Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 18 Desember 2012

Dilema Dewa Uang: Dicari Tetapi Dipinggirkan

I Gede Wiratmaja Karang

Presiden pertama Indonesia menjelaskan bahwa “Manusia hidup perlu makan, untuk makan perlu uang, untuk dapat uang bekerjalah, agar dapat pekerjaan belajarlah”. Dari pernyataan pidato Bung Karno ini secara tidak langsung menekankan adanya korelasi antara belajar, uang dan hidup. Sehingga semua orang butuh uang, semua orang mencari uang, semua orang mengunakan uang agar dapat hidup. Permasalahanya terletak pada pengertian uang, bentuk uang dan sebagai pemeluk Hindu yang percaya dengan manifestasi Tuhan adalah Dewa Uang. Setiap orang yang ditanya tentang Dewa Uang jawabanya beragam, ada yang menyebut Bhatara Sri Rambut Sedana, Bhatara Sedana, dan yang lebih menyesatkan ada yang menyebut Bank, Tuyul atau brerong.

Pendapat yang menyebut Dewa Uang adalah Bhatara Sri Rambut Sedana, Bhatara Sedana, Bhatari Melanting, Bhatari Mas Meketel, Bhatari Subadar, Bhatara Ulan Alu dan nama lainya sangat sah-sah saja. Karena prinsip kepercayaan terletak pada pekerjaan atau swadarma penyembahnya. Bhagawadgita 4.11 jelas menyebutkan “dengan jalan apa pun kau menyembah diriku, aku akan terima karena itu merupakan jalanku”. Bhagawadgita merupakan sintesa dan toleransi terbesar dari berbagai aliran pemikiran. Brahman adalah tidak terbatas, demikian pula tidak terbatas aspek-Nya. Oleh karenanya tidak pula terbatas jalan untuk mencapai-Nya. Bhagawadgita menjelaskan bahwa melaksanakan ajaran agama diserahkan kepada pilihan seseorang. Bagi Bhagavadgita manusia ideal dalam dunia ini adalah yang berbudi pekerti harmonis, yang aktif bekerja, humanitis, berusaha keras, mencari emansipasi jiwa, memiliki pengetahuan tentang Atman dan berbakti kepada Brahman.

Terkait dengan uang tidaklah salah bila diawali dengan pengertian uang itu sendiri. Uang didefinisikan sebagai alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apa pun yang dapat diterima oleh setiap orang dalam proses pertukaran barang atau jasa. Jenis uang yang beredar di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu uang kartal dan uang giral. Uang kartal terdiri dari uang kertas dan uang logam. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib diterima oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual beli sehari-hari. Uang giral tercipta akibat semakin mendesaknya kebutuhan akan adanya sebuah alat tukar yang lebih mudah, praktis dan aman.

Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang atau jasa, sehingga menghindari perdagangan dengan cara barter. Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai. Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain: uang sebagai alat pembayaran yang sah, uang sebagai alat pembayaran utang, uang sebagai alat penimbun kekayaan, uang sebagai alat pemindah kekayaan, uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi.

Pengertian, jenis dan fungsi uang yang sudah diuraikam di atas menyebabkan uang memiliki arti penting dalam kehidupan manusia. Sehingga umat Hindu memuja uang sebagai salah satu manivestasi Brahman. Dewa Uang dalam kitab-kitab suci agama Hindu di sebut dengan nama Dewa Kuwera atau Kubera karena hurup w dan b satu rumpun dalam Bahasa Sanskerta. Dewa Kuwera memiliki nama lain Dhanapati, Wisrawana. Dewa Kuwera merupakan bendahara khayangan atau bendaharanya para Dewa. Karena bendahara khayangan sudah sewajarnyalah disembah sebagai Dewa Uang dan Dewa Kekayaan, walaupun bagi umat Hindu di Bali tidak begitu terkenal. Sehingga disinilah letak dilema dari Dewa Uang yaitu Dewa Kuwera. Walau dicari setiap waktu oleh semua umat manusia, tetapi beliau tidak dikenal. Dicari tetapi termarginalkan, terpingirkan bahkan cenderung dilupakan.

Masyarakat Hindu di Bali sudah sedikit bergeser keyakinanya kepada Dewa Kuwera. Kearifan lokal Bali menonjolkan Bhatara Sri Rambut Sedana atau Bhatara Sri Sedana sebagai Dewa Kemakmuran dan kekayaan. Berdasarkan Etimologi kata Sri Sedana berawal dari kata Sri yang berarti cantik, subur, makmur, juga berarti kebahagiaan, kemuliaan. Sedana berakar kata dari dana mendapat awalan se- sehingga menjadi aktif. Kata dana merupakan kata sifat berarti derma, memberi, kemurahan. Sehingga Bhatara Sri Sedana berarti kekuatan Brahman dengan manifestasinya memberikan kesuburan, kemakmuran, kebahagiaan, kemuliaan, memberikan derma, memberikan kemurahan. Kalau disinonimkan fungsi dan tugasnya hampir sama dengan Dewa Kuwera. Wajarlah Dewa Kuwera dicari tetapi dipinggirkan, karena umat Hindu Bali sudah memiliki lokal genius yaitu Bhatara Sri Sedana.

Bhatara Sri Sedana dipuja dengan piodalan setiap 10 hari atau 6 bulan tepatnya pada Rabu Wage Wuku Klawu atau disebut juga dengan nama Buda Wage Klawu, dikenal dengan nama rahinan Buda Cemeng Klawu. Semua lembaga yang berbau uang akan sibuk melaksanakan upacara keagamaan bernuansa Hindu. Bank, pedagang, pura melanting, palinggih rong 2, celengan, dan lain sebagainya. Semua itu merupakan ucapan rasa terima kasih atas karunia Brahman dengan manifestasinya sebagai Dewa Kuwera. Walaupun di Bali dipuja dengan istilah Bhatara Sri Sedana. Khusus pada uang kepeng yang memiliki nilai magis karena berbahan dasar pancadatu juga menjadi pusat pemujaan. Pancadatu dimaksud, seperti: tembaga sebagai simbol Dewa Brahma, timah sebagai simbol Dewa Siwa, besi sebagai simbol Dewa Wisnu, perak sebagai simbol Dewa Iswara, dan emas sebagai simbol Dewa Mahadewa. Demikian juga karena uang kepeng berbentuk bulat juga sebagai lambang windu. Uang kepeng merupakan wujud akulturasi budaya antara Cina dan Bali sebagai pengaruh Putri Khang Cing We dengan Raja Jayapangus.

Agama Hindu memiliki prinsip ajaran yang berbunyi “Moksa artham jagadhita ya ca iti dharma” yang berarti tujuan umat manusia beragama adalah untuk mencapai jagadhita atau sejahtera dan Moksa atau kebahagiaan. Jagadhita adalah tercapainya kesejahteraan jasmani, sedangkan Moksa adalah terwujudnya ketentraman batin, kehidupan abadi yakni manunggalnya Sang Hyang Atma dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kitab Sarasamuscaya, 15, menjelaskan bahwa “supaya diperhatikan dengan diingat-ingat dalam mengusahakan kama, artha, dan Moksa, sebab tidak ada pahalanya. Adapun yang harus diusahakan dengan jalan dharma, tujuan itu pasti tercapai, walaupun hanya dalam angan-angan saja akhirnya akan berhasil”. Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi catur purusa artha atau sering juga disebut dengan istilah Catur Warga. Catur Purusa Artha atau Catur Warga dapat diartikan ; catur berarti empat, purusa berarti jiwa atau manusia, Atha berarti tujuan utama. Sedangkan Catur Warga, yang terdiri dari kata catur berarti empat, dan warga berarti jalinan erat atau golongan. Catur Warga berarti empat tujuan hidup umat manusia yang utama yang terjalin erat antara yang satu dengan yang lainnya.

Salah satu sloka dari brahma purana dinyatakan: Dharma Artha kama Moksa sariram sadhanam. Yang artinya: “badan adalah alat untuk mendapatkan dharma artha kama dan Moksa. Ajaran ini sudah sepatutnya untuk dipakai pedoman dalam hidup. Pahami, pedoman dan wujudkanlah dalam setiap langkah hidup dengan ajaran Catur Purusa Artha sebagai satu kesatuan yang utuh. Bagian Catur Purusa Artha, adalah Dharma yang berarti kewajiban yang benar dan abadi. Artha dapat berarti tujuan utama dan kekayaan, Kama berarti nafsu atau keinginan yang dapat memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Moksa berarti ketenangan dan kebahagiaan spiritual yang kekal abadi yang juga disebut nirwana, suka tan pewali duka atau mukti.

Nitisastra III.8 ada menguraikan kegunaan yang utama dari harta emas perak itu adalah untuk menolong orang sengsara, sedih dan melarat, dan untuk menjaga keutuhan artha benda itu tak lain dari memagarinya dengan memberikan sedekah dan derma. Harta kekayaan yang didapat itu tak bedanya dengan gelombang-gelombang samudra besar. Deras, dan kencang, walaupun dibendung, atau diberikan saluran, akhirnya akan hilang mengalir tanpa sisa semuanya hanyut dan habis. Pengunaan harta hendaknya disesuaikan dengan Canti Parwa 25 yaitu “Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari dharma, laksana dan budhi luhur, kesejahteraan manusia itulah tujuan utama dari dharma.

Manusia harus menyadari bahwa perjalanan hidupnya pada hakekatnya adalah perjalanan mencari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, lalu bersatu dengan beliau. Perjalanan seperti itu adalah perjalanan yang penuh dengan rintangan, bagaikan mengarungi samudra yang bergelombang. Bhagawadgita menekankan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau Brahman, yang merupakan tujuan terakhir dari hidup ini. Sebab semua kepercayaan, semua ajaran kebajikan dan semua etika moral bersumber kepada Brahman. Tidak ada suatu kepercayaan yang mengatasinya. Tidak ada suatu kepercayaanpun akan mempunyai arti kalau tidak bisa menolong kemanusiaan untuk mengangkat kesadarannya. Terutama dalam suatu konflik bathin kalau Brahman tidak menyinari jiwanya. Itulah dilema dari Dewa Uang atau Dewa Kuwera walau dicari tetapi malah dipinggirkan, bahkan tidak dikenal. “Om Shreem, Om Hreem, Shreem, Hreem, Kleem, Shreem, Kleem, Vitesvara-ay namah”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar