Meski acara bertajuk “Kembali ke Jalan Veda” ternyata yang didialogkan adalah sekitar Mahasabha PHDI Pusat yang akan digelar di Surabaya 21-24 Oktober ini. Dialog yang dihadiri banyak pemuka Hindu termasuk para pandita ini menyimpulkan satu hal sebagai berikut. “Parisada sesuai Veda adalah lembaga Brahmana Sista (pendeta Hindu yang memiliki keahlian tertentu). Posisi parisada sebagai brahmana sista ini harus kembali ditegakkan dalam Mahasabha PHDI Pusat”.
Sebagai nara sumber dalam dialog tersebut adalah I Ketut Wiana, Ida Acarya Yogananda, Ida Pandita Mpu Acaryananda, Brahmana Guna Awatara. Yang hadir antara lain, Ida Pedanda Bang Buruan Manuaba, Ida Bhagawan Hyang Anulup Pemecutan, Ida Pandita Mpu Siwa Yogananda, Ida Pandita Mpu Jaya Wasistananda, Drs. I Ketut Ngastawa, SH, dan puluhan undangan lainnya.
Ketua PHDI Pusat bidang agama, Ketut Wiana mengatakan, sesuai Veda, lembaga parisada merupakan lembaga brahmana sista, tetapi perkembangannya belum bisa seperti itu. Dengan keadaan seperti sekarang ini tidak ideal bagi pengembangan parisada. Karena itu, parisada harus dikembalikan ke brahmana sista agar sesuai dengan kitab suci.
Acarya Yogananda, anggota Sabha Pandita PHDI Pusat, sepakat dengan hal itu, harus merujuk ke brahmana sista. Namun perkembangan situasi menghendaki jalan tengah. Jalan tengahnya adalah brahmana sista (brahmana ahli), ditambah dengan brahmana perwakilan etnis, dan brahmana dari sampradaya Hindu. Karena itu, jumlahnya harus di perbanyak yang selama ini 33 pandita menjadi lebih sehingga bisa mengakomudasikan kepentingan umat.
Ida Pandita Mpu Acaryananda, salah satu ketua Sabha Pandita PHDI Pusat, menambahkan, pendeta Hindu yang ahli memang harus menjadi bagian hakiki dari parisada sesuai kitab suci. Posisi brahmana ahli ini diperlukan untuk menjawab berbagai permasalahan umat Hindu. Sebab permasalahan umat Hindu semakin komplek dewasa ini.
Brahmana Guna Awatara, salah satu pengurus Perkumpulan Iskcon (sampradaya Hare Krshna) menjelaskan, umat memerlukan tuntunan yang lebih baik belakangan ini. Karena itu, posisi parisada yang harus diduduki brahmana ahli menjadi sangat penting, sehingga bisa memberikan tuntunan yang lebih berkualitas kepada umat.
Acarya Yogananda sepakat dengan hal itu, sebab posisi brahmana ahli itu sesuai dengan Veda, selain itu kondisinya sudah memadai untuk menempatkan berahmana ahli pada parisada. “Di masa lalu, brahmana ahli belum ada. Sekarang kita sudah banyak memiliki. Jadi perlu kembali ke posisi yang sesuai kitab suci,” katanya.
Bhagawan Hyang Anulup menambahkan, bahwa Weda harus menjadi pedoman bagi umat Hindu. Karena itu, Weda harus dijabarkan ke dalam lembaga umat seperti parisada. Ida Rsi Bhujangga menambahkan dalam menempatkan brahmana ahli di parisada hendaknya tidak memandang asal usul pendeta. “Dari keluarga apa pun pendeta itu harus diperlukan sama. Lihat beliau dari keahliannya saja, bukan asal-usulnya,” katanya.
Pokok-pokok pikiran ini akan disampaikan dalam Mahasabha. Pokok-pokok pikiran ini akan dikawal perwakilan umat dalam mahasabha di Surabaya-Jawa Timur . Namun tidak jelas siapa yang akan menyampaikannya apalagi yang mengawalnya.
Pandita Memilih Pengurus?
Sementara itu Pesamuhan Madya PHDI Bali yang digelar 23 September berlangsung cukup alot terutama saat membicarakan bagaimana sebaiknya pengurus PHDI Pusat dipilih.
Yang menjadi pusat perhatian peserta Pesamuhan Madya yang dihadiri oleh Sulinggih dan pengurus PHDI se kebupaten/kota di Bali adalah usulan dalam pemilihan pengurus harian dalam hal ini Ketua PHDI Pusat agar pemilihan dilakukan oleh kalangan sulinggih (Brahmana Sista). Hal itu konon mengacu pada Pesamuhan Sabha Pandita yang digelar pada 19 September 2016 di Denpasar.
Selama ini pemilihan PHDI Pusat dilakukan oleh PHDI di seluruh Indonesia di arena Mahasabha. Atas usulan ini, tentu kalau disetujui oleh peserta Mahasabha, nantinya yang menentukan pengurus PHDI Pusat adalah para sulinggih. Meski begitu, mengutip usulan Ketua Sabha Walaka Putu Wirata Dwikora, pengurus PHDI dari berbagai daerah di Indonesia bisa mengusulkan beberapa nama. Namun, nama-nama itu disaring dan dengan otoritas tertinggi kembali dipilih oleh sabha pandita. Usulan ini disetujui beberapa yang hadir.
Sementara itu beberapa pemuka Hindu yang selama ini sangat memperhatikan gerak langkah Parisada justru merasa aneh dengan usulan itu. “Usulan itu bagus kalau yang duduk di Sabha Pandita adalah sulinggih yang dihormati umat dan punya wibawa tinggi. Kalau seperti sekarang justru menjadi kebalikannya,” katanya. Apa yang dimaksud dengan kebalikan itu? “Justru Sabha Pandita ini, terutama jabatan tertinggi Dharma Adyaksa dipilih oleh peserta Mahasabha yang dihadiri seluruh PHDI daerah. Kalau tidak begitu Dharma Adhyaksa akan dipilih di antara pandita yang hadir saja, dan itu semuanya anggota Sabha Pandita. Kita akan mendapatkan anggota Sabha Pandita yang itu-itu saja setiap Mahasabha, bisa jadi Dharma Adhyaksa yang sekarang ini terpilih kembali untuk ke empat kalinya,” kata pemuka Hindu yang tak mau disebut namanya ini.
Memang ini sebuah dilema. Di satu sisi, Sabha Pandita yang dipimpin Dharma Adhyaksa adalah lembaga tertinggi Parisada, justru Parisad dalam ajaran Hindu itu adalah para pendeta. Mereka dihormati, berwibawa, punya pengaruh dan seterusnya. Sementara kenyataan yang ada, setiap Mahasabha kehadiran pandita sangat kecil, dan mereka harus memilih anggota Sabha Pandita yang berjumah 33 orang. Tentu saja mereka akan memilih dirinya sendiri lebih dulu, kekurangannya baru mencari di luar.
“Menjadi tantangan Panitia Mahasabha bagaimana agar Mahasabha XI ini bisa menghadirkan pendeta Hindu lebih banyak, terutama pendeta Hindu yang selama ini tak ikut dalam barisan Sabha Pandita,” kata pemuka tersebut mengakhiri keterangannya. Sesuatu yang harus dipikirkan dengan matang.
(Raditya edisi Oktober 2016))
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar