual. Sekadar mengingat kembali bahwa Pura Samuantiga di Gianyar merupakan tempat yang menjadi cikal bakal Tri Murti Paksa di Bali yang digagas Mpu Kuturan pada abad X. Mpu Kuturan mengunifikasi sekte-sekte di Bali saat itu yang menimbulkan konflik sosial, diunifikasi menjadi pemujaan Tri Murti: Brahma, Wisnu, Siwa, di Tri Kahyangan (Puseh, Desa, Dalem). Tujuan penyatuan sekte-sekte keagamaan saat itu tiada lain untuk mewujudkan kedamaian di Bali; agama adalah sarana merealisasikan hidup yang damai, bukan yang lain. Jadi, secara kebetulan Mangku Aseman, dkk., juga selama ini keliling dunia untuk menyebarkan spirit kedamaian secara spiritual (ritual), yang cahaya api kedamaian secada fisik telah dinyalakan pada tahun 2007 silam di GWK.
Atas kesamaan dasar mewarisi sejarah spirit Mpu Kuturan yang berjuang untuk kedamaian, maka pagi itu rombongan Mangku Aseman, rombongan Pura Samuantiga, dan Jero Sepuh selaku pemangku Pura Penataran Luhur Medang Kamulan sepakat untuk mengadakan ritual sederhana, namun penuh makna, yaitu Nuur Hyang Dalem Medang Kamulan sebagai Purusa yang melinggih di pura tersebut, agar berkenan kairing tedun melinggih ke Rong Tiga di Merajan para pemedek yang nangkil untuk berkenan memberikan kerahayuan, kedamaian, dan kesejahteraan (Jagat shanti).
Bersaranakan sebuah pejati, prayascita dan penglukatan, Mangku Aseman, Jero Sepuh, Gusti Mangku Agung, mulai melakukan ritual bersama-sama bertempat di pendopo, dengan pertama-tama melakukan upacara Ngruwat menyucikan prthiwi. Kemudian dilanjutkan memberikan Penglukatan kepada para pemedek. dan semua umat yang hadir mebhakti (sembahyang) memohon Hyang Dalem Medang Kemulan dan leluhur Nusantara lainnya berkenan turun. Seketika itu secara spontan gerakan tangan Mangku Aseman digerakkan secara niskala membentuk mudra-mudra untuk menerima turunnya kekuatan suci.
Kedua, setelah kekuatan prthiwi bangkit dan berkenan hadir dalam wujud naga yang memasuki raga Mangku Aseman hingga hampir jatuh terjengkang ke belakang, wujud tersebut kemudian dimohon untuk “saumya” (tenang), baru kemudian Mangku Aseman memohon diturunkan cupu manic yang kalinggihang di daksina dan tirtha serta di bhuwana alit (raga) masing-masing pemedek. Cupu manic niskala itu tiada lain merupakan wadah untuk melinggihnya kekuatan suci yang akan dimohon berkenan turun ke bumi.
Ketiga, setelah cupu manik diterima, dilanjutkan sembahyang bersama-sama memohon turunnya Ida Hyang Dalem Medang Kamulan untuk melinggih di tirtha (Bhatara Tirtha). Upacara dilanjutkan dengan para pemedek nunas penglukatan ke beji. Berikutnya baru ke jeroan pura untuk sembahyang dan ngiringang Ida Bhatara Tirtha untuk kalinggihang di Pelinggih. Setelah prosesi itu selesai barulah umat yang hadir menerima tirtha yang bermakna ngelinggihang Ida Hyang Dalem Medang Kamulan ke cupu manik yang telah menyatu dengan raga. Ini bermakna setiap individu yang turut serta dalam ritual tersebut sudah memperoleh anugerah Ida Bhatara untuk menjadi penebar vibrasi kedamaian di lingkungannya masing-masing. Selain itu masing-masing pemedek juga nunas tirtha untuk kairing ke rumahnya masing-masing yang akan dipercikkan di pelinggih Rong Tiga Merajan masing-masing. (tra)
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar