Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Menyadari Atma dengan Kontemplasi pada Tuhan

Nyoman Tarsana

Pada suatu hari ketika sedang berbincang-bincang dengan para menteri dan anggota keluarga istana setelah makan malam, Raja Janaka merasa sedikit kelelahan kemudian ia beristirahat di tempat tidurnya. Permaisuri dan pelayan-pelayan istana melayani raja dalam segala hal hingga Raja mulai mengantuk. Melihat keadaan ini permaisuri memberi tanda dengan gerakan tangannya untuk keluar ruangan, sementara permaisuri sendiri duduk di dekat raja. Setelah beberapa saat, Raja tiba-tiba bangun dan mulai berkata-kata berulang-ulang dengan keras, “Apakah ini yang benar atau itu?”

Permaisuri merasa khawatir dan menanyakan kepada Raja beberapa pertanyaan, tetapi Raja Janaka tidak menjawab, tetapi ia terus saja berujar “Apakah ini yang benar atau yang itu?” Kemudian permaisuri mengutus pelayan-pelayannya untuk memanggil para menteri. Perdana menteri datang dan menanyakan kepada Raja tentang apa yang menjadi keragu-raguannya. Tetapi tetap saja memberikan hanya satu jawaban, “Apakah ini yang benar atau itu?”

Para menteri kemudian menghadap Bhagawan Wasistha, pendeta istana. Beliau kemudian menanyakan kepada Raja, “Oh Raja! Apa yang telah terjadi?” Begitu juga terhadap Bhagawan, Janaka memberikan jawaban yang sama. Bhagawan Wasistha kemudian memejamkan mata untuk meditasi. Beliau memiliki mata waskita yang menjadikannya mampu mengetahui tiga periode waktu, yaitu masa lalu, masa kini dan masa depan. Dengan kemampuannya itu, Bhagawan kemudian menjelaskan kepada para menteri, bahwa Raja tengah bermimpi. Apa yang Raja lihat dalam mimpinya adalah sebagai berikut: dia telah kehilangan kerajaannya dan kemudian berkelana di dalam hutan. Di dalam hutan ia merasa sangat lapar sekali dan mulai berteriak, “Aku lapar” “Aku lapar”. Sementara itu, sekawanan pencuri sedang makan sesuatu di sana. Ketika melihat Raja, mereka berpikir, kasihan orang ini tampaknya seperti seorang Raja. Karena itu mereka memberikan Janaka makanan. Ketika Raja mengulurkan tangannya untuk menerima makanan yang diberikan oleh pencuri, tiba-tiba seekor burung elang menukik ke bawah dan merampas makanan itu dari tangan Raja.
Karena Raja tidak dapat melindungi makanan yang telah diberikan kepadanya, maka Raja mulai lagi berteriak dengan kerasnya, “Aku lapar, aku lapar.” Di penghujung waktu ini Raja bangun dari tidurnya. Katika Raja terbangun, ia melihat dirinya tengah berada di pembaringan; sementara dalam mimpinya ia merasa berkelana dalam hutan dan didera kelaparan. Maka dari itu Raja bertanya, mana yang benar, yang ini atau itu?

Bhagawan Wasistha mengungkapkan kenyataan ini kepada semua yang hadir, kemudian beliau menyampaikan kepada Raja dan menyadarkannya akan realita itu dan berkata, “Oh Raja, bukannya yang ini yang benar atau yang itu. Engkau sedang berada dalam mimpimu dan engkau sedang berada di sana dalam keadaan sadar. Tetapi mimpi itu tidak ada ketika engkau bangun, dan keadaanmu waktu bangun tidak ada dalam mimpi. Apa yang ada dalam dua keadaan itu, dalam mimpi dan juga dalam keadaan bangun/terjaga, itu memang benar.” Dalam keadaan penyangkalan yang sebenarnya, hidup ini hanyalah sebuah mimpi. Jika paham akan hal tersebut, maka mimpi ini dapat dimusnakhkan kapan saja. Manusia harus mengarahkan hidupnya kepada tanpa keterikatan akan hal-hal bersifat duniawi.

Apakah arti yang mendalam dari cerita ini? Apa pun yang dialami atau dirasakan oleh manusia di dunia ini akan musnah pada akhirnya dalam kandungan sang waktu, suatu hari atau kapan saja. Hanya pengalaman dari atma yang permanen. Cara yang mungkin untuk memperoleh pengalaman dari atma yang mungkin untuk memperoleh pengalaman dari atma hanya dengan berkontemplasi pada Tuhan. Dari Tuhan-lah manusia memperoleh kebahagiaan abadi, karena merupakan kebenaran yang abadi. Tuhan digambarkan sebagai Nirguna niranjanam, nitya, suddha, budhha, mukta, nirmala swarupinam (Tuhan tidak mempunya atribut, tak tercela, menjadi tujuan terakhir, abadi suci, tercerahkan, bebas dan perwujudan dari kesucian). Manusia hanya dapat memperoleh kebahagiaan abadi dari Tuhan.

Apabila Anda lapar, Anda akan pergi ke kantin, membayar beberapa rupiah untuk makan nasi dan rasa lapar terpuaskan. Apabila rasa lapar itu telah terpuaskan, Anda akan merasa bahagia. Tetapi berapa lamakah rasa bahagia Anda dapat bertahan? Anda akan merasa lapar lagi setelah dua jam berlalu. Oleh karena itu, kebahagiaan yang didapatkan dari makan nasi hanya bertahan singkat sekali. Anda harus makan lagi untuk memuaskan rasa lapar berikutnya. Semua kebahagiaan duniawi bersifat sementara dan hilang sewaktu-waktu. Karena itu Adi Sankara mengatakan: punarapi jananam punarapi maranam, punarapi maranam, punarapi janani jathare sayanam, iha samsare bahu dustare, kripayapare pahi murare (Oh Tuhan, hamba terperangkap dalam lingkaran kelahiran dan kematian ini; dari waktu ke waktu hamba sedang mengalami penderitaan berada di rahim ibu. Sangat sulit sekali untuk mengarungi lautan kehidupan duniaiwi ini. Tolong bantulah hamba untuk menyeberangi lautan ini dan karuniailah hamba pembebasan).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini bersifat sementara seperti awan yang datang dan pergi di angkasa. Tidak seorang pun yang tahu kapan dia akan meninggalkan badannya. Badan ini mudah berubah seperti gelembung air dan pikiran itu tidak tenang, seperti monyet gila. Karenanya jangan mengikuti badan, jangan mengikuti pikiran, ikutilah kesadaran itu. Kesadaran itu adalah saksi Anda. Apabila Anda mengikuti pikiran yang berubah-ubah dan badan yang sementara, hasilnya juga terbatas jadi sementara.
Dalam dunia yang sementara ini, Anda mungkin dapat mengalami/merasakan kebahagiaan jika Anda memiliki kekayaan atau seperangkat alat yang dapat mendatangkan kenikmatan, tetapi itu semua tidak menjamin. Ada banyak sekali contoh orang yang memiliki segalanya di dunia ini, nyatanya mereka tidak bahagia. Dhritarastra memiliki kekayaan yang melimpah dan istana yang mewah, tetapi dia tidak bahagia. Walaupun ia memiliki tempat tidur yang empuk, kasur dari bulu burung yang halus untuk ditiduri, tetapi pikirannya liar dan garang, seperti gunung berapi.

Kenikmatan-kenikmatan fisik ini tidak dapat memberikan kebahagiaan yang sebenarnya. Jika Anda memiliki cukup uang, Anda mungkin bisa melengkapi kamar Anda dengan AC. Bagaimanapun juga, AC itu hanya akan dapat menyejukkan badan saja, bukan pikiran. Berkontemplasilah kepada Tuhan itu sendiri baru dapat menyejukkan pikiran kita.

Anda mungkin memiliki semua jenis alat yang dapat dipakai untuk menyenangkan dalam hidup ini. Tetapi alat itu tidak adapat dipakai untuk menenangkan pikiran yang gelisah. Arjuna berkata kepada Krishna “Chanchalam hi manah Krishna pramathi Balavadrudham (pikiran itu sangat goyah, bergolak dan sangat kuat, pikiran itu perubahannya sangat tinggi, bandel dan berbahaya. Bagaimana saya bisa mengalami kebahagiaan dengan pikiran ini?”). Kemudian Krishna menjawab, “Wahai orang yang tolol, lakukanlah seperti apa yang kamu ucapkan. Jangan mengikuti pikiranmu, jangan pikirkan pikiranmu lagi, jangan hiraukan dia sama sekali. Pikirkanlah selalu tentang Aku (Tuhan).”

Arjuna bertanya, “Swami! Bagaimana saya bisa memikirkanMu, ketika saya berada di medan perang?” Krishna lalu menjawab, “Maan anusmara yuddhyacha (ingatlah Aku dan bertempurlah dalam peperangan). Engkau mungkin berada dalam di dalam rapatnya barisan pejuang, tetapi sebenarnya hanya badanmulah yang bertempur. Apa yang dilakukan oleh pikiranmu? Pusatkanlah pikiranmu kepada-Ku.”

Apabila Anda berkontemplasi kepada Tuhan dalam segala situasi dan di bawah keadaan apa pun, Anda tentunya akan mengalami kebahagiaan yang abadi. Anda dapat melakukannya dengan cara apa saja, tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Pikiran Anda mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan hal ini.

1 komentar:

  1. "Apabila Anda berkontemplasi kepada Tuhan dalam segala situasi dan di bawah keadaan apa pun, Anda tentunya akan mengalami kebahagiaan yang abadi. Anda dapat melakukannya dengan cara apa saja, tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Pikiran Anda mempunyai kekuatan yang cukup untuk melakukan hal ini"
    Hal seperti ini yang diidam-idamkan oleh para pencari, bahwa Dia Maha Hadir, Hadir di dalam diri kita. Mengarahkan cinta kepada Dia Yang Hadir di dalam diri kita, dapat mengatasi ketakutan akan susah dan tengetnya mencari sosok Tuhan sebagaimana sering tergambar di belantara sastra, lontar, dan segala macam ritual yang sulit dimengerti relevansinya.

    BalasHapus