Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 04 Maret 2013

Mengatasi Kekurangan Guru Agama Hindu

I Nyoman Tika

Hanya bila engkau menyelaraskan gagasan dalam pikiranmu dengan perkataanmu, maka perkataanmu akan menjadi doa dan membawa hasil. Dan hanya bila engkau menerapkan doa itu dalam pengamalan nyata, ia akan menjadi ibadah. (Bhagawan Sri Sathya Sai Baba)

Pendidikan agama diyakini sebagai bagian integral dari pembangunan moral bangsa. Merosotnya moral di kalangan generasi muda bangsa saat ini, ditengarai lebih disebabkan pendidikan agama tidak pada porsi yang benar. Negara bertanggung jawab ketika warga negara tidak mendapatkan akses pendidikan agama yang memadai. Pendidikan agama menjadi vital diajarkan oleh mereka yang mumpuni, termasuk di dalamnya agama Hindu. Celakanya pengangkatan guru agama Hindu sungguh banyak kendala, justru di mayoritas siswanya beragama Hindu seperti di Bali. Kondisi ini, sulit dipercaya bahwa negara telah berlaku adil bagi warga negaranya. Premis tentang pemerintah masih melakukan jurus pilih kasih terhadap suatu agama, sulit dihindari. Oleh karena itu, desakan agar Pemda Bali serius menyikapi hal ini semakin menguat.

Dalam bingkai itu pemerintah dan masyarakat luas harus sadar, bahwa agama seperti yang didefinisikan oleh Durkheim (1912), merupakan seperangkat sistem keyakinan dan pratek yang diikatkan pada hal-hal yang sakral atau bisa juga disebut, hal-hal yang disisihkan dan dilarang. Lebih lanjut disebutkan, bahwa setiap agama adalah benar menurut gayanya masing-masing. Jawaban apapun yang dia berikan juga tidak ada yang salah, meskipun disampaikan dengan cara berbeda-beda untuk menyelesaikan berbagai permasalahan eksistensi manusia (Durkehim, 1961). Dalam kaitan itu, negara seharusnya memandang bahwa kegalauan kekurangan guru agama Hindu di Bali sebagai sesuatu yang penting untuk disikapi, namun hal ini sungguh sulit, karena banyak masalah yang kelam ketika berbicara kepentingan agama Hindu di negeri ini.

Lalu, permasalahan yang muncul, terhadap minimnya pengangkatan guru agama Hindu di Bali, dapat diduga karena, pertama, adanya chauvinisme sempit di kalangan pengampu kebijakan di negeri ini, sehingga menyebabkan provinsi Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu ternyata mengalami kekurangan guru agama. Kedua, lemahnya bergainning position secara politik bagi umat Hindu, karena komunitasnya yang sedikit, sehingga kepentingannya sering diabaikan. Ketiga, militansi kaum intelektual Hindu belum optimal, sebab mereka dibangun dalam kerangka fragmatisme kehidupan dan memiliki solidaritas keumatan kehinduan yang rendah. Keempat. Pemda Provinsi Bali belum sepenuhnya memberikan subsidi pada peningkatan alokasi anggaran untuk pengadaan guru agama Hindu.

Bisa dipahami bahwa chauvinisme kerap menjadi jurus di negeri ini, berkenaan dengan urusan beragama Hindu, misalnya sulitnya pembangunan pura di luar Bali, kasus Lampung, yang seakan dibiarkan tanpa pencegahan, itu sekedar bukti bahwa sejatinya negara telah berlaku diskriminasi. Negara menganut sebuah pola proporsional sesuai dengan jumlah penduduk ber-KTP dengan agama tertentu. Artinya, komunitas yang banyak akan mendapatkan porsi yang besar dalam pengalokasian APBN, bukan atas dasar kebutuhan. Chauvinisme adalah ketika individu lebih memilih kelompoknya dari pada berbaur menjadi satu tanpa memandang perbedaan yang ada, akibatnya rasa cinta kepada faham atau golongan tertentu yang berlebihan sehingga tidak menghiraukan orang atau golongan lain yang tidak sepaham dengannya. Sifat seperti ini cenderung mengarah ke dalam perpecahan. Tentu, harus diwaspadai dalam konteks negara NKRI.

Ketika masyarakat tidak mampu menekan negara untuk merealisasikan sebuah gagasan, maka negara berada dalam fase evolusioner untuk menggapai tujuannya. Kondisi ini meminjam tesis yang dikemukakan oleh Mat Friberg and Bjorn Hettne (1985) dalam The Greening for the World; adalah sebagai bentuk gejala imanensi. Imanensi adalah proses evolusioner dari realitas yang berada dalam kesadaran diri setiap masyarakat. Tidak dibutuhkan intervensi eksternal agar proses itu berlangsung. Imanensi mengimplikasikan gagasan tentang evolusi yang berlangsung dengan sendirinya (self evolution). Hipotesis ini sering diterapkan pemerintah, bahwa kondisi umat Hindu bisa tumbuh dan bisa stabil tanpa sentuhan negara.

Hipotesis imanensi ini juga, membawa ruang pemikiran kesadaran bahwa umat Hindu tak akan mengusik, walaupun sejatinya Bali kekurangan guru agama Hindu, sudah sangat memprihatinkan mulai dari tingkatan pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas di seluruh Bali. Angkanya diperkirakan hingga tahun 2015 mencapai 9000 orang. Selain itu, Kampus Negeri di Bali yang mayoritas mahasiswa Hindu, nyaris tidak terdengar memiliki dosen agama Hindu, kecuali IHDN. Bagi kampus yang tidak memiliki dosen agama Hindu, mata kuliah agama Hindu diampu oleh dosen yang kebetulan beragama Hindu. Kondisi ini, ditengarai akibat lemahnya daya tawar kelompok intelektual Hindu. Suara dan pemikirannya tidak pernah jelas, kerap monoton disuarakan oleh PHDI, ketika suara intelektual Hindu berbeda dengan PHDI kerap dianggap perpecahan.

Paham imanensi juga meyakini bahwa keunggulan akademis ditentukan oleh keberhasilan enterpreneurial dalam wujudnya kemakmuran diri (The materialism of self advancement). Celakanya, itu tidak mampu disuarakan oleh kaum agamawan Hindu dan institusi yang memproduksi intelektual Hindu, tidak memiliki nilai tawar terhadap pemerintah, diduga karena mereka semua berada dalam subordinasi kepentingan penguasa, dan bukan lahir di jalur oposisi kritis, sehingga militansi beragamanya tak terdengar, dan kerap dianggap tidak memberikan sumbangan nyata bagi kepentingan negara. Intelektual Hindu sulit melahirkan gerakan sosial baru bagi umat Hindu, lebih-lebih untuk mengubah negara yang menganut paham imanen, menjadi agent of change dengan aselerasi yang tinggi. Intelektual Hindu hanya menggedor jalur birokrasi secara internal, dan ini kerap dipatahkan karena dikotomi atasan dan bawahan. Itu sebabnya, sekuat apapun Dirjen Bimas Hindu bersuara, tetap saja sering diabaikan, karena dia berada dalam subordinat menteri agama.

Jadi, menghadapi kondisi kelangkaan pengangkatan guru agama Hindu, maka ada beberapa alternatif solusi yang dapat diakukan. Pertama, meningkatkan peran komunitas intelektual Hindu untuk memiliki visi yang jelas terhadap pentingnya pendidikan agama Hindu, dan menyuarakannya dengan argumentasi ilmiah kepada pemerintah, yang merupakan wakil negara. Hal ini didasari oleh filosofi bahwa kegiatan intelektual timbul karena manusia sibuk dengan urusan agama. Bakat intelektual manusia itu mempunyai kecenderungan untuk berhubungan dengan yang terakhir atau sekurang-kurang dengan wilayah yang terletak di luar bidang pengalaman kongkrit; dengan demikan kegiatan intelektual menangani simbol–simbol religius (Edward Shils, 1980).

Solusi kedua, pemerintah Bali, seyogya mampu menerapkan konsep Zygmunt Bauman (1989) dalam karyanya “Legislator and Interpreters, On Modernity, Post Modernnity and Intelectual” yang menulis kegelisahan akibat munculnya sindrom relasi kekuasaan –pengetahuan, dengan suatu tipe kekuasaan negara dengan sumber daya, yang mengatur sistem sosial, dengan model diskursus otonom dan lengkap dengan praktek–praktek implementasi yang dibutuhkannya. Artinya Pemda Bali, harus berani menyisihkan APBD untuk membiayai pengadaan guru dan dosen agama Hindu. Bali dapat melakukan otonomi dan swakelola beberapa sumber daya ekonomi, yang sekaligus dapat juga untuk tujuan memberdayakan masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan pendidikan agama Hindu. Perlu disadari bahwa sumber daya ekonomi pariwisata Bali, harus diakui karena sumbangan tatanan agama Hindu yang dianut masyarakatnya. Oleh karena itu, harus ada timbal baliknya untuk mengajegkannya lewat pendidikan agama Hindu yang benar.

Solusi ketiga, meningkatkan kepedulian seluruh elemen Hindu, dengan segala unsur-unsur yang dimilikinya. Bukan hanya Dirjen Bimas Hindu, namun disuarakan oleh baik para politisi di DPR, DPD Bali, PHDI, maupun Gubernur dan Bupati untuk kepentingan rakyat, khususnya dalam penyediaan guru agama Hindu. Umat Hindu juga bagian yang penting dalam menjaga stabilitas politik dalam medan laga pertarungan memperebutkan atom-atom kekuasaan. Inilah suatu bentuk pertarungan yang dinilai patut dan wajar, serta penuh keadaban bila umat Hindu juga diperhatikan dalam hal penyediaan guru agamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar