Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 19 Maret 2013

Parisada Berubah Menjadi Ormas Perkumpulan

Tanpa diketahui Sabha Pandita dan Sabha Walaka, Pengurus Harian PHDI Pusat mendaftarkan Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai ormas Perkumpulan di Kementrian Hukum dan HAM. Parisada kini tak lagi berupa majelis seperti MUI, KWI, PGI atau Walubi, namun seperti Ansor atau Front Pembela Islam.

Perubahan status Parisada Hindu Dharma Indonesia dari majelis ke organisasi masyarakat -- dalam hal ini yang dipakai istilah perkumpulan -- diketahui dalam Pesamuhan Sabha Pandita yang mendahului Pesamuhan Parisada di Swiss Belhotel Palangka Raya, 22 Februari lalu. Adalah Ida Pandita Mpu Jaya Acharyananda, wakil dharma adyaksa, yang menanyakan hal itu. Perubahan itu tercantum dalam draf keputusan pesamuhan yang merekomendasikan penegerian UNHI Denpasar.

Sebelum Dharma Adyaksa Ida Pe¬danda Sebali Tianyar Arimbawa menjawab, Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda menambahkan bahwa perubahan ini merupakan sejarah baru dalam perjalanan Parisada yang dilahirkan lewat Piagam Campuan Ubud 1959. Pada saat kelahirannya Parisada berbentuk Majelis Umat, seperti halnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konperensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dan sejenisnya. Majelis umat tidak mempunyai anggota terdaftar yang dinyatakan dengan kartu anggota. Dengan didaftarkannya sebagai ormas Perkumpulan, maka Parisada harus memiliki anggota seperti halnya perkumpulan yang lain. “Jadi, ini sama dengan ormas yang berupa partai politik atau ormas yang serupa perkumpulan lain seperti Front Pembela Islam dan sejenisnya. Apakah dalam hal ini Dharma Adyaksa dan Sabha Pandita tahu?” tanya Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Ternyata Ida Pedanda Sebali menyatakan tidak tahu. Begitu pula Ketua Sabha Walaka Putu Wirata Dwikora tak tahu soal perubahan itu. “Nanti kita minta klarifikasi dari Pengurus Harian,” jawab Dharma Adyaksa.

Namun, selama berlangsungnya Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya itu, hal ini tak pernah dijelaskan oleh Pengurus Harian. Ternyata peserta pesamuhan juga tak banyak yang mempersoalkan karena tak tahu apa resiko dari perubahan ini. Apalagi jalannya pesamuan tidak mulus dan tak sempat peserta memikirkan perubahan itu.

Ternyata perubahan itu benar adanya. Hal ini menjadi jelas karena ada dalam laporan yang dibacakan oleh Ketua Umum PHDI Pusat Mayjen TNI (Purn) S. N. Suwisma. Perubahan dari majelis menjadi ormas dengan mengambil kelompok perkumpulan itu dilakukan oleh Pengurus Harian PHDI Pusat hasil Mahasabha di Hotel Bali Beach Sanur bulan Oktober 2011. Pengurus Harian ini cepat bergerak dengan mendaftarkan Parisada menjadi ormas (organisasi masyarakat), menghilangkan identitas majelisnya. Tidak disebutkan kapan permohonan itu diajukan, namun yang jelas pemerintah cepat menyetujui dengan keluarnya surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-101.AH.01707 Tahun 2012 pada tanggal 8 Juni 2012. Pengesahan itu langsung diumumkan pada Tambahan Berita Negara tanggal 4/12-2012 No. 97-53/Perk/2012.

Suwisma dalam laporan itu menyebutkan, alasan perubahan status dari Majelis ke ormas Perkumpulan ini agar Parisada berbadan hukum sehingga dalam kedudukannya sebagai subyek hukum dapat mendirikan yayasan.

Rupanya, perubahan status ini untuk mengejar target penegerian UNHI Denpasar, yang melanggar ketentuan Mahasabha Parisada yang tidak setuju ada penegerian UNHI karena yang disebut perguruan tinggi Hindu itu adalah IHDN Denpasar saat ini. Justru seharusnya IHDN Denpasar yang ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Hindu Negeri seperti halnya IAIN (Institut Agama Islam Negeri) di seluruh Indonesia sudah ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Islam Indonesia.

Entah kenapa UNHI ngotot minta dinegerikan dan Parisada -- dalam hal ini Pengurus Harian -- memberikan lampu hijau bahkan ikut memperjuangkan. Perjuangan itu pun dengan keblablasan dengan mengubah format Parisada dari Majelis Agama menjadi Ormas Agama dengan sebutan Perkumpulan.

Nah, kembali menyimak laporan Ketua Umum Parisada yang disampaikan pada Pesamuhan Agung di Palangka Raya itu, dengan bentuk Parisada sebagai badan hukum, kemudian didirikan Yayasan Pendidikan Widya Kerti. Parisada menyebutkan, kepengurusan Yayasan Pendidikan Widya Kerti ini untuk pertamakalinya ditetapkan oleh Parisada Pusat dengan menempatkan Ketua Umum secara exs-officio menjadi Ketua Dewan Pembina. Gerak cepat pun dilakukan oleh ormas Perkumpulan Parisada ini dengan mendaftarkan yayasan itu ke pemerintah, lalu keluar surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Keputusan Nomor AHU-5449. AH.01.04 Tahun 2012 tanggal 4 September 2012. Pengesahan ini dimuat pada Tambahan Berita Negara RI Tanggal 4/12-2012 No. 97-146/AD/2012. Ketua Yayasan dijabat oleh Prof. Doktor Ida Bagus Gunadha, staf pengajar di UNHI Denpasar.

Tentu saja ini aneh dan rekayasa. Bagaimana mungkin Yayasan Widya Kerti dinyatakan baru berdiri “untuk pertamakalinya” pada 2012, padahal yayasan itu sudah mendirikan UNHI sejak lama. Tentu aneh bin ajaib jika UNHI sudah puluhan tahun ada tetapi yayasan yang mendirikannya baru ada tahun 2012.

Selain keanehan itu, Yayasan Widya Kerti yang memang dibentuk oleh Parisada, Ketua Dewan Pembinanya selalu Dharma Adyaksa sebagai ex-officio, karena Dharma Adyaksa adalah ketua Sabha Pandita sementara dalam organ Parisada sebagai Majelis Umat, Sabha Pandita punya kedudukan tertinggi. Dalam Piagam Campuan disebutkan, yang bernama Parisada itu adalah kumpulan pada pandita, pengurus harian hanya pelaksana.

Perubahan status dari Majelis ke Perkumpulan ini serta merta membuat Pesamuhan Agung Parisada di Palangka Raya penuh dengan “nuansa ormas”. Ketika rombongan pendeta datang dari Bali, di depan loby hotel disambut dengan poster: “Yang Tak Setuju UNHI Menjadi Negeri adalah Pengkhianat”.

Sidang-sidang pun penuh dengan gejolak. Berkali-kali ada pimpinan sidang yang menyatakan walk-out, tapi kemudian dibujuk-bujuk lagi untuk kembali. Bahkan nyaris terjadi adu jotos. Beberapa anggota Sabha Pandita meninggalkan sidang karena merasa malu dengan suasana seperti itu. “Ini memang resiko menjadi ormas, meskipun itu ormas keagamaan. Lihat saja HMI, FPI, Ansor dan lainnya, kongresnya pasti juga ribut. Ini biasa. Sebaiknya Parisada dikembalikan menjadi Manjelis,” kata Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda.

Pada akhirnya, hasil pesamuhan tetap belum meloloskan UNHI menjadi negeri, setelah Sabha Pandita memberi arahan. Perlu dibawa ke Mahasabha. ***

2 komentar:

  1. Memalukan, tapi karma berjalan phalanya akan dipetik oleh yang berbuat, semoga mereka para oknum tersebut cepat sadar dan meminta maaf dan dimaafkan kesalahannya. Om Namah Siva Ya

    BalasHapus
  2. silahkan dikaji dulu plus minusnya untuk menegerikan Unhi, jika positifnya dominan, majuuuuu. jika negatifnya dominan mundurrr. gitu aja kok repot.

    BalasHapus