Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 25 Maret 2017

Mewujudkan Bhutahita dan Jagadhita

I Nyoman Agus Sudipta, S.Pd.,M.Si.

Manusia mengalami tantangan yang semakin berat, lebih-lebih dalam perkembangan kehidupan yang semakin modern mengantarkan manusia pada kehidupan yang semakin pragmatis. Banyak tuntutan dan kebutuhan hidup yang semakin kompleks membuat manusia semakin sulit mewujudkan hidup yang sejahtera dan bahagia. Manusia mengabaikan segala bentuk aturan maupun ajaran hidup yang bersumber pada agama.
Degradasi moral semakin menjadi, sehingga manusia terkadang mengutamakan kepentingan pribadi, bahkan masalah urusan perut menjadi prioritas utama. Untuk mampu mewujudkan prioritas utama tersebut kaidah-kaidah dalam hidup dilanggar, sehingga menimbulkan penderitaan dan kehancuran.
Menghadapi perkembangan zaman yang semakin mengglobal manusia seolah-olah larut dalam hingar-bingar pesta kehidupan yang semu. Manusia selalu mengejar hal-hal yang bersifat materi dan lupa terhadap kewajiban (swadharma) hidup. Manusia telah lupa melaksanakan ajaran Dharma (kebenaran) dalam mencari Artha (harta benda) untuk mengisi Kama (keinginan) dan mencapai tujuan hidup yang utama, yaitu Moksa (kebebasan) sesuai ajaran Catur Purusartha. Tujuan hidup inilah yang terabaikan, sehingga manusia cenderung sengsara dan menderita dalam hidup ini. Manusia tenggelam dalam arus suka dan duka yang menggelapkan hati nurani serta miskin ajaran rohani. Hal-hal yang bersifat materi dengan mengedepankan suka atau kesenangan semu, sesungguhnya adalah duka yang tersembunyi.


Dalam Bhagawad Gita II.15 disebutkan: Sama duhkhasukham dhiram, maknanya adalah seimbang dan teguhkanlah diri menghadapi gejolak senang dan sedih. Fluktuasi senang dan sedih pada zaman Kali ini semakin tajam, terutama bagi mereka yang lemah spiritualnya. Membangun sikap hidup yang bijaksana amat sulit kalau masih keadaan diri dikelabui oleh kuatnya gejolak suka dan duka. Kuatnya ikatan suka dan duka di zaman Kali yang semakin tajam dan meningkat menyebabkan manusia sulit mewujudkan harmonisasi kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang. Bahkan moralitas manusia semakin rendah dengan gejolak hidup yang dipengaruhi suka dan duka, sehingga manusia dituntut untuk mampu bersikap bijaksana dalam menghadapi perkembangan zaman dalam upaya mewujudkan harmonisasi kehidupan. Mampu bersikap secara luhur dan manusiawi terutama dalam menata kehidupan secara vertikal dan horizontal. Meningkatkan rasa sradha dan bhakti serta kepedulian terhadap sesama maupun dalam menjaga alam lingkungan. Jangan sampai manusia mengabaikan hakikat luhur untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis secara sekala dan niskala.
Upaya dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan dapat dilaksanakan melalui pelaksaan yadnya. Dalam kitab Bhagawad Gita. III. 10, disebutkan bahwa yadnya-lah yang menjadi dasar hubungan antara manusia (Praja) dengan Tuhan Yang Maha Esa (Prajapati), dan dengan alam (Kamadhuk) dalam wujud bhakti yang tulus penuh kasih sayang. Konsep ini yang mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parhyangan), manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Harmonisasi hubungan ini mampu dipelihara melalui pelaksanaan yadnya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga bila manusia ingin sejahtera dan bahagia, maka lakukanlah yadnya sebagai bentuk dari kewajiban (swadharma) menuju Bhutahita dan Jagadhita.
Konsep Bhutahita disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya 135 bahwa untuk menegakkan tujuan hidup mendapatkan Dharma, Artha, Kama dan Moksa terlebih dahulu wajib melakukan Bhutahita, yang berarti menyejahterakan lingkungan alam. Bila manusia ingin mewujudkan kebahagiaan dalam hidup ini, maka manusia wajib menyejahterakan alam dan isinya terlebih dahulu. Keharmonisan dan keseimbangan antara manusia dengan alam merupakan wujud dari implementasi konsep Tri Hita Karana, yaitu Sukerta Tata Palemahan. Wujud dari pencapaian Sukerta Tata Palemahan dilaksanakan melalui pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya. Manusia dan alam saling bersinergi melalui pelaksanaan Bhuta Yadnya, yaitu dari yang terkecil dalam bentuk pelaksanaan ngejot (masaiban), masegeh, macaru, tawur dan upacara yang tingkatannya lebih tinggi sebagai tujuan mewujudkan Bhutahita. Hakikat utama dalam mewujudkan Bhutahita adalah perwujudan dari makna upacara Bhuta Yadnya, yaitu untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat, agar tumbuh kesadaran untuk melestarikan kesejahteraan alam. Penanaman nilai-nilai spiritual tersebut diwujudkan melalui perilaku kongkrit dengan mengadakan penghijauan (reboisasi), tidak melakukan illegal loging, membuang sampah pada tempatnya dan memanfaatkan segala isi alam dengan bijaksana.
Dalam Lontar Puraṇa Bali disebutkan bahwa untuk mewujudkan Bhutahita dan Jagadhita perlu berpegang pada Sad Kerthi sebagai aktualisasi konsep Tri Hita Karana yaitu Atma Kerthi, Jana Kerthi, Jagat Kerthi, Samudra Kerthi, Wana Kerthi dan Danu Kerthi. Penerapan Sad Kerthi dalam mewujudkan harmonisasi kehidupan menuju Bhutahita dan Jagahita perlu dilaksanakan sebagai upaya mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Sad Kerthi dalam mewujudkan Bhutahita dan Jagadhita dilakukan dengan pelaksanaan: Pertama,  Atma Kerthi, yaitu suatu upaya untuk melakukan pelestarian dan menyucikan Sang Hyang Atma dari belenggu Tri Guna dengan melakukan usaha untuk melindungi, memelihara dan memfungsikan berbagai kawasan tempat dan kegiatan suci sebagai sarana untuk menyucikan diri (Atman) dengan melaksanakan upacara penyucian Atman melalui ngaben, mamukur dan nuntun; Kedua, Samudra Kertih, yaitu upaya untuk menjaga kelestarian samudra sebagai sumber alam yang memiliki fungsi sangat kompleks dalam kehidupan umat manusia dengan melaksanakan upacara penyucian dan peleburan seperti nanggluk merana, melasti, menghanyutkan abu jenazah; Ketiga, Wana Kerthi, yaitu upaya untuk melestarikan hutan yang umumnya dibangun Pura Alas Angker untuk menjaga kelestarian hutan secara niskala dengan menjaga kelestarian hutan dan tumbuh-tumbuhan melalui upacara Tumpek Wariga; Keempat, Danu Kerthi, yaitu upaya untuk menjaga kelestarian sumber-sumber air tawar di daratan seperti mata air danau, sungai dan lain-lain dengan melaksanakan upacara pakelem dan malasti; Kelima,  Jagat Kerthi, yaitu upaya untuk melestarikan keharmonisan sosial yang dinamis dengan tujuan mewujudkan masyarakat Jagadhita yang dapat hidup aman (raksanam) dan makmur (daanam); Keenam,  Jana Kerthi, yaitu membangun kualitas manusia secara individu dengan membangun semua unsur yang ada dalam diri manusia, yaitu membangun dari jasmaninya, kecerdasan pikirannya dan kesadaran budhinya.
Pada hakikatnya bila Sad Kerthi mampu diwujudkan dalam hidup ini pastinya harmonisasi kehidupan akan terwujud. Kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang secara vertikal dan horizontal berlandaskan konsep filosofi Tri Hita Karana mampu mengantarkan manusia menuju pada Bhutahita dan Jagadhita. Tujuan tersebut mampu tercapai apabila penerapan dari Sad Kerthi yang dimulai dari Jana Kerthi dengan membangun manusia yang berkualitas, maka Atma Kerthi, Samudra Kerthi, Wana Kerthi, Danu Kerthi dan Jagat Kerthi mampu terwujud. Imflikasinya adalah melalui Atma Kerthi dibangun lingkungan rohani yang spiritual dengan penyucian Atma dari segala pengaruh negatif. Samudra Kerthi, Wana Kerthi, dan Danu Kerthi diwujudkan melalui pembangunan lingkungan alam yang nyaman, lestari dan indah. Sedangkan Jagat Kerthi diwujudkan melalui pembangunan lingkungan sosial masyarakat yang aman, tentram dan damai. Sinergi dari lingkungan rohani yang spiritual, lingkungan alam yang nyaman, lestari dan indah serta lingkungan sosial masyarakat yang aman, tentram dan damai inilah sebagai dasar dari terwujudnya harmonisasi kehidupan menuju Bhutahita dan Jagadhita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar