Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 06 Juni 2017

Menjadi Pendeta yang Nirasraya

Oleh Damuh Karuna Putra
Seorang pendeta adalah pemimpin umat, karena itu dia juga berfungsi sebagai ‘guru’ masyarakat. Dia yang disebut pendeta sebagaimana digambarkan dalam kekawin Dharma Sunya karangan Danghyang Nirartha yang diberi ulasan oleh I Gusti Bagus Sugriwa (1989).
Ambek san wiku siddha tan pakahinan tumutuga ri kamurtinintaya
Tan linggar humenen licin mamepekin bhuwana sahananin jagat traya
Nora n lor kidulin kidul telas ane sua juga pamekas nirasraya
Kewat kewala sunya nirbana lenon luput ananen-anen winarna ya

Artinya:
Batin orang yang telah bergelar pendeta makbul tidak berbatas. Langsung ke hadapan alam gaib yang tinggi. Batinnya tidak terpencar lagi, tenang sentosa, sangat halus memenuhi segala pelosok alam. Tidak ada pula sebutan utara atau selatan, telah ada padanya semua, inilah akhir akibat nirasraya, berbadan sunya nirbana, sangat nikmat damai puas, susah dipikirkan dan menggambarkannya.
Di sini dinyatakan bagaimanakah keadaan orang yang telah patut disebut atau diberi gelar pendeta menurut ajaran Hindu Bali. Orang yang berhak disebut pendeta itu ialah orang yang batinnya telah suci bersih, tenang hening, tidak gelisah memikirkan kekayaan dunia, tidak gelisah karena keinginan kedudukan pangkat, tidak gelisah ingin menjajah kawan dan lain-lain yang bersifat menguntungkan diri sendiri. Jiwanya telah besar berkuasa memasuki sunya taya, manunggal dengan Tuhan yang ada di mana-mana, yang ada di utara di selatan, yang ada di seluruh tri bhuwana (alam bawah, tengah dan atas). Orang yang demikian disebut nirasraya.
Arti pokok kata nirasraya itu ialah tidak perlu bantuan dari dunia luar untuk mencapai kebahagiaannya. Ia dapat menikmati bahagia itu dengan jalan nirbana. Di alam nirbana ia akan menikmati pemandangan-pemandangan indah yang sangat lebih indah dari keindahan dunia yang seindah-indahnya. Di sana ia dapat mendengar bunyi-bunyian yang indah dan suci getaran suaranya dengan irama yang merayu menggugah kebahagiaan jiwa. Orang nirasraya itu  menguasai batin damai, mahardika, paramartha, dhama dan nresangsya, cinta dan belas kasihan kepada masyarakat dan bangsanya yang sepanjang hidupnya.
R.M.Ng. Prof. Dr. Poerbatjaraka dan Dr. Soewito Santoso dalam “Nirartha Prakreta” Pupuh X-3 disebutkan:
Apan prajna suluh san yatiwara masawan bahni candrarka dipta
Rin wahyadhyatmika ri angga rinadinanira n satru yanken peteng sok
Dhwasteka nan tamahnin hati sahananikan papa len klesa sirna
Lila lilan panicchen bhuwana tekapikan jnana saktyaniwarya
Artinya:
Karena ilmunya yang tinggi, sang pendeta menjadi suluh, laksana api yang bercahaya seperti matahari dan bulan. Dengan kebesaran jiwa yang keluar dari dirinya, dikalahkannya musuhnya yang seperti kegelapan yang gulita. Hilanglah kemurkaan (tamah) hati segala orang yang berdosa dan musnahlah kecemaran mereka.  Dengan baiknya dibuatnya dunia bahagia dengan ilmunya yang sakti luar biasa.
Manawa Dharmasastra menyebutkan:
Ewamacaratodrtwa
Dharmasya manuyo gatim
Sarwasya tapaso mulam
Acaram jagṛhuḥ param
Artinya:
Para pendeta (Pertapa) yang mengetahui (melihat) bahwa hukum-hukum  peraturan suci didasari oleh peraturan tingkah laku, menetapkan bahwa perbuatan baik adalah yang akan paling baik dari semua tapa brata. (Manawa Dharmasastra I. 110).
Danghyang Siddhimantra adalah seorang pendeta yang tahu aturan-aturan hidup menjadi orang suci. Dengan pengetahuan akan aturan tersebut, ia kemudian dapat membuat keputusan terhadap suatu hal yang berkaitan dengan kesucian. Demikianlah pada kenyataannya, bahwa siapa yang mengetahui sebuah aturan, maka ia dapat membuat suatu keputusan tegas terhadap tindakan apa yang akan dilakukan oleh dirinya sendiri. Dan jika yang bersangkutan memiliki otoritas (kekuasaan) untuk mengawasi pihak lain-sebagai penguasa- maka penguasaan tentang suatu peraturan akan menuntunnya untuk mengambil keputusan tegas terhadap suatu perkara. Lantas bagaimana hubungannya dengan Danghyang Siddhimantra?


Hakikat inti tapa brata  terletak pada keunggulan perilaku. Sehebat-hebatnya spiritual, tapa brata, agama dan sejenisnya, maka ia baru akan memiliki fungsi dan makna bila penganutnya menunjukkan perilaku yang baik. Karena itulah kitab-kita suci memberi petunjuk, agar sisya spiritual  mengupayakan sedemikian rupa, agar dapat berperilaku baik dengan bergaul di lingkungan suci atau berada dalam pengawasan Guru suci. Hal itu untuk memastikan seseorang tidak rusak watak dan tabiatnya akibat dipengaruhi oleh pergaulan, sebagaimana dilukiskan dalam kidung  Nirartha Prakreta berikut ini:
Pupuh I No. 5
Rin prajnadhika mitranin suka lawan swargatidiwyenusir
Yan rin durgati duhka mitranikihen sthiraniket tan kasah
Yan rin buddhi mahaprakopa taya len tan papa mitraniwo
Ndah yekin tri pamitra-sancaya gegon tekan sayogyalapen

Artinya:
Orang yang unggul  dalam ilmu pengetahuan adalah teman daripada kebahagiaan dan akan pergi ke sorga yang amat tinggi.
Orang yang berhati jahat adalah teman dari kedukaan yang sangat kuat menyekatnya dan tak dapat dipisahkan.
Orang yang sangat berhati angkara tiada lain dosalah temannya yang dimanja-manja.
Inilah ketiga golongan  teman. Pilihlah yang sebaik-baiknya dan ambillah.

Pupuh I No. 6.
Sanksepanya lana prihen pinaka mitra sadhu çantakreti
Lawan haywaminitra tan kujana durtawas maweh wadhaka
Ton tan hansa mamitra wayasa sagotranyan wiçirnapejah
Ndah manka jana durwiweka tumemu ṅ wighna nda tanpopama  
Artinya:
Ringkasnya, usahakanlah senantiasa bertemankan orang yang baik budi bahasa dan sabar hati,
Dan janganlah berteman dengan orang jahat dan tak dapat dipercaya, (karena) pasti akan membawa bencana.
Lihatlah si angsa yang berteman dengan burung gagak, seluruh keluarganya habis mati.
Demikianlah orang yang tidak berhati-hati akan menemui bencana yang tak terhingga.
(R.M.Ng. Prof. Dr. Poerbatjaraka dan Dr. Soewito Santosa, 1999).

Pikiran manusia sangat dipengaruhi oleh pekerjaan Panca Indra. Karena itu, bau-bauan tertentu, pemandangan yang tengah disaksikan oleh mata, bunyi-bunyian, rasa yang dikecapi lidah serta sentuhan yang diterima kulit berpengaruh terhadap emosi setiap orang. Misalnya, jenis bau-bauan harum denga aroma tertentu  seperti aroma cendana, majegau, tulsi dan sebagainya dapat membangkitkan gairah devosi atau bhakti. Karenanya, manakala orang-orang Hindu hendak melakukan aktifitas pemujaan, maka akan disertai membakar dupa maupun pasepan (kayu-kayu wangi kering). Semuanya itu untuk membantu emosi (mental) berada dalah situasi tertentu yang mendukung gairah devosi (bhakti) semakin kuat, sehingga persembahyangan menjadi lebih khusuk.
Tidaklah jauh berbeda dengan pengaruh bunyi maupun penglihatan. Melihat pemandangan indah, hamparan sawah menghijau maupun pohon-pohon rimbun akan atau birunya permukaan air laut menjadikan hati tenteram dan damai. Inilah pula salah satu alasan, mengapa para tetua Bali tempo dulu membangun pura di gunung yang masih asri dan hijau dengan pepohonan aneka warna atau membangun pura di tepi pantai dengan pemandangan mata yang lapang. Bandingkanlah misalnya, bila bersembahyang di pura yang berada di tengah keramaian kota, maka jelas berbeda kadar kenikmatannya. Semua ini semata-mata disebabkan oleh perbedaan informasi maupun rekaman data yang diterima panca indra untuk diteruskan kepada pikiran. Pendeka kata, lingkungan yang baik dan sehat akan memelihara kualitas mental seseorang.
Tayangan kekerasan di televisi yang disiarkan secara massif dan berulang-ulang lambat laun akan mengisi memori penontonnya, betapa pun kuatnya penonton itu berusaha menyingkirkan pengaruh tayangan itu. Reaksinya mungkin tidak dalam waktu dekat, tetapi dalam jangka panjang yang bersangkutan akan mengalami gangguan kenyamanan. Bila memori seseorang semakin banyak terisi gambaran-gambaran buruk seperti itu, maka suatu saat rekaman memori itu bisa terekspresi keluar dalam bentuk kemarahan atau mimpi buruk. Karena itulah para psikolog modern telah memberikan suatu nasihatnya yang baik untuk menjauhkan anak-anak dari tayangan kekerasan di televisi.
Dalam kitab suci ada ditemukan istilah “Pergaulan Suci”  yaitu suatu komitmen dan disiplin bagi orang-orang yang ingin meningkatkan kesuciannya untuk bergaul di lingkungan kesucian. Kesucian itu termasuk bergaul dengan orang-orang suci, berada di lingkungan yang bercitrakan kesucian, melihat tingkah laku orang-orang yang mencerminkan praktik kebaikan, mendengarkan kata-kata lembut-jujur maupun musik yang menggugah ketenteraman dan sebagainya. Sebagaimana disebutkan kidung di atas, pergaulan seseorang akan cepat mengubah karakter seseorang, sehingga betapa bahayanya jika kita berada di lingkungan yang kurang sehat, baik secara fisik maupun psikologis.
Dengan alasan ini, Mpu Kuturan pada abad X membentuk desa pakraman, di mana di desa pakraman didirikan Kahyangan Tiga, agar masyarakatnya berada dan hidup dalam aktifitas kesucian. Bayangkanlah perbedaannya, misalnya di sebuah desa di Timur Tengah yang tengah dilanda peperangan antar kelompok,  maka tentu sejak anak-anak mereka yang berada di lingkungan tersebut akan mengembangkan dan mengasah naluri permusuhan dan hidup dalam jiwa yang tegang saban waktu. Pergaulan (lingkungan) sangat mempengaruhi karakter seseorang.
Sebagaimana Bhagavadgita II. 60.
Yatato hy api kaunteya
Purushasya vipaschitah
Indriyani pramathini
Haranti prasabham manah
Artinya;
Walaupun ia  adalah seorang budiman
Telah berusaha sekuat tenaga, Kuntiputra
Namun panca indranya yang liar
Akan menyeret jiwanya dengan paksa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar