Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 13 Agustus 2017

Nilai Religius Wilayah Hulu dalam Persefektif Hindu

Oleh  I Nyoman Tika

Konsepsi nilai Hindu terhadap lingkungan, pertiwi  disebut sebagai ibu, sedangkan langit adalah bapak.  Ayah dan Ibu nampak jelas bahwa konsepsi Hindu  sangat menjunjung nilai humanisme dan naturalisme. Humanisme merupakan jejak yang mengharkatkan tinggi pada manusia, sedangkan naturalisme mengapresiasi positif penghargaan pada alam. Atas dasar itu,  kedua dimensi itu menarik direnungi bahwa alam dan kemanusiaan memang saling berkaitan, dan keduanya bisa saling meniadakan.  Lalu manusia akan sadar, pada pernyataan bahwa  Apakah jika pohon terakhir akan ditebang, dan mata air terakhir berhenti mengalir, baru saat itulah manusia sadar bahwa uang tidak dapat dimakan dan diminum, sebuah ungkapan futuristik.

Di bingkai itulah kepribadian manusia ditantang untuk berperilaku positif. Pendekatan ini melihat kejadian yaitu, bagaimana dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan positif ini yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran humanisme biasanya menfokuskan pengajarannya pada pembangunan kemampuan yang positif. Kemampuan positif tersebut erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat dalam domain afektif. Emosi merupakan karateristik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanisme.
Pengendalian emosi sejalan dengan  konsepsi  Dana, Tapa, dan Yadnya dalam konsepsi Hindu untuk menapaki jejak kehidupan ini. Di bingkai itu nampaknya  Tuhan akan mencintai umatNya yang melestarikan lingkungan. Kunci kesehatan masyarakat terletak pada kelestarian lingkungannya.
Kesehatan  yang mengacu pada lingkungan merupakan salah satu sisi dimensi telaahan naturalisme  simetri dengan ajaran Hindu bahwa alam menjadi sebuah koridor altar Tuhan, sebagai wujud pelaksanaan Tri Hitakarana, harmonisasi antara manusia dengan alam. Bentuk haromonisasi itu  sejalan dengan aliran  naturalisme, yaitu nature (alam) sebagai keseluruhan realitas.  Lebih lanjut, natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam.
Dalam bingkai tersebut wilayah hulu sungai sejak dahulu memang menjadi kawasan suci bagi umat Hindu. Disana tempat melakukan penyucian dan tempat melukat  yang keduanya membutuhkan  niat dalam benak. Benak pikiran mengeluarkan vibrasi yang beresonansi menghasilkan vibrasi  yang diwujudkan dalam bentuk kristal, seperti risetnya keajaiban air oleh Masoro Emoto dari Jepang.
Wilayah hulu kerap dijaga oleh hak ulayat adat, sehingga  hutannya lebat dan juga panorama menarik menjadi incaran peminat spiritual untuk melakukan “nunas trita,” dan mencari vibrasi alam yang murni dan alami. Wilayah hulu menjadi wilayah yang sepi, cocok untuk melakukan  inisasi bagi yang ingin merasakan “wana prasta”, sebuah keinscayaan bagi semua orang. Sebab fase itu dilalui semua orang, dan dibutuhkan kesiapan mental.  Di wilayah hulu juga kerap menyimpan beragam kisah, karena perjalanan para orang suci, juga mengenang sebuah sejarah yang tergurat dalam beragam babad yang  diwariskan secara lisan turun temurun.
Di wilayah hulu Tukad Jinah dan Tukad Bubuh,  dikisahkan  bahwa  ketika terjadi perselisihan paham antara para raja yang berkuasa di Bali dengan berbagai intrik kerajaan. Sebuah intrik politik menerpa Dalem Tarukan, akibatnya beliau  menyingkir ke wilayah utara Desa Tarukan  menuju  wilayah pegunungan. Atas kesetiaan  Ki  Pasek Poh Tegeh itu beliau aman di wilayah itu yang juga didampingi oleh Dukuh Bunga dan Dukuh Pantunan. Beliau  aman membesarkan putra-putra beliau, yaitu  I Dewa Bagus Dharma, I Gusti Gede Sekar, I Gusti  Geda  Pulesari,  I Gusti Gede Bandem,  I Gusti Gede Balangan, I Gusti  Gede Dangin. Keberadaan beliau di wilayah hulu membuat  kondisi wilayah itu aman dan damai, dibarengi dengan kemampuan Ida Dalem melakukan kependetaan   dengan menyebarkan ajaran Weda. Antusiasme masyarakat di gunung dan hulu menaruh hormat yang luar biasa sampai saat  beliau mangkat. Upacara pelebon yang membuat antusias warga dusun banyak ngaturang   ayah dan inilah menyisakan uang kepeng,  nasi, dan beras, sehingga  kelebihan dan ada  hingga membusuk serta uang kepeng yang bertumpuk dan karatan.  Kelebiha  makanan  beras dan nasi  dibuang ke tukad sebelah barat (tukad Bubuh)  dan uang kepeng yang karatan di sebelah timur (tukad Yeh Jinah). Atas dua perlakuan itu, Dewi Laksmi (Sang Hyang Rambut Sedana) menangis dan mengutuk atas perbuatan itu.
Untuk menghilangkan kutukan itu, maka dilakukan mendak Raja Brana dengan rangkaian upacara ngenteg linggih di pura pusat pedharman Dalem Tarukan sekitar tahun 1975. Namun kini  para dadia juga banyak yang melakukan  “pemendakan  raja brana untuk  kalinggihang di masing-masing paibon.
Izinkan penulis berkisah pengalaman. Siang itu udara  masih terasa sejuk, walaupun sang surya pelan dan pasti merakak menuju ke atas kepala terasa. Mengingat kembali masa 40 an silam menuju  Pura Pulesari dengan berjalan kaki dari Desa Menanga. Kendaraan  hanya sampai di Menanga. Menuju Pura Pulasari di wilayah jalan Pulesari Desa Peninjoan  Bangli itu  memang tampak berbeda, sebab pemujaan acara ritual yang disebut  “Nunas Raja Brana“ dilakukan kembali. Kegiatan ini sudah pernah dilakukan sekitar di keluarga kami.  Dan, semacam mengecas baterai, demikianlah  alam pikir  keluarga dan warga masyarakat kebanyakan  bahwa prosesi nunas raja brana perlu dilakukan kembali serangkaian upacara pembangunan lumbung, maka kepada sang pemilik kekayaan, yaitu  Dewi Laksmi  perlu dilakukan setiap periode tertentu. Dan bagi para dadia di masih-masing keluarga juga kerap mengikuti upacara itu untuk ngalinggihang raja brana di masing-masing dadia, kemudian katunas ke masing-masing keluarga sebagai bentuk  subhakti  dan berjanji dengan tekad  penuh keyakinan untuk melakukan kegiatan kerja yang produktif  dan berjalan di jalan dharma. Menarik untuk dikisahkan selain juga untuk mengajak generasi penerus  ikut merasakan indahnya alam yang juga dibarengi dengan menumbuhkan keyakinan  bahwa  segala materi di alam ini  ada yang memiliki, dan itu adalah “sang Maha Agung”  yang  menjaga pelestarian lingkungan.
Kegiatan semacam ini menurut Dwivedi, seorang rofessor di Department of Political Studies, University of Guelph, Canada,  dan Department of Environment, India  bahwa etika lingkungan yang mendalam, dilestarikan  dan terus digalakkan dari konsepsi Hindu, yaitu  Satyagraha (Pencarian terus-menerus kebenaran). Hinduisme berpegang pada semua kehidupan adalah suci. Kedua,  selama ribuan tahun dipraktikkan pertanian berkelanjutan dengan prinsip  anti kekerasan (Ahimsa) terhadap hewan dan alam. Dwivedi berpendapat bahwa di dalam ratusan tahun terakhir Satyagraha kehilangan banyak efektivitasnya, namun perlu direvitalisasi. Om nama siwa ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar