Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 20 Desember 2017

Arja Ribu dan Topéng Pugra Sebagai Studi Kasus

Oleh I Ketut Yasa
Tulisan berikut ini, akan mengisahkan pengalaman penulis ketika menonton arja Ribu  dan topeng Pugra. Dalam arja ada salah seorang seniman (penarinya) yang dipanggil dengan sebutan Ribu. Dalam topeng ada salah seorang penarinya yang bernama Pugra, dan sekaligus nama krunya juga disebut dengan topéng Pugra. Kisah ini kebetulan terjadi secara bersamaan, yaitu pada dekade tahun 1970- an.

Ada beberapa pendapat tentang taksu yang ada korelasinya dengan seni (seniman) tari,  antara lain sebagai berikut. Dibia sebagaimana dikutip Tisnu Wijaya mengungkapkan, bahwa ada delapan pengertian taksu, dua di antaranya adalah (1) taksu pada dasarnya adalah kekuatan spiritual atau aura yang kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan intelektualitas, membawa kekuatan magis untuk meningkatkan kualitas kerja profesional, dan (2) taksu mungkin muncul pada orang (pendeta/pemangku, seniman, dukun/balian, guru, dokter, supir,  politisi dan lain-lainnya);  pada obyek material (benda seni, alat-alat, perlengkapan dan lain-lain, serta pada tempat (rumah, musium dan galeri)(Raditya, januari 2015: 12).  Pengertian di atas menunjukkan bahwa,yang pertama merujuk kepada orangnya, dalam konteks tulisan ini seniman--penari. Kemudian pengertian kedua merujuk kepada perlengkapan yang dikenakan oleh penari, yaitu gelungan (hiasan kepala berupa mahkota).
Wicaksana (dosen Intitut Seni Indinseia [ISI] Denpasar) dalam artikelnya berjudul “Menguak Nilai-nilai Estetis dalam Tari Baris” yang dimuat dalam Jurnal Mudra menyatakan, bahwa “Taksu adalah kekuatan dalam (inner power)  yang memberi kecerdasan, keindahan dan mujizat. Seorang seniman dapat dikatakan memiliki taksu, apabila ia mampu mentranformasikan dirinya secara utuh sesuai dengan peran yang ditampilkan. Seniman muncul dengan stage presence yang memukau, sehingga dengan penampilan itu ia dapat menyatu dengan masyarakat pendukungnya” (2013: 101)


Chaya (purna tugas ISI Surakarta) dalam artikelnya berjudul “Taksu Dalam Kepenarian Citra Penari (Manusia) Berkualitas” yang dimuat dalam Jurnal Dewa Ruci  menyebutkan bahwa “taksu adalah terminologi sekaligus juga sebuah ‘konsep’ yang berlaku dalam kehidupan masyarakat Bali. Sebagai Sebuah konsep, taksu sering terlontar dalam berbagai wacana terutama ketika menyoal tentang kualitas dalam perilaku kehidupan membudaya. Tentu, dari padanya terkadung suatu makna esensial yang terbingkai dalam sistem nilai kehidupan sisial budaya Bali” (2006: 336). Pada halaman berikutnya dijelaskan oleh Chaya bahwa “taksu dapat diinterpretasikan sebagai sebuah inner-power yang mampu memberikan kekuatan (spirit) terhadap sikap ataupun perilaku kehidupan manusia dalam melakukan aktivitas yang sangat terkait dengan bidang profesi. Misalnya di kalangan orang Bali seringkali terungkap bahwa seorang penari ketika menari di atas panggung akan dianggap memiliki taksu apabila ia mampu memikat penonton dengan sangat mengagumkan dan bahkan dapat membuat seseorang ‘tergila-gila.’ Penari yang demikian seringkali mengundang komentar para pengagumnya dalam bentuk pujian. Pujian itu diantaranya mengatakan bahwa pancaran sinar kewibawaan yang dihadirkan oleh kekuatan taksu dari seorang penari seakan menjadikan diri (wajah) sang penari berubah dari (wajah) kesehariannya”(2006: 338-339).

Sandika dalam artikelnya berjudul “Siwa Nataraja Sebagai Simbol Pembangkitan Taksu” mengemukakan, bahwa “Taksu adalah energi puncak yang berasal dari Tuhan yang didapat melalui ritual dan olah spiritual. Taksu juga dapat diartikan sebagai daya pukau, pesona, wibawa dan kharisma. Taksu sangat berperan penting dalam berkesenian, terlebih seni tari. Taksu merupakan daya kekuatan yang mampu menarik orang-orang untuk menjadi penikmat kesenian dan membawa seseorang pada wilayah penyadaran akan hakikat seni melalui keindahan. Pun demikian bagi pelaku seni, taksu adalah daya magis atau daya spiritual yang menyebabkan inspirasi berkesenian muncul, dan tentunya kekuatan ini berasal dari Hyang Siwa Nataraja sebagai sumber segala keindahan” (Raditya, edesi 235, 2017: 52).

Berangkat dari sejumlah pendapat tentang taksu di atas, penulis teringat dengan beberapa seni pertunjukan pada tahun 1960-an hingga 1970-an yang memiliki taksu. Dua di antaranya adalah Arja Ribu dan Topeng Pugra.

Arja Ribu
Arja sebagaimana diketahui adalah sebuah dramatari yang sering juga disebut dengan opera tari Bali. Dibia dalam artikelnya berjudul “Prinsip-Prinsip Keindahan Tari Bali’ yang dimuat dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia menyebutkan bahwa “kata arja berasal dari bahasa Sanskerta reja yang kemudian mendapat awalan ‘a’ menjadi ‘areja’ yang kemudian menjadi ‘arja; yang berarti indah atau mengandung keindahan” (1996: 120). Lebih jauh Dibia menjelaskan, bahwa “keindahan dari pertunjukan arja terletak pada keharmonisan antara gerak (tari atau akting) dan tembang. Para seniman Arja biasanya menyebutkan prinsip-prinsip kesenian mereka sebagai “ngigelin gending.” 
Sementara kata Ribu adalah salah satu nama penari Arja yang sangat dikenal atau familiar di kalangan penggemar Arja pada tahun 1960 an hingga 1970 an. Diberi julukan Ribu, karena upah atau ongkos menari untuk satu malam saat itu yang termasuk paling tinggi (bukannya tertinggi) adalah seribu rupiah bagi setiap penari. Penari yang satu ini selalu ditunggu-tungu penampilannya, kendatipun harus berangkat dari rumah untuk menuju ke tempat pentas saat tengah malam dengan api danyuh (daun kelapa kering) sebagai penerang jalan. Ketika dia (Ribu) tampil yang selalu ditemani dengan Bonyong (wijil) dan Sadru (punta) sangat dielu-elukan oleh para penonton, baik anak-anak, remaja, maupun penonton sudah tua. Hal ini dapat dimaklumi, karena penampilan Ribu sangat menawan, memikat dan memukau. Penampilan yang memukau ini dapat dilihat dari caranya mengharmoniskan gerak tari, tembang, dan akting dengan senyum yang khas disertai mata yang berkedip-kedip. Penampilan seperti ini, menjadikan dia sangat jauh berbeda dengan penampilan kesehariannya. Penulis dengan sengaja memperhatikan, ketika dia  (Ribu) belum berdandan (berhias), sosok Ribu tidak ada yang  istimewa dan tidak ada bedanya dengan masyarakat desa pada umumnya (lugu). Namun ketika dia sudah tampil di arena pentas terutama ketika baru keluar dari rangki (menyibak langsé) waduh luar biasa, sangat luar biasa. Barangkali penari seperti  ini yang disebut panari yang memiliki taksu.

Topéng Pugra
Topéng adalah sebuah drama tari yang semua penarinya memakai topéng (dalam bahasa Bali tapel) yang dibuat dari bahan kayu). Lakon yang dibawakan biasanya diambil dari cerita Babad. Dibia dalam artikelnya berjudul “Prinsip-Prinsip Keindahan Tari Bali” menjelaskan, bahwa “Walaupun Topéng mempunyai struktur pertunjukan yang baku, pementasan Topéng sangat   diwarnai oleh kemampuan  berimprovisasi dari para penarinya. Segala bentuk improvisasi, dalam tari, dialog, dan lawakan, disesuaikan dengan watak dan diperuntukkan untuk menggerakkan dan menghidupkan topéng-topéng yang mereka pakai” (1996: 116). Lebih jauh dijelaskan oleh Dibia, bahwa “keindahan pertunjukan Topéng, yang menjadi pusat dari kelangsungan kesenian ini terletak pada ngidupang tapel atau menghidupkan topéng adalah kunci dari keberhasilan pementasan Topéng”(1996: 118). Pada halaman berikutnya Dibia menjelaskan bahwa “Prinsip ngidupang tapel” menuntut para penari Topéng untuk tidak bergerak melebihi dari yang dibutuhkan oleh atau untuk menghidupkan topéng atau tapel yang mereka tarikan.

Sementara Pugra adalah nama kru (tim) topéng dan nama salah seorang penari dari tim tersebut. Tim ini beranggotakan tiga orang yakni: (1) I Nyoman Pugra, (2) Ida Bagus Belang, dan (3) Murdi (putri Pugra).  Bermarkas atau beraktivitas di Banjar Sima, Sumerta, Kesiman, Denpasar, Bali. Di depan telah dijelaskan bahwa dramatari topéng adalah sebuah pertunjukan yang semua penarinya memakai topeng. Tidak demikian halnya dengan tim topeng Pugra. Murdi (anaknya), pada saat pementasannya tidak memakai topeng, karena berperan sebagai mantri seperti yang terdapat dalam arja. Oleh karena itu, tim ini sebetulnya  bisa juga disebut perémbon, karena topéng yang ada unsur arjanya. Namun masyarakat (seni) lebih sering menyebut topéng Pugra, bukan perémbon Pugra.
 
Topéng Pugra memiliki ciri khas, yaitu terletak pada penampilan tarian topéng tuanya. Kekhasannya dapat dilihat pada bentuk tari maupun wajah tapelnya. Bentuk tari maupun wajah topéngnya tidak  mencerminkan seseorang yang sangat tua seperti topéng tua yang ditampilkan tim lain. Topeng tua yang ditarikan sendiri oleh Pugra berkarakter jenaka, termasuk gendingnya juga berbeda. Pugra, apabila tampil berpasangan selalu tampil bersama Ida Bagus Belang sebagai tokoh Penasar, dan dia (Pugra) sebagai tokoh Kartala. Sebagai Kartala, Pugra juga mempunyai ciri khas, yaitu udeng(destar) yang dipakai adalah destar yang digunakan sehari-hari. Di samping itu, ketika menari jalannya selalu dengan kaki ditekuk dan badan sedikit doyong ke belakang. Dalam memerankan tokoh kartala, Pugra sangat lihai di dalam menyampaikan cerita/lakon topéng yang sedang dibawakan. Di samping itu, Pugra sering menyelipkan petuah/pitutur/ nasehat-nasehat yang berkaitan dengan bidang keagamaan (Hindu). Oleh karenanya, topéng Pugra  tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga tuntunan, sehingga topéng Pugra terkenal di seluruh Bali.  Pugra, selain memerankan tokoh kartala ia  juga ahli  memainkan berbagai karakter yang dikenal dengan topéng bebondrésan. Keahliannya di dalam memerankan topéng bebondrésan selain dikagumi oleh masyarakat Bali, juga oleh penari berkaliber international yaitu Sardono W. Kusumo.

Sardono dalam bukunya berjudul Hanuman, Tarzan, Homo Erektus, mengemukakan bahwa dia pernah mengajak Pugra pentas di Eropa selama empat bulan. Sardono juga sering berkonsultasi dengan Pugra tentang bagaimana untuk bisa menjadi penari yang baik. Pada tahun 1975 Sardono berkesempatan mengundang Pugra  menari di Pendapa Sasono Mulyo di dalam  kompleks Keraton Surakarta. Malam sebelum berangkat Pugra diwawancarai oleh wartawan dari harian Sinar Harapan. Pada akhir wawancara Pugra berujar “besok saya akan ke Solo, dan mungkin akan tinggal lama sekali, karena saya akan belajar untuk bisa ketemu saya yang sejati.” Ucapan Pugra ini ternyata suatu firasat yang bagi orang lain tidak tahu. Karena ketika  menari di Solo, Pugra beberapa kali sempoyongan akhirnya jatuh.  Kemudian dibawa ke rumah sakit dan ditangani tiga orang dokter, namun jiwanya tidak tertolong. Pugra terbaring tenang. Dia ketemu dengan Aku-nya yang sejati (2004: 45).

Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa untuk menjadi penari yang memiliki taksu selain memperoleh kekuatan secara niskala, juga memiliki kekuatan yang bersifat sekala, yaitu keterampilan yang mumpuni. Misalnya sebagai penari Arja harus piawai ngigelin gending/tembang, dan sebagai penari topéng harus piawai ngigelin tapel. Khusus tentang Pugra, selain  memiliki keterampilan dan mendapat kekuatan secara niskala, bagi yang yakin dia (Pugra) juga sudah tahu saat kematiannya dan dia memilih saat menari topéng di arena pentas. Selamat jalan Pak Nyoman Pugra. Semoga muncul Pugra-Pugra muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar