Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 20 Mei 2013

Logika dan Tapsir dalam Pewayangan

I Nyoman Suamba

Wayang dikenal masyarakat Indonesia sebagai sebuah seni yang bermetode, baik dilihat dari ketokohan, karakter, bahasa, yang merupakan dekadensi dari logika dan tapsir. Di samping itu, wayang juga merupakan way of live yang ada sepanjang sejarah peradaban manusia yang dasarnya adalah epos Mahabharata dan Ramayana. Wayang yang lahir dari sisi bingkai sastra dan agama ini tak sedikit mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara, demikian juga kedalam pribadi seseorang.

Misalnya dalam tokoh pewayangan “Sangut dan Delem”, Sangut dan Delem ini dilukiskan sebagai dua kepribadian antara baik dan buruk, salah dan benar, nyata dan tidak nyata, bagaikan dua sisi aliran pemikiran yang selalu berbeda dan tidak pernah akan sama, dimana dua aliran pemikiran itu selalu mencari makna-makna yang lebih tinggi dari kebenaran yang dinilai benar menurut pengetahuan itu sendiri. Demikian juga suatu ilmu pengetahuan hanya dapat disebut ilmu pengetahuan apabila ia memenuhi persyaratan yang dituntut oleh ilmu pengetahuan secara umum.

Artinya pengetahuan sudah puas dengan menangkap tanpa ragu suatu kenyataan, sedangkan ilmu menghendaki penjelasan lebih lanjut dari sekedar apa yang dituntut oleh pengetahuan itu sendiri. Seperti seorang nelayan yang sangat tahu betul tentang pasang surutnya lautan, sehingga ia dapat mengambil manfaat bagi kehidupannya. Tetapi selama yang ia ketahui tidak pernah menembus keterangan tentang sebab terjadinya peristiwa itu, yakni daya tarik bulan yang mengakibatkan air laut di sebagian belahan bumi ini pasang, selama itu pula ia hanya merupakan pengetahuan baginya.

Demikian juga dalam pementasan pewayangan selama kita berpikir tentang tokoh Sangut dan Delem sebagai dua buah objek material yang menjelaskan bentuk nyata dua tokoh wayang itu sebagai satu batasan objek yang tak bernilai lebih dari apa suatu nilai itu dijabarkan, selama itu pula wayang tersebut hanya sebagai wayang yang dimainkan oleh dalang. Padahal jika ditelusuri lebih lanjut selain dilihat dari segi bentuk, wayang tersebut, juga mempunyai objek formal yang menarik dinilai dari sisi estetikanya.

Untuk itu “ketidakraguan” merupakan syarat mutlak bagi jiwa untuk dapat dikatakan “mengetahui” seperti halnya apabila kita ingin memahami suatu objek memang dalam logika dijelaskan, seseorang harus mempunyai pengetahuan tentang tata bahasa yang bagus, namun tata bahasa juga tidak mutlak diperlukan dalam meneliti sebuah objek teliti, karena akal itu lahir dan ada semenjak kehidupan ini ada.

Artinya, di dalam mengerti sesuatu sebagai objek pengetahuan tidak mutlak harus diperlukan tata bahasa, sebab pengetahuan itu akan menjadi pengetahuan sejauh pengetahuan tentang objek yang ingin diketahui itu diyakini sebagai sebuah pengetahuan yang benar menurut kemampuan yang ia ketahui. Seperti matahari, dimana dalam matahari tentu ada bola matahari dan di dalam bola matahari yang memancarkan sinar itu tentu ada obyek lain sebagai kepribadian yang disebut Dewa Matahari. Akan tetapi selama pikiran tidak terima atas apa yang menjadi definisi suatu objek tersebut, maka objek tersebut akan tetap sebagai objek dengan definisi seperti yang diketahuinya, dan pengetahuan hanya berhenti sebatas apa yang ia ketahui.

Demikian juga apabila tiap orang tidak pernah mencari tahu apa dan kenapa Sangut dan Delem dalam melatar belakanginya, maka selama itu pula penilaian tentang sesuatu itu hanya menjadi sebatas pengetahuan atas pengetahuan yang ia ketahui. Dalam hal ini diperlukan adanya logika dan bahasa, karena bahasa adalah alat bernalar dalam hal mana penalaran adalah kegiatan berpikir, kegiatan berpikir ini tidak mungkin dapat berlangsung tanpa bahasa, jadi penalaran senantiasa bersangkut paut dengan bahasa. Setiap orang yang menalar selalu menggunakan bahasa, baik bahasa yang digunakan dalam pikiran, bahasa yang diucapkan dengan mulut, maupun bahasa tertulis. Bahasa juga adalah alat bernalar atau tanda. Misalnya apabila kita berpikir tentang sesuatu dan hendak kita beritahukan kepada orang lain kita harus mengungkapkannya lewat bahasa, dengan bantuan bahasa barulah orang lain dapat memahami isi pikiran kita.

Pembahasaan yang dituangkan tokoh Sangut dan Delem terkesan vulgar dan tanpa retorika, namun di sisi lain pembahasaan itu menjadi gaya tersendiri dalam memberinya ruang kepercayaan. Sosok Sangut dan Delem dalam kapasitasnya sebagai seorang abdi dalem sebuah puri menampilkan sosok seorang pengabdi yang natural, dengan didasari ketulusan untuk mengabdi. Kecendrungan berpikirnya adalah sejauh mana pengabdian itu dilakukan, bukan pengabdian itu untuk dihitung dengan apa yang ia dapatkan dari pengabdiannya, tetapi lebih mengedepankan apa yang ia sudah perbuat dari selama ia mengabdi.

Dari penujukan bahasanya yang apa adanya, tokoh Sangut dan Delem sangat memasyarakat dalam karakter masyarakat. Pewayangan tersebut ibarat menampilkan sosok presenter dalam acara TV, yang mewakili pergulatan bagi kehidupan masyarakat desa pada umumnya dalam karakter yang polos dan spontan. Pementasan karakter tokoh Sangut dan Delem ini sejalan dengan sebuah materi dan bentuk pikiran dalam logika. Artinya segala sesuatu yang ada senantiasa memiliki materi dan bentuk. Aristoteles misalnya menyebut materi itu dengan kata hile dan bentuk itu dengan kata eidos atau morphe, materi yang sama dapat memiliki bentuk yang berbeda-beda.

Misalnya kayu sebagai materi dapat dibuat dalam bentuk patung, atau dapat dibentuk dalam bentuk meja, kursi tiang, pintu dan sebagainya. Dari contoh itu jelas materinya satu yaitu kayu, tetapi bentuknya bermacam-macam, misalnya, patung, meja , kursi, tiang, dan pintu. Dapat pula bentuknya sama tetapi materinya berbeda misalnya tiga buah patung kuda serupa, tetapi yang satu materinya dari kayu, yang kedua materinya dari tanah liat sedangkan yang ketiga materinya dari batu. Dengan demikian jelas bahwa materi senantiasa harus memiliki bentuk, dan tidak mungkin ada bentuk tanpa materi.

Pikiran yang digunakan dalam penalaran dan yang digunakan lewat bahasa juga memiliki materi dan bentuk seperti sosok tokoh Sangut dan Delem dari tokohnya yang lucu. Tidak berarti semua wayang sama seperti tokoh Sangut, padahal diperankan oleh satu orang dalang. Akan tetapi setiap tokoh wayang selalu menjadi berbeda karena ada materi wujud fisik maupun bentuk pikiran sang dalan yang membuat tokoh wayang menjadi berbagai bahan dasar wayang.

Sama halnya ketika kita menyaksikan jatuhnya air hujan pada sebuah tempat. Air hujan ada yang jatuh ke tanah dan ada juga yang jatuh ke lautan. Air hujan yang jatuh ke tanah tentu membawa sedikit manfaat, bagi tanaman akan menjadikan tumbuhan tumbuh subur, sebab tanahnya menjadi subur akibat adanya air hujan. Lain lagi dengan air hujan yang jatuh ke air tentu tidak membawa manfaat, karena sama-sama jatuh pada air, sehingga tidak membawa sebab apa pun bagi air tersebut.

Demikian juga pengetahuan, jika diterima dengan tulus, maka akan membawa banyak manfaat bagi orang yang menerimanya. Namun apa bila pengetahuan tidak diterima dengan tulus, maka pengetahuan pun akan menjadi tidak bermanfaat dan ia selamanya akan menjadi pengetahuan sebatas yang ia ketahui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar