Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 16 Juni 2017

Sapi sebagai Korban Suci

Oleh I Made Sudana

Sapi adalah binatang suci  menurut ajaran agama Hindu, sehingga daging sapi pada umumnya tidak dikonsumsi oleh umat Hindu di seluruh dunia.Sapi memberi susu, ia dicintai dan dihormati oleh umat Hindu bagaikan seorang ibu. Menurut Weda ada tujuh ibu, satu di antaranya adalah sapi itu sendiri. Sementara itu kerbau dianggap sebagai seorang ayah. Oleh karena itu sapid an kerbau dihormati dan dicintai, bukannya dibunuh untuk dimakan dagingnya.
Dalam Regveda 1.114.8 diuraikan pada pokoknya antara lain, jangan mengganggu sapid an jangan membunuh sapi. Dan dalam Atharvaveda X.1.29 diuraikan antara lain jangan membunuh manusia dan binatang bermanfaat (termasuk sapi). Sedangkan di Bali sendiri ada petunjuk bahwa  ada kepercayaan sapi sebagai binatang suci dan diantaranya ditunjukkan oleh perilaku saat berjalan tidak berani melangkahi tali sapi.
Dalam agama Hindu sapi ditunjukkan dengan tiga nama, yaitu Agnya, Ahi, dan Aditi. Ketiganya itu tidakboleh dibunuh, disembelih, dan dimakan. Kalau mati disarankan untuk menanam disertai yajna dan doa, atau dibakar disertai sekadar juga ucapan terima kasih bahwa selama hidupnya telah membantu dan menghidupi umat. Dalam agama Hindu juga disebutkan, apabila sapi dibiarkan mati secara wajar, maka dalam oenjelmaannya nanti, maka ia akan lahir menjadi manusia yang lebih saleh dan dermawan serta tekun dalam ketuhanan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas akhirnya timbul sejumlah pertanyaan yang kiranya dapat dijelaskan oleh tokoh-tokoh agama Hindu di Bali dan para orang suci dengan catatan bahwa penulis adalah pemula Apara Bhakti dalam agama Hindu dan dalam pelaksanaan yadnya dalam arti kata, ritual masih mengiktui keluarga di desa dengan landasan pemikiran gugon tuwon atau mulo keto.
Adapun pertanyaan-pertanyaan penulis tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, mengapa sapi juga dipergunakan sebagai korban suci, bukankah sapi-sapi tersebut dalam penjelmaannya kemudian bila dibiarkan mati wajar akan lahir menjadi manusia saleh dan dermawan serta tekun dalam ketuhanan. Kedua, umat Hindu sedunia umumnya tidak mengonsumsi daging sapi, mengapa dalam hal ini khususnya di Bali terjadi sebaliknya, justeru kebanyakan umat Hindu makan daging sapi, demikian pula tukang potong sapi banyak merupakan orang-orang Bali (Hindu). Apakah makan daging tersebut tidak bertentangan dengan ahimsa. Demikian juga dalam  Manawa Dharma sastra Buku V, sloka 44-56 menjelaskan tentang larangan tentang makan daging serta akibatnya.  Demikian juga dalam Sarasamuccaya 136-148 menguraikan tentang ajaran Ahimsa, yaitu tidak menyakiti dan membunuh makhluk hidup. Ketiga, dalam Manawa Dharma Sastra adyaya V.31 dinyatakan merupakan suatu kewajaran menggunakan untuk upacara yadnya, tetapi kalau daging dipergunakan diluar keperluan itu merupakan aturan raksasa. Dalam sloka 37 adyaya yang sama disebutkan penggunaan bhewan itu juga dapat dibuat secara simbolis dari susu, mentega dan dari tepung. Silahkan pilih salah satu dari cara tersebut. Dengan adanya pergantian bahan upacara korban suci dari daging, ikan, telor tersebut dapat diganti dengan susu, mentega, dan tepung, maka disini muncul permasalahan menyangkut sosialisasinya agar dapat diterima masyarakat.  Apa tentang  sudah ada  tindakan dari pihak yang berwenang, seperti Parisada untuk melakukan sosialisasi tentang hal tersebut. 
Hal ini dipertanyakan karena sampai kini boleh dibilang bagi masyarakat maupun perorangan yang hendak melakukan persembahyangan dengan sarana tanpa hewan tidaklah mudah untuk mendapatkan sulinggih yang bersedia muput upacara tersebut. 
 Penggantian sarana hewan tersebut kiranya mempunyai dampak positif dari segi penyederhanaan upacara yadnya, karena tidak perlu lagi mempergunakan hewan sebagai korban suci. Di samping itu penggantian hewan kurban tersebut dengan tepung, susu, maupun mentega akan mendorong seniman-seniman Hindu untuk berkreasi merekayasa bentuk-bentuk hewan dimaksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar