Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 29 April 2013

Pro Kontra Parisada Sebagai Ormas Perkumpulan

Setelah Majalah Hindu Raditya melaporkan dari Pesamuhan Agung PHDI di Palangka Raya bahwa PHDI sudah didaftarkan sebagai ormas perkumpulan (Majalah Raditya edisi Maret 2013) muncul berbagai tanggapan dan penjelasan. Berikut dua buah tanggapan dan didahului oleh penjelasan dari Pengurus PHDI Pusat. Ketiga materi itu dimuat dalam Surat Pembaca Majalah Raditya edisi Mei 2013.


PENJELASAN PHDI PUSAT ATAS ARTIKEL PARISADA BERUBAH MENJADI ORMAS PERKUMPULAN di MAJALAH HINDU RADITYA EDISI 188-MARET 2013

Dalam kerangka perundang-undangan, sesuai dengan UU RI Nomor 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan, maka terdapat dua jenis organisasi masyarakat yaitu 1. Ormas Badan Hukum dan 2. Ormas Tidak Badan Hukum. Untuk jenis yang pertama terdapat dua badan hukum yaitu 1. Perkumpulan yang diatur dengan Staatsblad 1870-64 tentang Perkumpulan dan 2. Yayasan yang diatur dengan UU RI Nomor 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan. Untuk Ormas jenis kedua, sesuai dengan PP Nomor 18 tahun 1985 dan Permendagri Nomor 5 tahun 1986, terdapat dua kategori yaitu: 1. Ormas yang mendaftar dan memperoleh Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan 2. Ormas yang hanya memberitahu dan memperoleh Surat Tanda Terima Pemberitahuan Keberadaan Organisasi (STTPKO). Terlampir kami sertakan bagan Ormas dimaksud dengan beberapa contoh ormas di dalamnya (copy sesuai aslinya – catatan: copy tidak dimuat).

Terkait keberadaan Majelis-Majelis Agama, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) keduanya merupakan Ormas Badan Hukum Perkumpulan (lihat Bagan terlampir). MUI atau Majelis Ulama Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. (Wikipedia 22 Maret 2013). Sementara WALUBI dan MATAKIN merupakan Ormas Tidak Berbadan Hukum.

Pernyataan bahwa Parisada Hindu Dharma Indonesia kini tak lagi berupa majelis seperti MUI, KWI, PGI atau Walubi, namun seperti Ansor atau Front Pembela Islam merupakan kesesatan cara berpikir yang boleh jadi karena ketidaktahuan. Dengan mengambil bentuk Ormas Badan Hukum Perkumpulan, Parisada tetap merupakan Majelis Tertinggi Agama Hindu di Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Anggaran Dasar Parisada (Tambahan Berita Negara tanggal 4/12-2012 No.97-53/Perk/2012) dan satu kelompok dengan PGI dan KWI. Sementara Ansor dan Front Pembela Islam adalah Ormas Tidak Badan Hukum sebagaimana Parisada sebelum menjadi Ormas Badan Hukum Perkumpulan. Justru dengan menjadi Ormas Badan Hukum Perkumpulan, Parisada berpisah dengan Ansor dan Front Pembela Islam dan bergabung dengan PGI dan KWI sebagai sesama Majelis Agama.

Terkait dengan pendirian Yayasan Pendidikan Widya Kerthi, dapat dijelaskan bahwa sesuai bunyi Pasal 9 ayat (1) UU RI Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan menyatakan “Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal.” Dalam penjelasan atas Pasal 9 ayat (1) tersebut dinyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan atau badan hukum”. Yayasan Pendidikan Widya Kerthi yang menaungi Universitas Hindu Indonesia (UNHI) sebelum ini, didirikan oleh perseorangan yang secara kebetulan menjadi Pengurus Parisada. Hal ini tidak menjamin yayasan yang didirikan menjadi milik Parisada setelah yang bersangkutan berakhir masa tugasnya sebagai Pengurus Parisada. Oleh karenanya pendirian Yayasan Pendidikan Widya Kerthi diperbaharui dengan Parisada sebagai Badan Hukum Perkumpulan sebagai pendiri utama disertai 13 tokoh Hindu lainnya, dengan maksud untuk tetap dapat menjaga assets-assets Parisada dan tidak menguap seperti sebelum ini.

Tanpa bermaksud berapologi, Pesamuhan Agung Parisada 2013 di Palangkaraya dinyatakan penuh dengan “nuansa ormas” dan nyaris terjadi adujotos, hal ini masih lebih baik daripada Mahasabha VIII tahun 2001 di Denpasar (tidak bemuansa ormas?) yang dihiasi dengan pelecehan kepada Pandita (Sulinggih) dan pemukulan kepada Peserta Mahasabha (sampai saat ini korban pemukulan masih hidup).

Demikian penjelasan kami sebagai hak jawab terhadap artikel tersebut di atas. Semoga pikiran yang baik datang dari segala arah, dan Majalah Hindu Raditya tetap memberi pencerahan kepada umat Hindu dan masyarakat pada umumnya. Terimakasih.

PENGURUS HARIAN PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Ketua Ideologi, Politik, Hukum dan HAM

Yanto Jaya, SH

Sekretaris Umum
Ir. Ketut Parwata


Tanggapan Perubahan Status PHDI dari Lembaga Peduli Umat Hindu (LPUI) Singaraja

Kepada Yth.
Ketua Umum PHDI Pusat
di Jakarta

Om Swastyastu,
Setelah mengikuti berita perubahan status Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dari majelis menjadi organisasi masyarakat (perkumpulan) sebagaimana dimuat dalam Raditya Edisi 188 – Maret 2013, hlm. 38 – 39, kami memandang perlu untuk menyampaikan tanggapan sebagai berikut.

• Menolak dengan tegas perubahan (tepatnya penurunan) status PHDI dari majelis umat, sebagaimana MUI, KWI, PGI, dan Walubi menjadi ormas, seperti partai politik atau ormas keagamaan. Kami memandang status dan posisi PHDI sebagai majelis pembuat bhisama, sebagaimana disebutkan dalam Manawa Dharmasatra XII, merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi.
• Mendesak Pengurus Harian PHDI Pusat agar menarik kembali dan membatalkan pendaftaran PHDI sebagai ormas pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta mengembalikan status PHDI sebagai Majelis Tertinggi Umat Hindu.
• Meminta semua pihak, khususnya tokoh-tokoh Hindu, agar tidak menggunakan majelis keumatan yang agung dan suci sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok atau pribadi.

Demikian sikap kami, semoga para pemimpin umat Hindu dapat berbuat tulus demi kebesaran Hindu Dharma. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah, semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Om Shantih, shantih, shantih, Om.

Ketua,
Drs. I Wayan Suja, M.Si

Sekretaris,
Kadek Sugiarpama

Tembusan:
• Dharma Adyaksa PHDI Pusat.
• Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat.
• Ketua PHDI Provinsi Bali.
• Ketua PHDI Kabupaten Buleleng
• Arsip.


Parisada di Kudeta Para Walaka

Om Swastyastu,
Saya terkejut membaca Majalah Raditya edisi Maret 2013 yang memberitakan laporan dari Pesamuhan Agung di Palangka Raya yang menyebut intinya “Parisada sudah berbadan hukum ormas perkumpulan”. Saya sedikit tidaknya tahu sejarah Parisada dan seluk beluknya meski pun saya sudah merantau bekerja di luar Bali. Karena itu saya kaget dan miris, ternyata Parisada sudah dikudeta oleh pengurus hariannya yang nota bene para walaka. Izinkan saya ikut urun rembug.

1.Parisada yang dilahirkan lewat Piagam Campuhan adalah kumpulan para pandita (pendeta), karena itu namanya Parisada berasal dari kata Parisad.

2.Pengurus harian dan Sabha Walaka sejatinya bukan Parisad, karena itu organ ini hanya pelaksana saja. Semua keputusan digodok akhir dan dikeluarkan oleh Parisad, yakni yang bernama Sabha Pandita.

3.Jika PHDI didaftarkan sebagai ormas (apakah perkumpulan atau yayasan atau apapun namanya), seharusnya yang didaftarkan sebagai Pendaftar Utama adalah organ Parisad (sabha pandita) bukan pengurus harian.

4.Karena No. 3 di atas mungkin tak sesuai peraturan, maka PHDI tak pernah didaftarkan sebagai ormas.

5.Urusan aset dan supaya PHDI berkembang pesat dan maju, sudah ada pemikiran membentuk lembaga di bawahnya, dan lembaga itu didaftarkan. Misalnya, Lembaga Artha yang direncakan menaungi Badan Dana Punia. Yayasan yang mendirikan sekolah. Lembaga yang mendirikan rumah sakit dan sebagainya. Lembaga ini yang didaftarkan, bukan PHDI-nya yang didaftarkan.

6.Jika PHDI yang didaftarkan akan terjadi penipuan. Jelas oleh peraturan Ketua Umum dan Sekjen dan pengurus lainnya yang terdaftar, dan itu jadi ormas perkumpulan. Buktinya, setelah PHDI didaftarkan, PHDI yang terdaftar ini membuat Yayasan Widya Kerthi baru yang segera pula didaftarkan. Ini sah secara hukum, tetapi mencederai pendirian Parisada sebagai majelis para pandita (parisad) yang sudah membentuk Yayasan Widya Kerthi sejak lama.

7.Kalau ini dibiarkan dan tidak dicabut, bisa saja PHDI yang terdaftar ini membuat keputusan macam-macam, karena memang sah secara hukum. Gawat ini, bisa-bisa bhisama dicabut. Dan tentu sebagai ormas perkumpulan, rapat-rapat (termasuk Rakernas, Pesamuan, Mahasabha) akan dipimpin oleh Ketua Umum. Karena begitulah ormas perkumpulan.

8.Lihat kisruh sekarang: ada 2 Yayasan Widya Kerthi, yang lama bentukan Parisada dengan organ tertinggi Sabha Pandita, yang baru bentukan PHDI yang terdaftar. Pertanyaan saya: apakah Yayasan yang lama dengan kepengurusan Prof Wita dan sebelumnya, tak pernah didaftarkan? Kalau ya, ini kecerobohan besar, patut disesalkan. Tapi PHDI yang terdaftar juga tak etis, kalau mau mendaftarkan Yayasan Widya Kerthi ke Kemenhum & HAM, ya, daftarkan yang sudah ada, istilah Jawa-nya kulo nuwun, jangan main serobot. Mentang-mentang sudah terdaftar enak saja membuat yayasan baru.

9.Saya setuju PHDI dibenahi karena banyak yang perlu diluruskan, terutama pada Sabha Pandita sebagai pemegang mandat utama. Saya salut kepada pandita seperti Ida Mpu Jaya Prema Ananda, pemikiran beliau bagus jika bicara di forum lintas agama. Tetapi janganlah dengan niat memperbaiki PHDI itu lantas mengkudeta PHDI sebagai majelis umat, lalu membuat PHDI versi ormas perkumpulan. Saya setuju memperbaiki PHDI tetapi tetap dengan menghormati sejarah, tempatkan pandita sebagai pemegang keputusan, karena Parisad itulah Parisada.

Kesimpulan: cabut pendaftaran itu, ini bahaya besar.

I Gusti Pande Karmaya
Semarang

(Catatan: Penulis surat ini hanya mencantumkan alamat Candi, Semarang, tetapi karena isinya positif dan hanya bermaksud “mengingatkan”, kami muat apa adanya, sebagai bahan perbandingan.)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar