Tidak banyak remaja sekarang yang mau hidup prihatin atau punya tekad kuat untuk maju, meskipun untuk itu seseorang harus hidup dengan penderitaan. Dari jumlah yang sedikit itu, ada satu nama yang patut dicatat. Dia adalah Wahyanti.
Wahyanti berasal dari Karanganyar, Jawa Tengah. Tepatnya dia dilahirkan di desa Kemuning, Kecamatan Margoyoso pada 22 April 1993. Saat baru lulus SMP di desanya, ia nekat merantau bersama sejumlah temannya ke Bali. Tekadnya adalah bersekolah yang lebih tinggi. “Kedua orangtuanya sudah tiada. Di Jawa saya menumpang pada seorang paman,” kata anak pertama dari dua bersaudara itu.
Yanti, begitu panggilan akrabnya, merantua pada ke Bali pada 2009 lalu setelah menamatkan SMP. Tempat penampungannya di Bali adalah di Desa Sawan, Kecamatan Sawan, Buleleng. Di sana ia lantas melanjutkan di sebuah SMA swasta sampai tamat. Selama tiga tahun ia hidup di sebuah panti asuhan.
Selepas SMA, Yanti sempat bingung, sulit menentukan pilihan antara kembali ke Jawa atau tetap di Bali. Dalam keadaan bingung seperti itu, beruntung sekali sebuah keluarga yang tinggal di Singaraja “memungut” dia dan menjadikan Yanti sebagai bagian dari keluarganya. Keluarga yang memungut itu kebetulan merupakan pasangan dosen. Sang suami adalah dosen di Undiksha sementara si istri dosen di STKIP Agama Hindu Singaraja. Pasangan dimaksud adalah Ketut Pujawan, M.Pd dan Dr. Luh Asli. Maka Yanti kemudian dikuliahkan di STKIP AH Singaraja.
Keberuntungan itu dimaksimalkan Yanti dengan belajar keras. Waktu-waktu senggangnya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk belajar. Bagaimanapun ia mesti tahu diri. Menumpang di rumah orang mesti rajin mengerjakan segala pekerjaan yang ada di rumah tersebut. Mulai dari mencuci, mengepel, seterika, memasak, dll. Selepas melakukan berbagai aktivitas harian itulah Yanti belajar dengan keras. Ia memilih jurusan penerangan agama.
Lalu bagaimana hasilnya? Setelah empat tahun menempuh studi di perguruan tinggi tersebut, akhirnya Yanti diwisuda pada akhir September 2016 lalu. Ia bukan lulus biasa. Ia lulus dengan IPK tertinggi di jurusannya. Berapa IPK yang dicapai Yanti? Ia lulus dengan IPK 3,70.
Skripsi yang ia susun relevan dengan jurusan yang dipilihnya. Yanti meneliti kendala dan tantangan yang dihadapi para penyuluh agama Hindu di Kabupaten Buleleng. Penyuluhan agama, kata Yanti, bukan merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan umat Hindu di Bali (Buleleng khususnya). Apalagi menganggap sebagai kebutuhan penting. Tidak. “Sehingga seorang penyuluh kadang-kadang kesulitan memenuhi target minimal 5 kali dalam sebulan melakukan tatap muka dengan masyarakat untuk memberikan penyuluhan agama. Bila pun ada odalan di suatu pura, belum tentu diberi kesempatan menyampaikan dharma wacana itu oleh panitia,” ujarnya.
Kesimpulan itu sejalan dengan pendapat banyak orang yang sudah sering dikemukakan di berbagai forum. Bahwa umat Hindu di Bali lebih mengutamakan ritual ketimbang tattwa (dharma wacana).
Awal bulan Oktober lalu Yanti kembali ke Jawa. Ia pulang dengan kebanggaan. Sebab cita-citanya merantau ke Bali untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi tercapai. Ia kini berhak menyandang gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Selain itu, ia mengakui kini jiwanya semakin terisi. Tattwanya semakin bertambah, serta sradhanya semakin kuat. Dengan segala hal itu, bila ia harus menetap di Jawa, maka ia akan mendharmabhaktikan segala kemampuannya untuk membesarkan dan menguatkan umat Hindu yang ada di tanah Jawa. Ia berkeyakinan, umat Hindu di Jawa kembali menemukan jati dirinya serta kebanggaan masa lalunya.
Sebagaimana diketahui, praktek agama dalam Hindu tidak sama antara satu daerah dengan daerah lainnya. Apakah jika mengabdi di Jawa berbeda pendekatan yang akan dilakukan dengan kebiasaan di Bali? Wahyanti tegas mengatakan, tentu hal itu akan dilakukan dengan cara berbeda, menyesuaikan dengan adat-istiadat di Jawa. Katanya, jangan sampai pola pembangunan sejumlah pura di Jawa terulang kembali.
Sebagaimana diketahui, banyak kalangan telah membangun pura di Jawa, namun hanya menjejalkan ritual semata. Dan ritual yang dijejalkan itu 100 persen mengikuti pola Bali. Sebagai akibatnya, masyarakat di sekitar pura hanya jadi penonton, bahkan terpinggirkan. Alih-alih mendapat pemberdayaan.
Sebenarnya, kata Yanti, tantangan umat Hindu dewasa ini adalah di bidang tattwa. Jika tattwa diberikan dengan baik, Yanti yakin sradha umat Hindu akan menjadi kuat. Menurut Yanti, kitab pegangan yang cocok diberikan umat untuk meningkatkan sradhanya adalah Bhagawad Gita. “Hindu itu sangat kaya. Generasi muda Hindu harus sadar, harus meningkatkan sradhanya agar tidak mudah dikonvensi. Sayangnya, menurut saya, kesadaran umat untuk mendalami ajaran agamanya masih sangat kurang,” kata Yanti.
Yanti adalah sosok inspirasi bagi generasi muda, terutama bagi generasi muda Hindu. Dalam keadaan yatim piatu ia berhasil membuktikan dirinya sehingga bisa meraih sarjana. Semoga ada yang jengah mengikuti jejaknya. Semoga pula ada yang dapat mengulurkan bantuan berikutnya agar masa depannya tidak suram setelah ia memperoleh sarjana. Ya, semoga.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar