Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 24 September 2017

Aksara Dalam Kajang Sebagai Pengantar Sang Roh

 Praktik beritual di Bali tidak terlepas dari pengunaan simbol atau atribut yang dipandang sakral magis. Simbol dan atribut tersebut boleh dikatakan sebagai media untuk menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja. Jadi atribut upacara dalam bentuk apapun di Bali, terlebih atribut beritual dipandang sebagai sesuatu yang istimewa, dan memiliki kedekatan makna dengan teologis (perihal tentang Tuhan). Salah satu atribut yang menarik ditelisik adalah atribut dalam upacara ngaben, yakni Kajang.

Kajang sering dipergunakan sebagai peranti sakral ketika ritus kematian (ngaben) digelar. Kajang dalam Kamus Jawa Kuno berarti “kerudung” atau “kain penutup”. Berdasarkan atas arti tersebut, Kajang digunakan sebagai kain kerudung penutup mayat atau sawa ketika prosesi pembakaran dalam upacara ngaben. Masyarakat Hindu meyakini bahwa melalui Kajang sang roh akan dapat sampai dengan selamat di alam kematian. Kajang seolah-olah sebagai Pasport yang mengantar sang roh dengan selamat sampai pada tujuan.
Tidak saja demikian, Kajang dipandang memiliki makna yang lebih. Kelebihannya, Kajang dipandang sebagai atribut sakral-magis yang dapat mengantarkan sang roh sampai pada alam para dewa. Dengan kata lain, Kajang akan dapat mengantarkan roh mencapai surga dan menyatu dengan Hyang Siwa di sunyaloka. Namun, hal yang demikian dipandang sebagai kekeliruan dalam memahami makna Kajang,sebab surga, neraka dan menyatunya seseorang ditentukan oleh pala karma pada saat ia hidup, baik di kehidupannya sekarang maupun terdahulu.


Memang secara kodrati, kita meyakini karmaphala sebagai hasil perbutan yang menentukan tempat sang roh akan kemana setelah kematian. Akan tetapi, dalam perspektif aksara hal tersebut sedikit akan berbeda. Sebab dalam Kajang ada beberapa jenis Aksara Suci yang mengandung kekuatan sakral-magis-mistik yang kemungkinan akan dapat melepaskan sang roh dari ikatakan panca maha bhuta hingga mencapai kelepasan dan moksa.
Aksara dalam Kajang bukanlah aksara sembarangan yang sekadar ditulis. Ada banyak Aksara Modre yang digunakan termasuk Aksara Rwa Bhineda yang sarat akan makna. Apapun jenis kajangnya, Aksara Rwa Bhineda ini selalu ada, dan letaknya harus benar-benar diperhatikan. Sebab salah menempatkan Aksara tersebut maka akan membawa efek yang tidak baik pada si penulis Kajang. Bahkan konon, akan memperpendek usia si penulis (cendek tuwuh). Aksara Rwa Bhineda atau Dwiaksara memiliki kedudukan penting dalam ilmu mistik di Bali, baik Pangiwan dan Penengen.Terlebih dalam ilmu kadyatmikan atau kelepasan, Aksara Rwa Bhineda merupakan benih aksara yang digunakan bagi mereka para pertapa sadhu untuk melepas Sang Atman dan manunggal dengan Sanghyang Paratmasiwa.
Aksara Rwabhineda atau Dwiaksara merupakan perasan aksara dari Dasaksara atu sepuluh aksara, yakni Sang, Bang, Tang, Aang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang dan Yang. Kesepuluh aksara diperas menjadi Pancaksara, yakni Sang, Bang, Tang, Ang, Ing yang disebut dengan Panca Brahma. Kemudian Pancaksara diperas lagi menjadi Triaksara, yakni Ang, Ung dan Mang. Kemudian Triaksara diperas menjadi Dwiaksara, yakni Ang dan Ah yang disebut aksara Rwabhineda. Aksara Rwabhineda, yakni Ang dan Ah selalu ditulis dalam Kajang sebagai simbolisasi kelepasan atau pembebasan sang roh dari belenggu Panca Mahabhuta dan semua kosa (lapisan badan) yang selama sebagai sarung sang roh.
Umumnya, dalam teks Tutur Kedyatmikan aksara Angdi Bhuwana Alit (dalam tubuh) berada di Nabi atau di Muladharacakra. Ia mewakili aspek “panas” atau api yang menyala di Nabi, sehingga dalam Aji Kelepasan, tubuh diibaratkan Kunda dan apinya adalah Agnirasya yang tetap menyala dalam diri manusia. Api inilah dihidupkan dengan mengafirmasi Aksara Ang sembari memutarnya dalam putaran prana dan pranayama, sehingga seseorang dapat memiliki energi gaib. Ang adalah simbolisasi energi vital manusia yang dapat memberikan kehidupan. Kemudian Aksara Ah di Bhuwana Alit ada pada Sahasra atau empat jari di atas ubun-ubun ia mewakili energi neutral sebagai kesejukan dan amritam kehidupan yang datang dari Siwobamya Siwa. Berdasarkan atas konsep tersebut, dalam teks bergenre Dyatmika Wisesa,struktur Aksara Ang dan Ah secara hierarki; Ang berada di bawah dan Ah berada di atas.
Namun aksara dalam Kajang sebagai kelepasan, Ang dan Ah ditulis terbalik, sehingga sering disebut dengan aksara mati. Aksara Ang tidak lagi ditempatkan pada bagian bawah, tetapi Ang berada di atas ubun-ubun dan Ah ditempatkan di bawah atau nabi. Semua jenis Kajang apapun akan dijumpai penempatan Dwiaksara yang sama dengan penempatan terbalik. Sebab aksara Rwabhineda dengan penempatan terbalik diyakini sebagai kekuatan melepas. Sebagaimana disebutkan dalam teks Tutur Bhuwana Mahbah, bahwa “mayoga sanghyang Śiwa Reka, mijil Sanghyang Aksara Ang kalawan Ah----wawu riwijil manusa lanang stri,…”, artinya ketika Sanghyang Siwa Reka bertapa lalu munculah aksara Ang dan Ah sebagai penyebab kelahiran manusia. Kemudian di teks yang sama juga menyebutkan bahwa kematian manusia juga ditandai dengan “perputaran” Aksara Ang dengan Ah menjadi Ah dan Ang sehingga terlepaslah Sanghyang Cili (baca: atma). Teks tersebut jelas menunjukan bahwa penempatan Aksara Ah dan Ang adalah penanda bahwa jiwa terlepas dari raganya. Olehnya para pertapa Sadhu yang mahir dalam ilmu kelepasan hanya menggunakan dua aksara ini sebagai “kata kunci” untuk ia mencapai kelepasan.
Lantas apakah penempatan Dwiaksara dengan benar dan tepat dalam Kajang akan dapat mengantarkan sang roh pada alam kematian hingga moksa? Dilihat dari perspektif makna lingusitik aksara sangat mungkin, mengingat aksara merupakan simbol yang memiliki kekuatan magis dan gaib.Terlebih mengacu kembali pada teks Rwa Bhineda Sastra bahwa Aksara Ang dan Ah merupakan perpaduan aksara yang berhubungan dengan Sakti sebagai kekuatan atau energi. Ketika seseorang dapat menempatkan Dwiaksara tersebut dengan benar, maka Saktibhava akan muncul sebagai kekuatan mencipta dan melebur. Hal tersebut tergantung jnana si penulis Kajang sesungguhnya untuk dapat ngurip aksara tersebut, meskipun nantinya Kajang akan diritualkan dengan prosesi sakralisasi atau pasupati.
Oleh karena itu, orang yang menulis Kajang adalah orang yang sudah melewati proses pawintenan dan belajar nyastra atas bimbingan guru (sulinggih). Hal terpenting selain berguru adalah mendapat anugerah dari Hyang Bhatari Durga. Kemudian sadhana laku tatkala menulis atau nyurat Kajang ada beberapa aturan yang harus dilakukan.Terpenting adalah ketika nyurat aksara biasanya aksara Ang dan Ah ditulis dengan penuh konsentrasi dan fokus pada Sakti sebagai manifestasi Durga Dewi. Kemudian, tattkala aksara tersebut ditulis, penulis Kajang hendaknya mampu menempatkan Ang pada dada, yakni tuntungin hati dan aksara Ah pada bungkahin lindah atau pangkal lidah, sehingga yang menulis Kajang dapat dinyatakan sebagai Manusa Sakti yang mendapatkan anugrah Dewi Durga untuk mengurai sang roh dari segala bentuk ikatan. Sebagaimana hal itu disebutkan dalam teks “…,pupusuh, mu, ring, ati. Ungsilan, mu, ring ampru. Tuntungin ati, mu, ring wiiting ati. Mawak Brahma, Wisnu, Iswara. Matemahan manusa Śakti , manusa Śakti ne, mawak Bhaṭāri , Ang, ring dadha, Ah, ring witing lidah, ya ta patemuang, ika atepang,------maka matunggalan maring Bhaṭāri  Durga,…”
Berdasarkan atas hal tersebut, Kajang akan menjadi berfungsi mistik, magis dan religius jika sesana nyurat dan jnana yang menyurat terasah dengan baik. Banyak yang tidak memahami hal tersebut, sehingga Kajang disurat tanpa terlebih dahulu mentransfer aksara Kajang ke dalam diri. Bebebera Kajang pun dibuat dengan sistem Sablonan dan dibuat dengan jumlah yang banyak, sehingga terkesan ada komodifikasi Kajang oleh beberapa oknum. Hal tersebut akan menghilangkan taksu Kajang dengan fungsinya sebagai media pelepasan. Sekali lagi aksara dalam Kajang sangatlah tenget dan salah menuliskannya berdampak pada kekuatan Kajang bukan lagi sebagai pelepas tetapi menyebabkan sang roh mengalami kesengsaraan di alam kematian.
Atas hal tersebut, himbauan saya bagi mereka yang memiliki kewajiban sebagai Sang Nyurat Kajang, baik Sulinggih, Jero Mangku dan yang pantas hendaknya terlebih dahulu memahami aksara modre dan sejenisnya. Sebelum Kajang kasurat (ditulis) dalam selembar kain kasa, terlebih dahulu ditulis dalam batin kita. Tempatkan Aksara Rwabhineda dengan baik dan benar serta dilatih agar benar-benar membatin dalam kemanunggalan. Pahami betul permainan aksara baik dalam pelukun aksara dan peringkesannya sehingga dapat menempatkan Kajang dalam diri menggantikan kerudung maya yang selama ini mengikat. Berfungsi dan tidaknya Kajang sangat tergantung pada orang yang Nyurat.
Ketut Sandika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar