Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 25 Maret 2017

Membatinkan Agama (Dari Seminar Agama dan Budaya)

Bali semenjak dari masa lampau sudah menjadi pusat studi kebudayaan. Hal tersebut berangkat dari banyaknya tradisi, seni budaya di mana Hindu menjadi spiritnya. Terlebih Bali dari dulu memiliki daya tarik tersendiri, dan daya eksotik yang kuat sehingga sangat layak Bali dijadikan pusat peradaban budaya. Tradisi, seni dan budaya tersebut hingga kini tetap bertahan di balik gegap gempitanya arus glokalisasi.
Namun Bali kini memiliki permasalahan yang kompleks, dan dituntut upaya dari generasi muda Bali untuk tetap membangun perbentengan rohani dan budaya. Apalagi Bali dikenal memiliki beragam kasanah ilmu spiritualitas dan kebatinan yang tinggi, sehingga Bali metaksu. Pertanyaannya, “bisa tidak generasi muda Bali gigih dan tangguh bertahan dalam menghadapi ekonomi global, sebagaimana mereka mempertahankan seni dan budaya dalam aras-aras perdaban agar tetap metaksu?”.


Demikianlah sepenggal sambutan ketua Peradah Indonesia Denpasar mengawali seminar agama dan budaya pada hari Sabtu 18 Pebruari 2017 bertempat di gedung aula Utama Graha Sewaka Dharma, Denpasar. Adapun seminar tersebut digawangi oleh DPK Peradah Indonesia Denpasar serangkaian HUT Pemkot Denpasar ke-299 dan HUT Peradah Indonesia ke-33. Seminar dimulai pada pukul 09.00 wita yang diawali dengan registrasi  peserta dari kalangan akademisi, praktisi, umum dan beberapa seniman juga hadir. Jumlah peserta yang hadir membludak, memunuhi aula Utama Graha Sewaka Dharma. Mereka sangat antusias mengikuti seminar dengan tema yang menarik untuk diketahui dan dipahami, yakni “Mengupas Misteri Ilmu Kebatinan Dalam Kearifan Lokal Bali”. Adapun sebagai narasumber pada seminar tersebut adalah pertama Ida Pandita Dukuh Acarya Dhaksa dari pedukuhan Samiaga, kedua Ida Pandita Dukuh Celagi Dhaksa Dharma Kerti dan seorang praktisi Calonarang, Komang Indra Wairawan dari Gases Bali.
Sebagai narasumber pertama, Ida Pandita Dukuh Acarya Dhaksa menyampaikan materi yang menarik berkenaan dengan kebatinan dan spiritualitas sebagai dua hal yang berbeda. Ida Dukuh juga mengkritisi fenomena sekarang banyak pelaku melakoni spiritualitas hanya dalam tatanan seremonial, dan hanya sebatas euforia semata. Sebenarnya dan sesungguhnya spiritualitas harus kembali ke dalam diri, imbuh Ida Dukuh. Oleh karena itu, spiritualitas harus didasari oleh beberapa hal menurut Ida Dukuh agar bisa membantin. Pertama, rasa takut harus dihilangkan sebab rasa takut sebagai penghalang diri dalam menemukan realitas diri. Kedua, adalah memberi dengan ketulusan, sebab sastra Weda menyebutkan manava seva is madava seva melayani orang melayani Tuhan. Memberi hendaknya didasari dengan rasa ketulus iklasan (lascarya), karena memberi adalah nafas hidup orang Bali. Ketiga, spiritualitas harus didasari dengan rendah hati, dan melakukan pencarian ke dalam diri. Oleh karena itu, spiritualitas jangan hanya teori tetapi harus dilakoni, dan spiritual bukanlah sesuatu yang rumit, tegas Ida Dukuh. Selanjutnya Ida Dukuh juga menyampaikan bahwa spiritualitas bukan bertujuan mencari kesaktian tetapi mencari menemukan pencerahan. Olehnya Ida Dukuh berpesan, bahawa sesmua harus didasari oleh bhakti yang tinggi.
Setelah Ida Dukuh menyampaikan materinya berkenaan dengan ilmu kebatinan, maka dilanjutkan dengan sesi diskusi. Penanya menanyakan  relasi agama dengan ilmu kebatinan, dan Ida menjawab bahwa tidak semua agama dapat dikatakan sebagai Ilmu Kebatinan. Kebatinan tidak sama dengan spiritualitas dan disini membutuhkan guru dalam menyikapi semua itu. Dengan dmikian, kearifan penyikapan merupakan hal yang penting dalam kepasrahan, jawab Ida Dukuh. Agama berbeda dengan kebathinan, tetapi berhubungan sangat kuat. Agama harus dibatinkan agar tidak beragama luaran, sebaliknya kebatinan akan dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam melakoni agamanya dengan baik.
Materi Ida Dukuh Acarya Dhaksa sangat menarik, dan secara substantif beliau berusaha membawa pikiran kita, bahwa kebatinan dan spiritualitas adalah sesuatu yang “mudah” bukan rumit, tetapi sangat susah direalisasikan. Saking menariknya pemaparan Ida Dukuh, tidak terasa sang kala waktu bergerak hingga waktu menunjukkan jam 11 siang, dan materi dilanjutkan oleh pemateri kedua, yakni Ida Pandita Dukuh Celagi Dhaksa Dharma Kerti. Beliau menyampaikan materi dengan judul “Tantra Bhairawa dalam Kearifan Lokal Bali.”
Ida Dukuh Celagi membabarkan secara historikal berkenaan dengan masab Bhairawa yang berkembang di India sampai ke Tibet. Awalnya Ida Dukuh Celagi berkiblat pada Bhairawa Tibet, tetapi pada akhirnya mengikuti Bhairawa Paksa yang di Bali yang merupakan sempalan dari Tantra Bima Sakti. Di Bali sendiri, menurut Ida Dukuh Celagi berkembang aliran Tantra Bima Sakti, dan sebagai bukti aliran itu eksis di Bali dapat dilihat dari penggunaan segehan, pecaruan dan semacamnya. “Sesungguhnya esensi ajaran Bhairawa adalah cinta kasih, bukan ajaran yang menakutkan”, kata Ida Dukuh Celagi. Menurutnya, di Bali sudah ada panduan teks Bhairawa, yakni teks lontar Candra Bherawa karya Ida Pedanda Made Sidemen yang menurut Ida Dukuh Celagi menyiratkan ajaran karuna atau prema tantrika, yakni mencintai dengan cara Tantra.
Selanjutnya Ida Dukuh Celagi menjelaskan pula tentang penggunaan atribut Tantrisme yang identik dengan kematian. Selanjutnya beliau menyinggung masalah ngerehang yang lumrah di Bali masih identik dengan hal-hal yang menyeramkan dan menakutkan. Dan, Beliau menawarkan sebuah konsep ngerehang dengan cara Bhairawa yang lebih menyejukkan sehingga tidak ada ketakutan.
Lain halnya dengan pamteri terakhir, yakni Komang Indra Wirawan. Beliau adalah praktisi Calonarang, Tukang Undang, penari Matah Gede dan balian pula. Dalam pemaparannya yang sangat membius audiens tentang ilmu kebatinan dalam taksu Calonarang menjelaskan bahwa seni tari Calonarang adalah pementasan seni yang selalu berhubungan dengan ritual, sehingga hadirlah Taksu yang digunakan untuk penyembuhan. Bahkan dilihat dari sejarah keberadaan tari Calonarang, bahwa tarian ini digolongkan tarian sakral, dan dipentaskan pada hari tertentu. Kemudian pementasannya secara fungsional diperutukkan menghilangkan wabah penyakit, gering sabsasb marana dalam suatu wilayah. Ada semacam keyakinan dalam lingkungan sosial, bahwa taksu yang muncul dalam pementasan bukanlah karena ritual saja, melainkan narasi yang dimainkan. Komang Indra Wirawan atau akrab dipanggil Komang Gases menjelaskan hampir semua pementasan Calonarang menarasikan cerita dalam teks sastra sumber, yakni Lontar Calonarang. Sebagaimana alur dan narasi cerita yang terdapat dalam teks sastra, kemudian dipentaskan dalam ruang pentas. Tidak saja dipentaskan begitu saja, tetapi ajaran di dalam teks juga tidak luput dieksplorasi kemudian dibawakan dalam ruang pentas oleh seniman Calonarang. Sebagaimana diketahui, bahwa cerita dalam sastra Calonarang merupakan pergumulan antara dua ilmu kawisesan dan atau kadyatmikan (pangiwan dan penengen). Perseteruan dua ilmu tersebut digambarkan melalui pertarungan antara Ni Calonarang dengan Mpu Beradah.
Lebih jauh Komang Gases menguraikan tentang ilmu kebathinan Bali, maka tidak akan terlepas dari Pangiwan dan Penengen. Pangiwan secara harfiah dari kata kiwa artinya kiri dan Penengen dari kata tengen artinya kanan. Baik pangiwan dan penengen dua aliran ilmu kebathinan yang terdapat dalam teks tutur kawisesan, kelepasan, kadyatmikan dan sejenisnya. Melalui pementasan taksu dalam pementasan Calonarang, kita sesungguhnya diberikan sebuah gambaran bahwa dua ilmu tersebut sudah ada dalam diri yang diwakilkan dengan dengan Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang.
Bagi mereka yang menjalankan pangiwan, disebut ngiwa atau nyalanang aji wegig (menjalankan aliran kiri), seperti; pengeleakan penestian, deluh terangjana dan yang lainnya, maka dalam pementasan Calonarang diwakilkan oleh tokoh Walu Nateng Dirah. Tokoh inilah menjadi figur sentral dalam pementasan, dan bagaimana siddhi ilmu pangiwan pada akhirnya membawa Calonarang dalam kehancuran. Sebab ilmu kiwa yang ia pelajari belum dikatakan sempurna, sebab siddhi yang dimunculkan melalui pangiwan harus diimbangi dengan siddha dan saddhu. Dalam teks Tutur Buddha Kecapi Putih menyebutkan bahwa orang yang mangiwa adalah utama, jika siddhi yang dimiliki diimbangi dengan “suci laksana” tegasnya.
Sebaliknya Mpu Baradah adalah tokoh simbolik mewakili aspek ilmu penengen atau ilmu kanan. Namun, perlu dicatat bahwa ilmu penengen yang dikuasai oleh Baradah, bukan semata-mata mengabaikan pangiwan. Justru ia mengambil jalan “menggal kiwa”, yakni mendalami pangiwan tetapi dapat berjalan di jalan penengen, sehingga dua ilmu niscaya dan nisrcaya lingga dikuasai dengan baik. Dengan penguasaan ilmu tersebut, lipia sastra dari Calonarang berhasil ditaklukan. Kemudian peristiwa tersebut dibuat lakon pementasan yang sebenarnya memberi kita “tutur” dan tuntunan bahwa dualitas memang harus ada dalam kehidupan (rwa bhineda). Kemudian untuk menemukan kebahagiaan dan kelepasan, maka kita harus berada di seberang dualitas (Rwa Bhineda Tanpasastra).
Selanjutnya beliau menyinggung ajaran dalam tutur aji kadyatmikan, bahwa untuk berada di antara dualitas, maka Ang dan Ah (dwiaksara) disatukan pada padma hrdaya (telengin ati) nunggal menjadi Ongkara. Kemudian Ongkara Ngadeg pertemukan dengan Ongkara Sunsang juga pada telengin ati, maka disanalah alam kebahagiaan atau (suka tanpawali duka). Atas dasar tersebut, dalam pementasan Calonarang ang diwakili oleh Rangda dan Ah diwakili dengan Barong. Dua citra yang mewakili karkateristik ilmu tersebut, dan tidak ada yang saling mengungguli. Hitam tidak akan mengungguli putih, pun sebaliknya, tetapi mereka lebur dalam satu kesatuan yang indah sehingga terlahir taksu.
Taksu inilah dapat dijadikan media penyembuhan sekala-niskala dari sabsab merana (epidemi). Bahkan dalam tradisi pementasan, pada saat pementasan Calonarang inilah orang yang menjalankan pangiwan dan penengen beradu kesaktian. Bahkan pada masa lalu, dunia pentas Calonarang dijadikan “ajang adu ilmu”, sehingga tidak jarang berujung pada kematian. Namun sebenarnya, pementasan Calonarang bukan semata-mata ajang kontestasi “kesaktian”, tetapi adalah sesungguhnya media pertunjukkan akan dunia niskala yang tidak boleh kita abaikan. Beliau menandaskan “Meyakini akan yang niskala, maka batin akan teguh dan kuat. Selama ini banyak orang sakit, disebabkan oleh batin dan psikis yang terganggu sehingga unsur-unsur dalam tubuh tidak menjadi seimbang. Batin dan pikiran yang lemah menjadi sumber penyakit, dan melalui tutur yang divisualisasikan melalui pementasan, maka pikiran dan bathin akan dicerahkan sehingga menjadi diri tersembuhkan”, demikian pungkas Komang Gases pada akhir penyampaian materinya.
Selanjutnya diadakan sesi diskusi, dan beragam pertanyaan mengalir berkenaan dengan seni Calonarang, taksu dan kebatinan. Bahkan Komang Gases memperagakan bagaimana taksu berperan dalam seni penyembuhan. Disuruhlah 10 orang ke depan dan percobaan pun dimulai dengan mentransfer energi taksu sehingga beberapa orang berteriak terbawa suasana magis dari kekuatan taksu sesungguhnya. Namun apapun itu, seminar ini merupakan media bagi generasi muda Hindu dalam pelestarian tradisi dan budaya yang dibingkai oleh religiusitas Hindu.
(I Ketut Sandika).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar