Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 16 Juni 2017

Made Raka Santeri dan Made Titib Menjadi Sulinggih

Dua cendekiawan Hindu pada hari yang sama, Jumat 26 Mei lalu, menapaki dunia spiritual dengan menjalani diksa pandita. Mereka adalah Made Raka  Santeri, S.Ag, M.Ag, mantan wartawan Harian Kompas Jakarta. Satu lagi adalah Prof. Dr. Made Titib, mantan Rektor Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Made Raka Santeri langsung menjadi pandita dengan bhiseka Ida Rsi Bujangga Waisnawa Waskita Sari. Ada pun Made Titib masih menjalani proses sebagai Ida Bhawati sebelum dikukuhkan sebagai pendeta sebagaimana ciri perguruan Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi.

Made Raka Santeri, kini 76 tahun, didiksa menjadi sulinggih Ida Rsi Bujangga Waisnawa Oka Widnyana dari Griya Ubung (nabe napak), Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Sara Sri Satya Jyoti dari Griya Dharma Santi, Sesetan (nabe waktra) dan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Bhuwana (nabe saksi). Upacara pediksan dilakukan di Banjar Buni Jalan Imam Bonjol Denpasar. Sedangkan Made Titib didiksa oleh Ida Pandita Mpu Jayanti (nabe napak), Ida Pandita Mpu Jaya Putra Pemuteran (nabe waktra) dan Ida Pandita Mpu Sinuhun (nabe saksi) bertempat di Desa Muncan, Kabupaten Karangasem.
Yang menarik keduanya menyatakan lebih fokus pada memberi pencerahan dan siraman rohani kepada umat Hindu, bukan sekedar muput yadnya. Apalagi Ida Rsi Bujangga menyebutkan karena usianya sudah tak kuat jika fokus pada upacara ritual. Bahkan Ida Rsi Bujangga ini menyebutkan, ia tidak hanya akan melakukan pengabdian kepada umat Hindu saja, namun juga kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan toleransi dan cinta damai dalam beragama.
“Untuk itu kami akan mengangkat kembali tesis yang sudah pernah kami buat mengenai persamaan-persamaan agama Hindu dan Islam yang ada di Desa Kepaon, Denpasar Selatan,” ujar Ida Rsi Bujangga yang sempat menyelesaikan pendidikan program magister (S-2) di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar.


Ida Rsi Bujangga menambahkan, karena pihaknya berlatar belakang sebagai wartawan dan penulis akan tetap melanjutkan kemampuannya, namun kini fokus tulisannya mengenai upaya peningkatakan kualitas rohani dan spiritual masyarakat khususnya untuk kepentingan umat Hindu. Ini sebagai sebagai bentuk implementasi seorang sulinggih dalam memberikan dan membagikan ilmu pengetahuannya sebagai salah satu bentuk yadnya atau korban suci.
Pada kesempatan itu Ida Rsi Bujangga juga mengimbau kepada masyarakat agar melakukan yadnya selalu mengutamakan ketulusan dan penuh syukur. “Kami sebagai sulinggih juga belajar menyerahkan sepenuhnya jiwa dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga mampu menjalankan kewajiban dengan baik,” ujarnya.

Sementara itu Ida Bhawati Made Titib menyebutkan akan tetap memberikan pencerahan agama baik lewat dharma wacana (ceramah), dharma tula (diskusi) maupun lewat tulisan. Pakar Weda ini menyebutkan tertantang dengan bidang pencerahan itu karena umat dirasakan sangat memerlukan. Ini sebagai tantangan di era globalisasi agar umat bisa melaksanakan yadnya sebagai mana yang digariskan dalam kitab Weda, tidak berdasarkan tradisi yang mungkin saja menyimpang dari kita suci Weda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar